2.Bertemu kembali

119 16 22
                                    

"Hai...," sapa laki-laki itu sambil tersenyum dipaksakan.

Mata Fara terbelalak, laki-laki ditolong kemarin mengenalnya. Ia menyelipkan anak rambutnya ke daun telinga lalu menaikkan tangan kanan membalas.

"Nggak usah sok ramah, make acara sapa-sapa segala. Jadi karakter sendiri aja lebih baik. Gue merasakan lo kesambet," cerocos Deviano sahabat Arlan, merangkul bahunya.

Fara menurunkan tangannya merasa malu. Ia tertawa bodoh sangat percaya diri kalau yang disapa dirinya rupanya bukan. Ia menghadap ke gedung sekolah yang menjulang dan luas. Bingung dan gemang memulai langkahnya dari mana untuk mencari kantor. Netranya menemukan beberapa siswa-siswi berbondong-bondong berjalan ke koridor, tanpa pikir panjang mengikuti siswa-siswi tersebut berharap menemukan kantor secepatnya.

Fara pun mengerutkan kening kumpulan siswa yang diikutinya ke parkiran belakang sekolah tempat parkir khusus motor. Ia mendesah pasrah, untuk bertanya pun malu. Apakah ada yang akan menjawab ketika bertanya. Fara kembali memutar langkahnya mencari kantor. Ia mematung motor sport melaju cepat ke arahnya, kedua kakinya berat untuk digerakkan. Ia menutup matanya dengan refleks tangannya menutup wajah.

Tin!Tin!Tin!

Bunyi melekit klakson motor sebagai pertanda peringatan tak ia hiraukan. Perhatian siswa-siswi di parkiran fokus ke arahnya, berbagai aktivitas dari mereka, ada menahan napas karena tengang, ada pula yang menghujat menyatakan cari perhatian, dan beberapa dari mereka mengambil pun mengambil vidio.

Bram! Bram! Kitt!

"Lo mau mati? Kalau mau bunuh diri jangan di sini." Fara membuka matanya dengan cepat ia tersentak dibentak. Netranya terpaku, penampilan cowok itu. Rambutnya yang diwarnai, warna coklat, memakai anting-anting di telinganya sebalah kanan. Mata Fara turun ke seragamnya. Bajunya distell dalam hanya bagian depan doang. Dari penampilannya Fara tahu ia anak nakal.

"Heh.Gue ingatin ya, kalau lo mau bunuh diri, dijalan raya sana!" bentaknya lagi, membuat Fara tersentak.

Fara menunduk meremas jemarinya. Kakinya pun ikut bergetar.

"Maaf," cicit Fara, ia pun bingung kenapa harus meminta maaf, Ia tidak melakukan kesalahan apapun.

Alvaro menatap Fara dari atas sampai bawah. Ia tersenyum miring meremehkan.

"Lagi! Lagi, lagi murid miskin." Fara refeleks mendongak menatap Alvaro.

Alvaro menatapnya tajam. "Lo, nggak pantas make seragam itu!" ucapnya menaikkan sebelah alisnya. Alvaro kembali memakai helm-nya meninggalkan Fara masih berdiri mematung dengan perasaaan yang mencoclos.

****
Fara berusaha melupakan ocehan tak berbobot laki-laki itu yang tidak ia kenal namanya. Seenaknya mengejek Fara anak Miskin. Bahkan ia pun kadang heran apakah terlahir miskin salah? kenapa orang-orang selalu menganggap mereka seperti aib? Fara terus mengayunkan kakinya walaupun hatinya nelangsa. Sudah beberapa menit, waktunya terbuang hanya untuk mencari kantor sekolah ini. Berjalan tak tahu arah membuatnya lalah, ia memasuki kantin beristirahat sejenak, dan melepaskan dahaganya. Ia mengambil air mineral dalam lemari pendingin lalu membayarnya.

"Um, Bu, kantor sekolah terletak di mana?" tanya dengan tersenyum.

Bu kantin itu menatap Fara sekilas, meletakkan kembalian uang-nya di atas lemari kaca sebagai pembatas antara penjual dan pembeli.

FARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang