***
Semuanya berjalan lancar ku pikir. Maksudku, aku berhasil menarik tubuh pria itu masuk ke dalam rumah. Dia berat, bahkan bisa dikatakan sangatlah berat. Tubuh pria itu berotot, dan aku menemukan luka yang cukup besar di punggung, pinggang dan juga bagian pundaknya. Aku sendiri juga tidak yakin luka apa itu. Tapi aku berusaha untuk mengobatinya.
Sudah hampir satu setengah jam sejak pria ini pingsan, dan aku sudah memberi obat merah di setiap luka yang ada di tubuh pria itu. Dan juga tidak lupa untuk membalutnya dengan menggunakan perban. Untung saja, Kak Sean membelikan benda-benda medis itu cukup banyak. Jadi, aku pun tidak perlu khawatir jika tiba-tiba perban atau bahkan obat merahnya habis.
Aku duduk di sofa kecil, sedangkan pria itu ku baringkan tertelungkup di atas sofa yang ukurannya lebih besar. Juga tidak lupa, aku menutupi tubuhnya itu dengan menggunakan selimut milikku. Dan aku hanya memperhatikannya sejak tadi dengan rasa bosan. Hujan juga masih deras. Aku bahkan tidak yakin, jika dia akan sadar lebih cepat.
"Ugh..."
Aku terkejut mendengar suaranya yang terdengar berat dan juga serak secara bersamaan. Aku menegakkan tubuhku dan menatap ke arahnya. Pria itu memegangi kepalanya, dan mulai menegakkan tubuhnya. "Jangan bersandar... Punggungmu terluka." ucapku yang membuatnya mengangkat kepalanya dan menatap ke arahku dengan dahi yang berkerut dalam.
Dia tidak menjawab dan hanya menghela napasnya. Aku mulai berdiri dan berjalan menuju dapur dengan perlahan, untuk mengambil teh hangat dengan sedikit gula. Tak lama, aku pun kembali dan meletakkan secangkir teh itu ke atas meja untuk diminum oleh pria itu.
"Minumlah... Setidaknya, bisa menghangatkan tubuhmu."
Pria itu tetap diam, dan mulai mengangkat cangkir itu serta meminumnya. Aku sendiri tidak yakin apakah dia suka minum teh atau tidak. Tapi, setidaknya dengan minum teh, tubuhnya bisa jauh lebih hangat. "Terimakasih..." gumamnya.
Dan aku menganggukkan kepalaku perlahan. Dia meletakkan cangkir itu kembali ke atas meja. Dan menghela napas. Dia menundukkan kepalanya melihat ke arah perutnya yang memang sengaja aku balut dengan perban, karena tentu saja akan sulit, untuk membalut perban ke luka yang ada di punggung, pinggang dan juga bahunya itu.
"Apa kamu yang melakukan ini?" Dia bertanya sambil menyentuh perban di perutnya itu.
Aku mengangguk lagi. "Iya... Lukamu cukup parah, tapi sebenarnya Sudah kering. Jadi aku hanya memberikan sedikit obat merah dan membalutnya dengan perban, agar tidak terjadi infeksi." jelasku.
"Siapa namamu?" Pria itu mulai mengangkat kepalanya lagi dan menatap ke sekeliling ruang tamu rumahku.
"Joana. Dan kau? Siapa namamu?"
Entah mengapa, aku bahkan tidak menemukan satu identitas pun dari pria itu. Maksudku, aku harus mengeceknya bukan? Atau mungkin kartu identitas, ponsel, setidaknya aku harus menghubungi keluarganya atau hal semacamnya. Tapi tidak ada.
"Samael.. Namaku Samael."
Aku mengerutkan dahiku. "Hanya Samael? Nama belangkangmu?" Dan entah mengapa pertanyaan itu langsung keluar dari mulutku.
Dia mengedipkan kedua kelopak matanya dengan cepat. "Hanya Samael."
Seketika aku menganggukkan kepalaku. "Em... Boleh aku bertanya?" Sial. Rasa penasaranku selalu saja menghantui pikiranku.
"Boleh..." Dia mengangguk dan memperbaiki posisi duduknya.
"Bagaimana kamu bisa terluka seperti itu? Dan juga, kamu bahkan tidak memiliki identitas satu pun... Apa kamu berasal dari sekitar sini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
In The Dark ✔️ {TERBIT}
RomanceDia yang datang dari kegelapan, tidak selamanya gelap. Ada kalanya, kamu harus melihat di dalam kegelapan itu untuk mendapatkan jawaban dan kebenaran dari suatu hal. Dia memang berbeda. Tapi bisa dipastikan, dia akan membuatmu jatuh cinta. ~~~ Joa...