dari siang hingga petang mereka bersama, merakit bahana nama rasa. cakrawala dibentang merah jingga menamani raga yang esensinya saling merasa.
ingat pada lalu. aku ingat pekan-pekan pertamaku yang diisi kelu dan kamu sudah terbiasa bersiteru.
aku ingat dimana malam awal kita temu. aku ingat kala itu kamu jabarkan makna atas segala lara. katamu, "kehidupan orang dewasa. jingga, kita sama-sama belum sampai difase sana. jangan terlalu benci mereka, pasti ada aja hal yang belum kita ngerti. kehidupan orang dewasa itu rumit. mulai dari mereka yang harus kerja sama ngurus keluarga yang belum tentu utuh seadanya. mereka gitu bukan tanpa alasan. mungkin aja hidup mereka kelewat beratnya nggak sebanding kayak kita." jelas masih terukir dalam histori. atau mungkin setelah kamu berkata itu kujadikan motivasi.
sekali lagi, kalau dipikir-pikir dengan kamu yang baru hidup empatbelas warsa sudah berfikir cukup dewasa.
ada banyak hal yang selalu mengingatkanku pada juna. tentang bagaimana cara lembutnya berkata, selalu jadi jawab saatku bertanya, mengurus segala perkara, bahkan beratnya buanaku juna bantu.sekali lagi, untuk juna kudedikasikan seisi dunia cuman untuk melihat senyumnya. tolong jangan sedih atau gundah, aku tau kita mustahil bersama. tapi setidaknya izinkan aku menjadi bahagianya. walau tak seberapa dibanding dia.
nabastala merah bata membasuh sedikit lara. sejatinya mereka duduk di atas atap milik warga disana. meniti tirta disusul sayup-sayup skenario milik tuhan lainnya. mereka berbincang ria tentang rencana timpang hasil rajutan angan.
"jingga"
"hm?" eksistensi jingga berpindah pada taruna disebelah kananya. menampilkan sesosok manusia tersesat pada dunia fana.
"coba tebak!"
"apa?" jingga mengira-ngira apa yang akan dikata juna selanjutnya.
"coba tebak apa yang lebih indah dari senja?" begitu kata juna selanjutnya, yang mungkin buat jingga tidak ada maknanya.
"samudra?"
"e-em, bukan" juna menggeleng sirah. tangannya ia taruh diatas mata. jingga menatap juna dengan segerombol tanda tanya yang bersahutan bersama. lantas lalu juna berkata
"jingga"
"kok jingga? bukannya sama aja?" sambut jingga dengan sukarela.
"bukan itu maksudku, kamu nggak peka" juna menghela napas pasrah. surainya ia acak pasrah. "maksudku itu, kamu"
jingga dalam pikirnya buncah tatkala pipi merah semu. ia malu dibilang begitu walau juna hampir gagal merayu. dasar ahli kurang rasa. jingga beralih pandang lurus kedepan. menantang binar bagaskara keemasan menyorot puan disana.
lucu sebenarnya, kalau jingga masih ragu dengan juna. adakala akalnya merancu tentang hubungan mereka yang masih tanpa ada identitas pastinya. jingga takut kalau ia hanya sebatas pelampiasan. tapi, kalau juna tidak mengaku juga mereka tetap sama saja!
"hahaha, nama kamu jingga kan?"
"bukan, namaku ashila! kamu sendiri aja yang manggil jingga" jingga mengecam esensi juna. sedang dia tertawa kecil. berusaha terlihat apatis padahal isinya sudah porak poranda gemas. ironis, mereka masih tidak terlepas dari artifisal.
pasca jingga berkata, juna bertitah sekelebat rintih penuh sarah.
"kalau senja udah hilang, bakal diganti sama malam."
mega mulai tertutup legam. menghilang ditelan malam. terkadang, mereka dibuat melayang dengan gurauan masing-masing. ribut dengan presepsi masing-masing.
juna mengacak asal rambut jingga sebagai perantaran sayangnya seraya tersenyum padu dengan latar belakang pesona indurasmi malam. entah konspirasi darimana seketika jingga hanya merasa hampa.
"ayo turun, udah malam. nanti kita malah kena marah"
afsun senja memang indah. tapi lagi-lagi, tidak ada yang pernah kekal didunia. mereka akan gata setelahnya. dan terbukalah jamanika palawa untuk menyambut hari diawali pagi baru.
mwehe, ceritanya g seru. tapi bentar lagi ada konfliknya kok.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jatuh Dikala Sendu
Romans𝙛𝙩. 𝙝𝙪𝙖𝙣𝙜 𝙧𝙚𝙣𝙟𝙪𝙣 ❛ kalau kamu punya beribu alasan untuk sedih, berarti kamu harus punya senggaknya satu alasan buat tersenyum ❜