Fara mengambil barang-barangnya bergegas pulang, ia kembali mengingkari janjinya untuk tidak berurusan dengan siswa pemberontak seperti mereka. Dengan tergesa-gesa berjalan keluar rumah tanpa pamit terdahulu. Langkahnya terhenti . Menatap kembali rumah tersebut. Ia bertekad ini kali pertama dan terakhir menginjakkan kaki di sini. Tak ingin berlama-lama menyeret langkahnya semakin jauh secepat mungkin sebab takut Kesyha ataupun Arlan kembali menyeretnya ataupun menahannya untuk tetap di sini dengan segudang alasan.
***
Devian berpapasan dengannya sejenak menghentikan langkah, ia menggaruk tekuknya tak gatal, sedangkan Fara hanya bersikap cuek, tidak peduli tentang Deviano.
“Lo berdua kenapa, kek panik gitu?” sahut Devian memasuki rumah menemukan Kesyha dan Arlan cemas.
“Gimana ni, Kak? Apa dia sudah pulang atau nggak? Lo sih, ada tamu bukannya ditemani malah sibuk main game.” Kesyha menyalahkan Arlan, yang tak mau kalah.
“Lo sendiri ngapain aja? Lo tau kan, Fara nggak suka gue dekatin, dia risih makanya gue tinggalin lo berdua. Mana udah mau magrib lagi.”
“Kalau dia beneran pulang ....”Kesyha semakin cemas memikirkan hal tersebut. Pulang sendiri berbahaya jalan ke rumahnya banyak, anak-anak suka mabuk-mabukan dan sebagainya. Bahkan tak jarang bertengkar.
Devian menggelengkan kepala, ke dua tingkah Kakak-beradik itu bisa goblok secara bersamaan. “Gue berpapasan Fara dekat jembatan. Jalan kaki lagi!”
Atensi Arlan dan Kesyha tertuju ke Deviano dengan mata terbelalak. “What?! Lo nggak tawarin anterin pulang?”
Devian menggalang cepat. “Nggak dia aja nggak peduli ke gue. Jadi ngapain.”
Bruk!
Awww...!
Kesyha menendang tulang kering Deviano. “Lo bego atau oon sih, lo tau sendiri kan dia itu perempuan! Ini udah menjelang magrib beberapa menit lagi. Waktunya remaja nakal beraksi dan lo biarkan dia pulang sendiri! Bahaya bego! Gimana kalau terjadi sesuatu sama Fara, apalagi dia itu lugu banget!”
Devian terdiam, bukan karena merasa bersalah. Namun, kenapa dirinya yang disalahkan di sini yang tak tahu apa-apa.
Sedangkan Arlan bergegas mengambil jaketnya lenggang mencari Fara, ia takut gadis itu dalam bahaya. Hatinya bingung kenapa gadis polos sepertinya mampu mengalihkan perhatiannya dengan tingkah sesederhana saja. Rasa ingin melindungi semakin besar. Atau mungkin saja perasan ini hanya bentuk balas budi untuk Fara.
Arlan frustrasi sudah sangat jauh mencari Fara namun belum juga menemukannya. Ingin menelpon ia tidak punya nomornya, ingin mengecek ke rumahnya, ia pun belum mengetahui di mana rumah Fara. Ia menjambak rambutnya ketika terjadi sesuatu dengan gadis itu, tak akan memaafkan dirinya. Mana mungkin gadis itu, secepat mungkin berjalan.
Di sisi lain Fara berjalan tanpa arah, semakin mengayunkan kakinya semakin ia menemukan gang-gang kecil yang gelap, suasananya pun semakin mencekam. Matanya terus waspada sesekali menengok belakang. Firasatnya mengatakan seseorang terus saja membuntutinya. Wajahnya mulai dipenuhi peluh keringat dingin. Hatinya kecilnya berkata untuk berlari. Ia mengikuti isi hatinya berlari semakin cepat, benar saja bayangan seseorang semakin terlihat jelas. Fara semakin mempercepat larinya, laki-laki itu pun ikut berlari mengejarnya. Berhenti sejenak, ia menghirup udara sebanyak mungkin , matanya terus menatap gang, ia kembali berlari saat orang itu mulai terlihat, air matanya menetes. Ia terisak saat sampai di jalan raya. Ia memegang pembatas jalan sebagai tumpuan. Ia berpikir laki-laki itu berhenti mengikutinya, tapi salah. Laki-laki itu tersenyum miring lantas mendekatinya. Fara mematung. Laki-laki seumurnya semakin mendekat. Fara berjalan mundur dengan tumpuan. Wajah laki-laki itu sangat terlihat seram, matanya kemarahan, hidung bibirnya, dan telinganya terdapat leotin. Fara bersiap lari kembali, tapi laki-laki itu mencekal tangannya.
“Lo nggak bisa kabur! Ini kawasan gue, lo milih jalan yang salah!” ungkapnya, menarik tangan Fara secara paksa.
Fara terus memberontak meminta tolong. Tak ada yang mendengarnya. Kendaraan yang berlalu lalang sekan tak mendengar jeritan Fara. Air mata Fara tak henti-henti berjatuhan semakin teriak merintih kesakitan bersamaan ketakutan. Laki-laki itu, mendorong Fara ke tembok secara kasar, Fara meringis kesakitan. Ia merengkuh takut saat laki-laki itu mencoba menyentuh pipinya.
“Ap—apa yang kau lakukan,” lirih Fara menunduk takut.
“Jangan takut sayang, kita ini seusia. Jadi, aku akan lembut!” desis laki-laki tersenyum picik.
Ie menyentak jemari Fara yang menutupi wajahnya. Lalu menarik pergi. Ia memerhatikan wajah Fara dengan penuh senyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
FARA
Teen Fiction"Aku di sini tepat di depanmu, bersamamu tak pernah kau lihat! Aku bagaikan angin yang berlalu di hidupmu ada tapi tak terlihat." Fara adalah gadis polos yang terpaksa pindah sekolah di salah satu sekolah yang dihuni oleh murid-murid kalangan bera...