01

32 6 5
                                    

Bolpoin ditanganku aku ketukkan ke meja. Mataku tetap berfokus pada kertas buram berisi pilihan klub yang ada di sekolah ini. Pandanganku sedari tadi menelisik pada opsi nomor lima.

5. Paskibra.

Aku tanpa ragu melingkari nomor lima, lalu menuliskan namaku pada bagian bawah kertas yang tersedia.

Nama                 : Arum Witarum
Gugus               : Uranus
Pilihan klub  : Paskibra

Aku tersenyum senang. Merasa tidak sabar untuk segera memulai ini semua dengan kisah baru dan menyenangkan.

"Kau pilih apa Rum?" tanya Siska, teman sebangkuku selama tiga hari MOS.

"Paskibra." balasku.

Dia mengangguk-angguk. "Waktu smp kau pernah ikut?" tanyanya lagi.

Aku menggeleng, lalu Siska mengangguk lagi. "Klub paskib sekolah ini emang bagus. Aku takut, banyak yang mau join di klub itu. Dan tau nggak yang lebih menakutkan lagi apa?" Siska menggantung ucapannya.

"Takutnya kau yang belum tau apa-apa tentang *pbb ini malah jadi hiasan di klub itu." lanjutnya tanpa pikir panjang.

Senyum ku pudar. Kesal sekali aku dengan anak jalur prestasi ini. Mentang-mentang diterima karena prestasi basketnya dia jadi seenak jidat bilang begitu padaku.

Aku tak menanggapi ucapannya barusan. Itu membuatku kesal. Aku memilih mengacuhkannya daripada aku harus mendengar omongan tidak enak dari mulutnya.

"Becanda, sorry ya." ujarnya. "Aku mau ke kantin, kau ikut?" tawarnya.

Dalam hati aku mencibir tingkahnya itu. Baru saja membuatku kesal, kini dia mau mengajakku.

"Nggak," tolakku tanpa pikir panjang.

Siska berlalu keluar kelas. Sepeninggal gadis itu pikiran ku mulai mengingat-ingat, terlempar ke masa-masa smp ku dulu.

Aku bukan anak yang aktif klub apalagi organisasi di smp. Sebenarnya aku gabung klub jurnalis waktu smp, tapi tidak bertahan lama. Hanya sampai pertengahan kelas tujuh aku berhenti secara sepihak. Gampangnya, aku kabur. Aku lupa alasanku kabur dari klub jurnalis itu. Dan mungkin, waktu itu aku agaknya terlalu malas datang disaat kelas belum dimulai.

Selama smp kelas 7 aku masuk siang. Alhasil, kegiatan klub untuk kelas 7 dilakukan pagi hari.

Mungkin karena sudah biasa masuk siang aku jadi malas berangkat pagi. Jadinya, aku stop klub Jurnalis itu secara sepihak, tanpa pamit atau mengabari pembimbing. Lagian, aku juga belum terlalu akrab dengan anggota yang bergabung. Jadi, kupikir tidak ada salahnya aku berhenti.

Berhenti dari klub jurnalis tak membuatku bergairah untuk mencari klub lain. Dan lagi, aku sulit bersosialisasi, aku ragu karena waktu itu sudah hampir semester dua. Waktu dimana semua klub sudah jalan enam bulan.

Apa jadinya aku mendaftar ke satu klub yang anggota nya sudah saling kenal dan tak ada canggung. Bisa-bisa aku panik dan cemas sendirian karena merasa tak bisa beradaptasi.

Akhirnya, tiga tahun smp ku berjalan alakadarnya. Tapi, masih seru. Aku punya teman satu gumbulan. Dan lucunya, gumbulanku tidak bisa lebih dari enam orang.

Teman kelas? Ah, lupakan saja mereka. Aku tidak bisa berbicara asyik dengan semuanya. Hidupku hanya terus berputar pada lima orang yang jadi satu gumbulanku.

Saat itu, aku menikmati perjalanan smp dengan sedikit teman. Yah, walaupun tiap naik kelas selalu diacak, setidaknya masih ada dua sampai lima orang yang bisa kuajak ngobrol ngalor-ngidul.

"Oy, mau?"

Lamunanku buyar, saat Siska menyodorkan sempol ditangannya padaku.
Aku menggeleng.

Sempol ditangannya ia makan. Lalu ia duduk dikursinya, disampingku.

"Sorry, kali ini beneran maaf banget buat omonganku yang ga ngotak tadi." ucapnya.

Eh, sadar juga ni anak.

"Maap ye, Arum." ucapnya sambil melihatku.

Aku mengembuskan nafas, "Sans, gamasalah." balasku akhirnya.

"Mukusyii,  Arum." Siska tersenyum.

Buat apa kesal. Cukup buktikan saja kalau aku bisa. Dan lihat saja, aku pastikan aku bukan hiasan nantinya.

👣

Hari ketiga MOS, hari terakhir MOS. Penutupan MOS tahun ajaran baru ini ditutup dengan penampilan dari masing-masing klub.

Aku dan semua murid baru duduk rapi sesuai gugus di lapangan.

"Arum, arum, tuh liat," Siska menepuk pundakku. Membuat atensi ku fokus pada tunjukan jari telunjuknya ke depan sana.

Mataku melebar. Didepan sana enam belas orang dengan kostum biru nya berbaris rapih dengan satu orang berdiri dihadapan mereka. Biar aku tebak, itu pasti dantonnya.

Dan benar saja. Saat suara, "Va—riasi!"

Suara musik dengan beat bertempo terdengar dari sound yang ada didekat mereka. Mereka bergerak, membuat gerakan domino yang begitu keren dimataku.

Sekali lagi, dadaku berdesir melihat pemandangan menakjubkan itu. Bisakah aku berharap?

Bisakah, mungkin suatu saat nanti aku ada untuk menampilkan itu ditahun depan?

Sorak sorai penuh kekaguman mendengung ditelingaku. Padahal penampilan paskibra tadi sudah selesai beberapa jam yang lalu.

Kini aku duduk di kursi kayu depan pos satpam. Sedang menunggu jemputan dari ayah. Sudah hampir empat lima menit aku menunggu tapi ayahku belum datang juga.

"Siap grak!"

Kepalaku menoleh pada lapangan yang tak jauh dari pos satpam. Dapat kulihat, enam belas orang sedang berbaris rapi disana.

"Sesuaikan medan, lari maju, jalan!"

Enam belas orang itu berlari dengan tempo teratur. Semua orang yang ada di barisan itu menyamakan langkahnya, temponya, dan jajarannya per baris pun lurus.

Rasanya, aku sungguh tidak sabar dengan hariku untuk segera bergabung dan latihan bersama seperti itu.

Nantikan aku!

👣

*pbb = peraturan baris berbaris.

NEW ZONETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang