3. Rindu IBU

80 14 9
                                    

Fara melangkah lambat, ia terus saja menguatkan dirinya untuk bertahan di sekolah ini. Hanya dua tahun, terkadang waktu selama itu tak akan lama jika menjalaninya dengan ikhlas, tapi apakah ia mampu bertahan dengan problema sekolah? Sehari saja rasanya seperti setahun. Ia mendesah membayangkan apa yang dialaminya hari ini. Bagaimana hari selanjutnya? Apakah makin parah atau akan baik-baik saja? Yang Fara tahu jangan sampai mencari masalah dengan murid-murid lain.

Fara merogoh saku bajunya, mengambil lebaran uang, tangannya membelai uang tersebut menghitung lembarannya. Lagi-lagi ia mendesah uangnya tak cukup untuk menyewa ojek. Mengadakan kepala menatap langit siang ini sangat cerah dan panas, bahkan lupa membawa payung. Semakin lama menunggu maka hari semakin panas, biasanya jika di kampungnya akan membawa payung ketika pulang, namun ia lupa membawa payung pemberian Ibunya. Napasnya pun tersengal-sengal berjalan sangat jauh, tangannya tak berhenti-berhenti menghapus peluh keringatnya.

Langkahnya kian melebar melihat atap rumahnya, tak sabar masuk dan minum air putih dingin. Fara membuka pintu rumahnya dengan tergesa-gesa, kemudian melempar tasnya ke sofa dan berbaring di lantai. Tenaganya berjalan ke dapur sudah tidak ada lagi.

"Kamu kenapa?" seru Tante Fatma, menenteng banyak belanjaan.

Fara menoleh garis bibir melengkung ke atas. "Habis olah raga, Tan," jawabnya, lalu memejamkan matanya.

Tante Fatma menggelengkan kepala. "Jalan kaki lagi," pernyataan Tantenya, Fara mengangguk cepat. "Itung-itung olah raga. Fara udah lama nggak lari-lari pagi."

"Di luar sangat terik, kamu make payung kan?" pasti Tantenya, Fara terdiam. Ia mengambil ranselnya. "Fara lupa membawa payung pemberian Ibu," ungkapnya, Tante Fatma pun mengangguk paham, Fara pulang tak memakai payung.

"Apa kita beli motor aja buat kamu, jarak sekolah dan rumah jauh." Fara berhenti melangkah mendengar usulan tantenya, ia berbalik dengan raut tak suka.

"Fara nggak butuh motor. Selama Fara masih bisa berjalan biar saja, lagi pula kalau jalan kaki itu sehat," balasnya dengan cemberut.

"Tapi kamu bisa sakit kalau saja terus-terusan jalan kaki apalagi panas seperti tadi." Fara menaikkan bahunya acuh meneruskan langkahnya ke kamar.

Ucapan Tantenya memenuhi pikiran, matanya turun ke seragam. Benar juga apakah akan sanggup berjalan kaki selama dua tahun ini. Ia mengganti seragam sekolahnya dan memasukkan ke mesin untuk dipakai besok. Setelah selesai membantu Tantenya Fatma mengolah adonan kue. Tantenya akan memulai kembali bisnis kue. Dulu, kue yang dijualnya sangat laris, namun ia menghentikan usahanya saat Fara lahir. Ibu Fara sibuk kerja. Awalnya kehidupan Fara tidak susah, seperti sekarang, ibunya memiliki usaha kecil yaitu butik baju. Namun usaha tersebut tutup ketika ibunya sakit parah, dan harus belajar hidup irit untuk pengobatan ibunya. Umur Fara saat itu masih kelas 1 SMP hingga saat masuk SMA ibunya menutup usia pula.

"Adonanya Fara," tegur Tante Fatma, Fara meringis memerhatikan adonan kue dibuatnya hampir rusak jika tidak sesuai takarannya.

Tante Fatma memasukkan kue ke dalam panggangan. "Kemu kenapa? Tidak fokus begini."

Fara menghela napas. "Kok bisa ya takdir seakan mempermainkan Fara ya, Tan," ungkapnya Tiba-tiba. Ia memerhatikan adonan dengan tatapan kosong.

Tangan Tante Fatma berhenti menutup pintu panggangan, ia tak mengerti maksud perkataan Fara.

"Fara sangat menayangi Ibu, berharap bisa selalu menemani Fara. Ibu, berperan ganda dalan hidup Fara menjadi Ayah sekaligus Ibu. Satu-satunya tempat bersandar Fara, penguat Fara diambil Tuhan. Hidup kita sekarang sangat susah, dulu Fara masih bisa membeli yang Farah mau. Sekarang bahkan ponsel Fara pun dijual, dulu dalam hati, Fara ikhlas tidak memiliki barang-barang itu asalkan ibu bisa disembuhkan, tapi sangat ibu akhirnya meninggalkan kita. Dan satu lagi membuat Fara sakit dan luka paling dalam, tidak tahu siapa Ayah sampai sekarang. Fara pun ingin merasakan bagaimana kasih sayang Ayah, walaupun Ibu dan Tante menyayangi Fara, tapi rasanya kurang lengkap. Sekarang Ibu sudah tidak ada, Fara pun belum tahu Ayah Fara. Tante," panggil Fara, tante Fatma menghapus air matanya, kemudian menghadap Fara.

Tante Fatma tersenyum. "Apa Fara anak haram?"

Kalimat itu sontak saja mata Tantenya terbelalak. Kenapa Fara berpikiran seperti itu. "Kamu ini ada-ada aja. Jangan berpikiran aneh-aneh," tegur Tantenya.

"Kalau memang bukan, kenapa ayah tidak pernah sekalipun datang menemui Fara. Kenapa Ibu pun sangat merahasiakan yang berhubungan dengan Ayah?"

Tante Fatma menghela napas, lalu duduk di sampingnya. "Ibu ada di sini. Ia tak akan pernah meninggalkan kita sepenuhnya. Meski Ibu sudah tidak ada di sisi kita, tapi tetap ada dalam hati. Ibu tidak pernah mengajari Fara untuk memikirkan hal-hal negatif. Sekarang, masih ada Tante bersama kamu, kamu bisa cerita apa pun itu. Untuk Ayah Fara, Ibu pasti punya rencana sendiri untuk Fara. Fara bukan anak haram, Fara terlahir dari pernikahan yang sah."

Fara memeluk Tante Fatma. Ia merutuki dirinya. Kenapa ia berpikir yang seperti ini. Ibunya selalu mengajarinya untuk selalu berpikir positif dan ceria. Bahkan, pertanyaan sering ditanyakan kepada ibunya 'apakah ia anak haram' diungkit kembali. Tante Fatma mengusap surai Fara.

"Kamu ada masalah di sekolah," terka Tantenya, di balas galangan oleh Fara.

****
Fara membiarkan rambutnya tergerai, poninya dibiarkan lurus ke depan. Ia memakai jepitan kecil di sebalah kanan. Fara mengusap seragam yang dikenakan, berharap hari ini tidak melihat Arlan dan Alvaro berkelahi lagi. Dan berjanji tidak akan berurusan kedua laki-laki itu lagi agar hidupnya tenang. Ia mengambil tempat bekal, mengisinya tak lupa air minum, menutup rapat-rapat lalu memasukkan ke dalam tas.

"Kok bawa bekal, uang jajan kamu kurang?" Tante Fatma bersuara.

"Nggak kok, cuman Fara mau aja bawa bekal gitu." Ia menjeda ucapannya meminum susu. "Lagian kalau bawa bekal bisa lebih hemat. Jadi, uang jajannya bisa beralih ke yang lain," lanjutnya.

Tante Fatma mengangguk saja. "Tente antar kamu. Tante antar jemput kamu ke sekolah." Tangannya mengambil kunci motor di atas meja.
Fara melambaikan tangan. Ia terbiasa melakukan untuk Ibunya ketika mengantarnya sekolah. Ia kembali menatap gedung sekolahnya. Menghela napas sejenak selanjutnya melangkah masuk sekolah. Beberapa siswa memandangnya tak suka sehingga membuatnya menunduk, dengan langkah semakin cepat. Namun, Tiba-tiba saja seseorang menghadang jalannya.

"Pagi calon kakak Ipar," sapa Kesyha sangat keras dan penuh semangat. Beberapa pasang mata mengarah ke mereka berdua. Ia meringis baru saja terlepas dari tatapan maut siswa-siswi, sekarang tatapan lebih intens dan kejam.

"Wah lo makin cantik aja ya, Kak. Eh, itu isinya apa?" Tunjuk Kesyha ke tas hitam kecil digunakan Fara menyimpan bekal.
Keysha merebutnya lalu membukanya tanpa pikir panjang melihat situasi mereka masih di koridor sekolah. "Wah ada bekal, harum banget lagi, nanti bagi ya, Kak," pinta Kesyha raut berbinar.

Tatapan jijik dan mencemooh didapatkan Fara membuatnya tertunduk kenapa selalu saja menjadi pusat perhatian. Kesyha yang mengerti dengan gelagat Fara sangat risih, membalas tatapan dingin dan sinisnya.

"Heh, mata kalian mau di cungkil!" teriaknya dengan lantang, sedangkan Fara mendongak menatap wajah Keysha.

"Masa sih pacar Arlan? cantikan gue. Kalau dilihat sih dari keluarga miskin. Masa iya bawa bekal ke sekolah, bukan anak Sd lagi kali." Kesyha mendengar ocehan itu menarik Fara, menemui mereka.

Kesyha menatap ke duanya dari atas sampai bawah, lalu mengeluarkan cermin mini yang selalu dibawanya ke mana-mana ia simpan di saku baju. "Oh, jadi ini fens Kak Arlan yang terkenal cantik itu," ungkap kesyha tersenyum miring. "Cantik sih, tapi sayang cantik karena riasan. Foundesion lo berapa lapis? Ketebalan sih," ejeknya. "Di mata gue lo tetap nggak cantik! Kenapa karena hati lo busuk auranya gelapnya mengalahkan riasan lo. Pantesan aja Kak Arlan nggak mau. Hahah." Kesyha menghentikan tawanya lalu tersenyum sinis lagi. "Belajar merias wajah terlihat natural sono," kesyha meletakkan cerminnya di depan wajah siswa tersebut. "Riasan lo lebih ke acara pengantin!"

Siswa itu mengepalkan tangannya, tertunduk malu. Ia lari ke dalam kelasnya dengan mata memerah, sedangkan sahabatnya menatap kesyha penuh kebencian. Kesyha membalas tatapan dingin, lalu meninggalkan mereka.

Fara belum memahami apa yang terjadi tadi, namun ia terus mengikuti langkah Kesyha. "Apa tadi nggak keterlaluan?" ia membuka suara setelah terdiam cukup lama.

Kesyha berhenti melangkah. "Nggak kok, dia patut mendapatkan. Gue nggak suka sahabat gue dihina orang. Apalagi membandingkan status sosial seseorang. Itu sih nggak ada apa-apanya."

"Apa kamu nggak takut dibenci mereka?" tanya Fara lagi.

"Dari awal mereka nggak suka gue," jawab kesyha tersenyum ceria. "Lantas apa yang gue khawatirkan, gue hanya menjalankan peran gue sesuai persepsi mereka. Lagi pula gue nggak suka jadi cewek munafik hanya karena mau disenangi banyak orang."

"Mereka sudah datang," ungkap Kesyha menunjuk Arlan, Devian dan Rhei. Ia merapikan rambutnya. "Gimana rambut gue udah bagus belum?"

Fara mengangguk, gadis itu berlari menemui Rhei berjalan di sampingnya tersenyum manis.

"Rhei, ini buat lo." Kesyha menyodorkan coklatnya.

Rhei tak tertarik sama sekali, menoleh pun tidak. seakan-akan gadis itu tak ada di sampingnya. Kesyha menghembuskan napas, lagi-lagi dirinya dicuekin. Namun, ia tak menyerah sama sekali.

"Rhei ... kok lo cuekin gue melulu sih?" Kesyha berteriak dengan raut kesal. "Kurang apa lagi sih gue buat lo," ucapnya lagi.

Rhei berhenti mengayunkan kaki lalu berbalik. "Kurang banyak!"

Kesyha mematung dengan kesal menemuinya dan menyodorkan coklat digenggamnya dengan kasar. setelah itu ia tersenyum manis.

"Nggak apa-apa kurang banyak, kan nanti lo yang lengkapin kekurangan gue!" ucapnya lalu menemui Arlan terus memerhatikan Fara.













FARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang