“Saya punya tugas tambahan nih buat kamu.”
“Apa itu bu?”
“Saya kan minggu depan pulang kampung, kucing-kucing saya di rumah—”
“KUCING BU??!” wajah Luci memucat, membuat bu Fre yang sebenarnya masih pantas disebut dengan ‘mbak’ atau bahkan ‘kakak’ langsung bingung.
“Kenape sih lo??” berkerut lah segala dahi hingga hidung bu Fre.
Tak ada jawaban dari Luci, satu-satunya pegawai perempuannya itu. Barista yang namanya sangat tidak sinkron dengan penampilannya. Menyebabkan dia dipanggil Icul oleh kawan-kawan dan beberapa pelanggan regular.
“Saya…..”
“JANGAN BILANG LU SAMA AJA KAYA ALDI!!”
Hening. Padahal bu Fre baru saja meninggikan suara sambil menggebrak meja dengan sedikit keras. Akan tetapi tidak ada tanda-tanda marah di situ. Suprasegmental dan intonasi bu Fre lebih ke tidak percaya, menyangsikan, dan….menahan tawa?
Beberapa meja dari situ, pak Danu menutup mulutnya sambil terkekeh tanpa suara.
Luci tahu ada yang tidak beres.
“DI! INI SI ICUL SAMA AJA KAYA ELU!” Aldi yang baru masuk ke smoking area langsung menghentikan gerakannya, memandang ke arah bu Fre dengan tatapan bingung, persis Luci.
Pak Danu? Semakin tidak bisa menahan tawanya. Sudah menggelegar sejak Aldi membuka pintu, bahkan.
“ASTAGA!!! BUNG ALDI TAKUT KUCING!!??!!”
“MBAK ICUL GAK USAH KENCENG-KENCENG NGOMONGNYA BISA KAN??!!”
Tawa menggelak meriuh mengudara memenuhi smoking area berukuran 4x6m, susul menyusul dengan asap rokok yang mengambang-ngambang di udara.
***
“Serius bung lu takut sama kucing?”
“Emang gua gak boleh takut sama kucing mbak??”
Tawa Luci pecah tersamar dengan suara grinder yang sedang beraksi menggiling biji-biji kopi menjadi serbuk kopi. Sayangnya proses ‘penggilingan’ tidak terjadi pada ekspresi Aldi yang tetap saja tidak berubah, apalagi memang standar wajah Aldi cenderung membuat orang langsung sungkem minta maaf saja, tidak mau mencari perkara.
“Yaaa maksudnya gak nyangka aja gitu loh! Seorang bung Aldi gitu loh! Preman Manggarai pada masanya!”
“Preman juga manusia mbak! Gua masih dikasih Tuhan perasaan takut untuk selalu ingat kalau gua ini manusia!” Luci malah tak makin redam dalam tawa.
Ucapan Aldi barusan harusnya membuatnya terlihat keren, konteks pembicaraan menjadikannya sebaliknya.
“Tapi iya sih mbak gua takut kucing. Jangan sampe orang lain tahu ya, jatuh harga diri gua nanti.”
Kalau saja tidak ada grinder yang masih terus menggiling, tawa Luci sudah pasti memenuhi ruangan memekakkan indra pendengaran. Gelak tawa dan juga gesture tubuh Luci sudah tidak ada indah-indahnya sama sekali.
Aldi berkacak pinggang sambil menggeleng-gelengkan kepala melihat juniornya habis-habisan menertawai rahasia terbesarnya. Sungguh sangat tidak cocok orang Ambon berperawakan tinggi besar mengancam tapi takut pada kucing. Apalagi pada masanya, Aldi pernah menjadi orang paling ditakuti di segala jagad gali dan bajingan lain di Manggarai.
“Yaudah sih bung, pas Bapak Ibu pulang kampung kan ada Panca! Tadi Panca pas ditelpon Ibu juga udah bilang oke kok buat ngurusin kucing-kucingnya Bapak Ibu.” Luci menyebut anak baru yang mulai kembali aktif bekerja seminggu lagi, sambil menunggu kepulangannya dari Kota Seribu Sungai.
Kafe Udarati adalah sebuah kafe yang tidak kecil-kecil amat di bilangan Kebayoran, Jakarta Selatan. Pemiliknya adalah sepasang suami istri yang sangat senang bertemu dengan orang-orang, karena memang pada akhirnya itu lah salah satu fungsi utama kafe; menjadi tempat bertemu. Entah bertemu dengan orang, inspirasi, atau bahkan hanya sekadar bertemu dengan kopi atau menu lain.
Yang penting, ada pertemuan.
Pak Danu termasuk orang yang sangat pemilih untuk karyawan, bertanggungjawab adalah yang utama. Sementara sang istri lebih mementingkan orang yang mau belajar. Akan tetapi yang lebih penting bagi mereka berdua, karyawan mereka harus orang yang ramah. Menyapa pengunjung itu penting. Meninggalkan kesan yang baik itu penting. Bukan hanya penting sekadar menu yang nikmat saja.
“Mbak ada customer tuh.”
“Lah bung mau ke mana?”
“Ngerokok, hehe.” Luci mengacungkan jari tengah pada Aldi, yang tentunya dilakukan di bawah meja bar.
Seorang gadis dengan turtleneck lengan panjang dan rambut panjang tergerai sudah berdiri di depan bar. Menurut hemat Luci, itu pakaian yang kurang cocok untuk keadaan udara di luar yang sangat panas bagai latihan masuk neraka seperti sekarang ini.
“Kak….”
“Ya?”
“Mau…..ada…sama..”
Oh, Luci sadar suara si customer kalah dengan suara grinder yang memang sudah waktunya menghentikan aksinya. Stok bubuk kopi untuk setidaknya 25 shots espresso ke depan sudah aman.
“Maaf kak, pesen apa tadi?”
Bukannya pengulangan pesanan yang didapat, Luci malah mendapati si customer ini tersenyum lebar sendiri.
“Kak..?”
“Eh, iced moccacino boleh kak?”
“Boleh dong kak. Itu saja? Dua puluh lima ribu….ditunggu ya kak.”
Tanpa disuruh, si mbak customer ini langsung duduk manis di meja yang persis di depan bar. Hingga detik itu, Luci belum menemukan keanehan apa pun. Buat Luci, setiap hari di hidupnya adalah keanehan dunia yang nyata. Setelah menyiapkan bubuk cokelat dan menunggu espresso selesai terekstrak, Luci baru menyadari hal yang aneh.
Itu cewe ngapain nge-roll rambut sama dandan di kafe anjir????!!
Karena merasa kafe adalah tempat umum dan semua orang bebas melakukan apa pun selain berzina, Luci memilih untuk meneruskan pembuatan moccacino tanpa berpikir apa pun.
“Iced moccacino kak, silahkan.” sebuah ujaran standar tapi wajib dilakukan. Luci bahkan hanya membalas ucapan ‘terima kasih’ dengan senyum. Tidak berpikir hal lain dan juga tidak berharap ada kelanjutan apa-apa.
Kembali ke bar, Luci membersihkan meja yang tadi sedikit terciprat susu dan membersihkan beberapa bagian lain. Konsep open bar membuat kebersihan bar harus menjadi hal yang paling utama. Pelanggan bisa melihat bar secara langsung, juga si baristanya dan proses bagaimana pesanan mereka dibuat juga. Pak Danu dan bu Fre juga sangat rajin melakukan sidak untuk tiap sudut meja bar.
“Kak!”
“Ya?” sambil tetap mengelapi shaker, Luci menoleh. Wajah si mbak customer ini sudah penuh terpoles make up, poni sudah tergulung, tapi tidak menarik hati Luci sama sekali, duh maaf.
“Kok moccacino-nya manis banget ya kak?”
“Masa sih kak?”
“Iya.”
“Wah padahal takaran gulanya cuma 15ml kak. Apa mau saya kasih es batu lagi?” Luci berdiri di depan freezer, bersiap membuka untuk mengambil es batu tambahan.
“Hmmm gak usah deh kak. Mau dikasih es batu atau air juga tetep bakal manis banget.” kata-katanya terhenti, Luci mulai merasakan kalau sebentar lagi ia akan dihadapkan pada sesuatu yang tak ia duga. “Soalnya saya minumnya sambil ngeliatin kakak. Hehehehehe.”
Tuhanku dan Allahku,, ini kah hukuman dariMu karena aku tidak pernah ke gereja? Ketemu lagi pelanggan model begini astagaaaaa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Udarati
General FictionUdarati : (S) kw. ak segara Segara, laut. Mana yang lebih luas? Pemikiran, permasalahan, serta kehidupan manusia; atau lautan? Bukan, ini bukan cerita soal sketsa kehidupan di laut. Ini cerita tentang sketsa kehidupan di dalam bingkai sebuah kafe be...