7. Status Kita Beda

65 8 44
                                    

Fara mengambil barang-barangnya bergegas pulang, ia kembali  mengingkari  janjinya untuk  tidak berurusan dengan siswa pemberontak seperti mereka.  Dengan tergesa-gesa berjalan keluar rumah tanpa  pamit terdahulu. Langkahnya terhenti .  Menatap kembali rumah tersebut. Ia bertekad ini kali pertama dan terakhir menginjakkan kaki di sini. Tak ingin berlama-lama  menyeret langkahnya semakin  jauh secepat  mungkin sebab takut Kesyha  ataupun  Arlan kembali menyeretnya ataupun menahannya untuk tetap di sini dengan segudang  alasan.
 
***
Devian berpapasan dengannya sejenak menghentikan  langkah, ia menggaruk tekuknya tak  gatal, sedangkan  Fara hanya bersikap  cuek, tidak peduli tentang Deviano.
 
“Lo berdua kenapa, kek panik  gitu?” sahut Devian  memasuki  rumah menemukan Kesyha dan Arlan  cemas.
 
“Gimana ni, Kak? Apa dia sudah pulang atau nggak? Lo sih, ada tamu bukannya ditemani malah sibuk main game.” Kesyha menyalahkan Arlan, yang tak mau kalah.
 
“Lo sendiri ngapain  aja? Lo tau kan, Fara nggak suka gue dekatin, dia risih  makanya gue tinggalin lo berdua. Mana udah mau magrib  lagi.”
 
“Kalau dia beneran pulang ....”

Kesyha  semakin cemas memikirkan hal tersebut. Pulang  sendiri  berbahaya jalan ke rumahnya banyak, anak-anak suka mabuk-mabukan dan sebagainya. Bahkan tak jarang bertengkar.
 
Devian menggelengkan kepala, ke dua tingkah Kakak-beradik itu  bisa goblok secara bersamaan. “Gue berpapasan  Fara dekat jembatan. Jalan kaki lagi!”
 
Atensi Arlan dan Kesyha tertuju ke Deviano dengan mata terbelalak. “What?! Lo nggak tawarin  anterin pulang?”
 
Devian menggalang cepat. “Nggak dia aja nggak peduli ke gue. Jadi ngapain.”
 
Bruk!
Awww...!
 
Kesyha menendang tulang kering Deviano. “Lo bego atau oon sih, lo tau sendiri kan dia itu perempuan! Ini udah menjelang magrib beberapa  menit  lagi. Waktunya remaja nakal beraksi dan lo biarkan dia pulang  sendiri! Bahaya bego! Gimana kalau  terjadi sesuatu sama Fara, apalagi  dia itu lugu banget!”
 
Devian terdiam, bukan karena merasa bersalah. Namun, kenapa dirinya yang disalahkan di sini yang tak  tahu apa-apa.
 
Sedangkan Arlan bergegas  mengambil jaketnya lenggang mencari  Fara, ia takut gadis itu  dalam bahaya. Hatinya  bingung  kenapa  gadis polos sepertinya  mampu mengalihkan perhatiannya dengan  tingkah  sesederhana saja. Rasa ingin melindungi semakin besar. Atau mungkin saja  perasan ini hanya bentuk  balas budi  untuk Fara.
 
Arlan frustrasi sudah sangat jauh mencari Fara namun belum juga menemukannya. Ingin menelpon ia tidak punya nomornya, ingin mengecek  ke rumahnya, ia pun  belum mengetahui  di mana rumah Fara. Ia menjambak rambutnya ketika terjadi sesuatu  dengan gadis itu, tak akan memaafkan dirinya. Mana mungkin gadis itu, secepat  mungkin berjalan.
 
Di sisi lain Fara berjalan tanpa arah, semakin mengayunkan kakinya semakin ia menemukan gang-gang kecil yang gelap, suasananya pun semakin mencekam. Matanya terus waspada sesekali menengok  belakang. Firasatnya mengatakan  seseorang  terus saja membuntutinya. Wajahnya  mulai dipenuhi  peluh keringat dingin. Hatinya kecilnya  berkata untuk berlari. Ia mengikuti isi  hatinya  berlari  semakin cepat, benar saja  bayangan seseorang  semakin terlihat  jelas. Fara  semakin mempercepat  larinya, laki-laki itu pun ikut berlari mengejarnya. Berhenti sejenak,  ia menghirup udara sebanyak  mungkin , matanya terus menatap  gang, ia kembali  berlari  saat orang itu mulai terlihat, air matanya menetes. Ia terisak saat sampai di jalan raya. Ia memegang pembatas  jalan sebagai tumpuan. Ia berpikir laki-laki itu  berhenti  mengikutinya, tapi salah. Laki-laki itu tersenyum  miring lantas mendekatinya. Fara mematung. Laki-laki seumurnya semakin mendekat. Fara berjalan mundur dengan tumpuan. Wajah laki-laki itu sangat terlihat  seram, matanya kemarahan, hidung  bibirnya,  dan telinganya terdapat leotin.  Fara bersiap  lari kembali, tapi laki-laki itu mencekal tangannya.
 
“Lo nggak bisa  kabur! Ini kawasan gue, lo milih  jalan yang salah!” ungkapnya, menarik  tangan Fara secara paksa.
 
Fara terus memberontak  meminta tolong.  Tak ada yang mendengarnya. Kendaraan yang berlalu lalang sekan tak mendengar jeritan Fara. Air mata Fara tak henti-henti berjatuhan semakin teriak merintih kesakitan bersamaan ketakutan.  Laki-laki itu, mendorong  Fara ke tembok secara kasar, Fara meringis kesakitan. Ia merengkuh takut  saat laki-laki itu mencoba  menyentuh  pipinya.
 
“Ap—apa yang kau lakukan,” lirih Fara menunduk  takut.
 
“Jangan takut sayang, kita ini seusia. Jadi, aku akan lembut!” desis laki-laki tersenyum picik.
 
Ie menyentak jemari Fara yang menutupi wajahnya. Lalu menarik  pergi. Ia memerhatikan wajah Fara dengan penuh  senyum.

FARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang