Two

297 18 1
                                    

Satu jam sudah berlalu, Maudy masih asik dengan bukunya. Dian yang melihat pun tanpa aba-aba langsung mendekati Maudy dan duduk disebelahnya. Di ambilnya buku karya John Green itu dari tangan Maudy.

“Wow! The Abundance Of Katherine, that’s cool. Versi inggrisnya pula. How awesome. Beli dimana nih? Keren banget. Gue nyari yang versi inggrisnya nggak nemu-nemu. Udah traveling keseluruh toko buku di Indonesia nggak nemu. Gue sampe ngobrak-abrik seluruh Gramedia. Lo beli dimana nih?”

“First, thank you. Second, ini kenang-kengangan dari Katya, my friend, waktu aku mau pindah ke Indonesia. Kayaknya kalo di Indonesia emang agak susah dapet yang versi aslinya.”

“Big wow!! Bayangin aja temen lo di Cambridge mau ngasih lo buku ini secara cuma-cuma. Keren banget. Btw, kok logat ngomong lo lucu gitu ya? Inggris versi Indonesia, Indonesia versi Inggris USA? Hahaha”

“Um, yeah. When I was in USA, aku pake bahasa Indonesia buat ngobrol sama keluarga. Terus waktu ketemu temen-temen dari Indonesia juga gitu. Tapi kalo sekolah sama aktivitas diluar pake bahasa inggris, jadi ya gini deh”

Tak lama kemudian, Bian, sang ketua kelas, memanggil mereka untuk masuk ke kelas membahas jadwal piket dsb. Sesampainya Maudy di kelas, Aldo menatap punggung Maudy yang duduk dua bangku didepannya dari balik bukunya. Aldo bahkan tidak benar-benar menyadari bahwa ia terus memperhatikan Maudy dari setengah jam yang lalu. Ia hanya merasa ada yang aneh ketika Maudy berada di dekatnya. Ia seperti ingin memeluk dan berkata bahwa sesungguhnya ia aman jika bersamanya, tetapi tak bisa. Karena ia bukan siapa-siapa Maudy, bahkan ia baru saja berkenalan. Ia merasa bahwa Maudy tidak cukup nyaman dengan suasana kelas yang didominasi oleh anak laki-laki. Dimana anak laki-laki bertingkah laku cukup berandal dan berbicara cukup vulgar. Mau nggak mau lo harus adaptasi sama anak-anak kelas ini. Karena lo sekarang di Indonesia bukan di Cambridge lagi. Ucap Aldo dalam hati dengan mata yang tetap tertuju dengan punggung Maudy.

Setelah Aldo kembali serius membaca bukunya lagi, Maudy menoleh kebelakang. Ia merasa daritadi ada yang mengawasinya. Suasana musyawarah membahas jadwal piket kelas terhenti karena bel tanda jam pelajaran telah usai.

“Kok cepet banget sekolahnya?” maudy dengan polosnya bertanya kepada Dian

“Iya lah kan hari ini hari pertama masuk sekolah. Biasanya kalo kaya gini kita pulang udah tadi jam 10. Nggak tau nih kok sampe jam 12. Padahal yang SMP sama SD udah dari tadi.” Jawab Dian sambil ia membereskan perlengkapan gambarnya yang berserakan di meja.

“Mau, pulang sama kita aja yuk, sama gue, Dian, plus our boss Aldo. Kita ke café depan dulu tapi.” Ajak Dylan kepada Maudy yang hendak memakai tasnya. Dengan sopan Maudy menolak ajakan Dylan dengan berkata bahwa ia sudah ditunggu kakaknya di parkiran sekolah. Benarkan? Setelah ajakannya ditolak oleh Maudy, Dylan dan Dian meninggalkan Maudy menuju café depan sekolah.

Kurang tiga langkah dari pintu kelasnya, tangan Maudy ditarik oleh seseorang dari arah belakang, membuat Maudy otomatis berbalik badan. Dan sialnya, karena Maudy kurang sigap, ia sampai harus membentur si pemilik dada bidang. Dengan gerakan reflek pula, Aldo lantas memeluk Maudy. Menahan agar Maudy dan dirinya tidak jatuh secara bersamaan di lantai. Aroma parfum merek Charlie menyeruak ke dalam indra penciuman Maudy.

“Ehem..” deheman Aldo memaksa Maudy untuk kembali kedunia nyata setelah ia sedikit berimajinasi tentang pemilik dada bidang yang berbau harum tadi.

“Eh sorry, sorry. Tadi kurang ati-ati. Kamu nggak papa?” tanya Maudy sambil mendongak keatas melihat siapa orangnya.

“Nggak papa kok. Sorry juga, tadi gue refleks meluk lo. Takut lo jatuh soalnya.” Deg, suara beret milik Aldo terdengar di telinga Maudy bersamaan dengan bertemunya kedua mata mereka. Hal itu kontan membuat pipi Maudy sedikit merona. Setelah melepaskan diri dari pelukan Aldo, Maudy lantas bertanya.

Tentang RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang