Bab 4: Deviasi

3 0 0
                                    

Pintu kaca tertutup. Kevin melenggang pergi begitu situasi mendingin. Tatkala menyiramkan air es ke minyak goreng sehabis digunakan untuk menggoreng daging. Bukan Alden yang perlu diredakan. Tidak, ia bahkan yang memadamkan perdebatan mereka dengan caranya sendiri, yakni mengendalikan Kevin kepada jalan pikirannya.

Elena melirik ke jam tangannya. 15 menit tidak kurang tidak lebih. Ia menontoni mereka seperti pertunjukkan sirkus dimana sebagai seorang hadirin ia hanya diperbolehkan menutup mulut dan menyimak. Sesekali ia mempertanyakan apa peran Hugo di dalam sirkus tadi. Alden tampaknya sudah mengambil semua peran dari joker, penjinak singa dan bintang atraksi yang berayun di langit-langit.

"Kalian," mulai Elena menahan untuk tak menguap, "semula tidak berkata jujur padaku."

Alden melirik dari sudut matanya. Seonggok kalimat tidak jelas Elena bisa langsung ia pahami kemana arahnya.

Amarah bukan pilihan kata yang tepat. Justru Elena melemparkan pertanyaan itu dengan tujuan membuka mata dua ilmuan di sana kalau mereka punya rekan tim baru. Dianggap orang luar ketika mereka berbagi ruangan eksklusif di sana cukup menyinggung Elena dari dalam hatinya. Tapi apakah seperti itu cara kerjanya?

Bila dugaan Elena mereka diprogram khusus memiliki kesadaran yang berbeda, kesederhanaan berubah total. Sekat pemisah antara para asisten dengan ilmuan jadi bermakna ganda. Elena tergelitik untuk mulai mempertanyakan siapa yang membuat modifikasi program-program ini kalau bukan para ilmuan sendiri?

"Tidak. Informasi terbaru yang kami peroleh harus disampaikan ke Kevin terlebih dahulu. Pada hakekatnya ialah yang membuat keputusan. Atau paling tidak mempertimbangkan kevalidan keputusan sebelumnya."

Tapi kau yang membuat keputusan. Sial, apa yang sebenarnya terjadi di sini.

Sengaja tidak berkomentar selama tiga detik, Elena menunduk. Seolah menunggu respon Elena seorang, tak satu pun mau angkat bicara. Ia hanya diam melihat jari-jari tangannya bergerak naik turun di atas meja. Ritmenya selaras dengan bunyi dengungan komputer di meja Hugo.

"Biar kuulang. Kalian sudah tahu faktor eksternal yang menyebabkan warna merah proyek-19 sejak sebelum aku menginjakkan kaki di sini. Kenapa harus berbohong?"

Tidak ditutupi rasa keterkejutan Hugo di balik meja. Meja Elena. Mereka belum berpindah dari posisi awal. "Kapan aku berbohong?"

Cerdas sekali menjawab pertanyaan dengan pertanyaan. Ingin rasanya Elena menendang kursi atau melempar instrument lab apapun di dekatnya. Tindakan seperti menjerit dan cuma menampar wajah mulus Hugo kurang mewaraskan dirinya. Sedikit keributan mungkin bisa membuat amnesianya pecah berhamburan. Atau menyenangkan hati Elena yang jengah dipermainkan.

Sebelum terlontar dengusan jengkel yang sudah ada di ujung lidahnya, nurani Elena mengeremnya. Ia merasakan sepasang mata, atau lebih, sedang menontoninya. Bola mata Elena berputar ke orang yang sesuai dengan firasatnya menebak. Seseorang di balik kaca pemisah. Orang yang tidak bisa ditebak alasan melototinya, padahal tidak tahu apa inti masalahnya di ruangan dalam yang kedap suara ini.

Sedang duduk di kursi yang diputar ke arahnya, bukan menghadap ke komputer yang sedang menyala namun malah memelototi Elena. Susan dengan datar juga tanpa berkedip terus menontoninya. Mungkin Susan adalah pionir sejati karena kelakuannya itu memancing beberapa asisten menirunya.

Nano DollTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang