8. mulai terungkap.

43 5 10
                                    

"Berapa banyak luka yang kau pendam? Lalu berapa banyak sandiwara yang kau buat? Izinkanlah aku mengobati segala luka itu. Agar kau berhenti bersandiwara"
ARLAN
.
.
.
.
🍁
"

Ra, ayo nak makan  dulu?" tante Fatma mengetuk  pintu kamarnya

Sudah  sejak Fara datang terus mengurung diri  dalam kamar, bahkan di kunci. Namun, panggilan tentenya tidak di gubrisnya sama sekali.

"Fara, sayang kamu nggak sakit kan?" tanyanya lagi dengan cemas.

"Ra, Fara? Kamu baik-baik saja kan?" tante  fatma semakin  kencang mengutuk  pintu  kamarnya.

Ceklek!

Fara  membuka pintu itu, wajahnya pucat pasi dengan senyum kecilnya.

Tanyenya  kaget segera mungkin membawanya ke meja makan. Ia mendudukan Fara ke kursi lalu menuangkan air putih  diminumnya.
Fara hanya  memandang kosong  gelas itu, ingatannya  kambali saat menutup perut  Arlan dengan darah. Ia merapatkan kedua tangannya berusaha membuang jauh-jauh pikirannya itu.

Perempuan paruh baya itu meletakkan  obat demam dan makanan di depannya pun menoleh, gadis  itu menutup  rapat-rapat matanya dengan  raut  ketakutan. Ia lantas memeluknya erat menenangkan. Fara perlahan membuka kelopak matanya merasa tenang dengan pelukan tantenya.

"Apa yang  sudah terjadi? Kenapa  kamu seperti ini lagi, sayang? Apakah ada yang menganggumu di sekolah?"

Fara menggeleng. "Fara, habis  menyentuh darah  orang lain..."

Diam. Tante  Fatma bingung ingin mengatakan apa. Ia tahu akan sangat sulit  untuknya  melupakan  kejadian itu. Sejak kecil gadis itu akan pingsan saat melihat  darah bahkan demam berhari-hari. Apalagi menyentuhnya.  Entah  berapa  lama akan terus dihantui kejadian tersebut dan entah  berapa lama akan demam seperti  ini.

"Kenapa kamu nekat, sayang."

"Fara tidak  mungkin membiarkan orang lain mati di hadapan Fara."

Tante  Fatma pun tersemyum menyodorkan obat untuk diminumnya.

"Setidaknya, kamu sudah  punya keberanian sedikit dan tidak sampai pinsang."

"Apa mungkin Fara bisa sembuh   tante?"

"Pasti!"

***
Arlan masih asik memainkan ponselnya menunggu kesyha datang membawakan makanan dipesannya. Sejenak ingatannya terbayang dengan ucapan Fara yang takut darah. Apa kabar dengan gadis itu? Ia keluar dari gamenya dan memegang perutnya yang jauh lebih baik seyetelah dijahit.

Wajah kesal dan khawatirnya membuatnya semakin menggembangkan garis bibirnya. Arlan lantas membuka ponselnya dan mengecek ponselnya mencari nomor gadis itu namun tidak menemukannya juga.

"hallo key lo jangan lupa singgah ke rumah Fara, sekaligus minta nomormya ya," pesan Arlan lewat telpon tersebut.

Di sisi lain Kesysha mengerecutkan bibirnya lalu mencabik tak terima dengan perlakuan semaunya Arlan.

"Sekarang gue jadi ragu kalau dia beneran sakit dengan sifat sok bosnya itu."

Kesyha mengehentikan motornya di depan rumah minimalis yang menjukkan mata itu, dengan ragu mengayunkan kaki mencoba menyapa sang pemilik rumah. Dengan ragu mengetuk pintu kayu coklat tua itu.

Tok!tok!tok!

Perempuan paruh baya berumur sekitar 35 tahun itu membuka meskpiun wajahnya masih terlihat mudah. Senyum kesyha terbit dari bibirnya sedikiy canggung.

"Faranya ada, tan?" tanyanya sedikit canggung menggruk kepalanya sedikit gatal.

"Oh tamannya Fara, sini masuk na." ajak Tante Fatma dengan ramah meramgkul bahu kesyha.

FARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang