11

3 1 0
                                    

"Arum." panggilan Ica membuatku menoleh.

"Kau tau jalan waduk baru? Pas aku berangkat tadi, jalannyaa dibuntu pake tembok. Katanya sepuluh persen gang itu tanah orang, aku jadi harus putar jalan buat sampai di sekolah."

"Hah yang betul? Kok ngunu, terus gimana yang mau lewat?" tanyaku agak penasaran.

Jalan waduk baru itu salah satu jalan yang bisa dilewati agar sampai di sekolah. Meskipun jalannya nggak terlalu lebar, seenggaknya jalan itu cukup muat dilalui oleh truk pengangkut besi tua. Di jalan itu juga ada pasarnya, makanya jalan itu bisa dibilang padat karena ramai orang.

Ica mengendikkan bahu, "Mana tau."

Ica menatapku, "Kau ada latihan kan hari ini." ujar Ica kubalas dengan anggukan kepala.

"Kau nanti mau pulang bareng aku nggak? Aku takut putar jalan sendirian."

"Eh? Kau bukannya langsung pulang ya nanti?"

Ica menggeleng, "Aku ada latihan te te tet," kedua tangan Ica seperti memainkan klarinet di depan mulutnya, dan bodohnya aku nggak paham maksut te te tet nya itu.

"Ha?" ujarku nggak paham.

Ica mendengus, "Aku ada latihan marching, pulangnya jam lima sama kayak kau. Jadi, bareng aku ya pulangnya. Aku bawa motor soalnya."

"Oh gitu... Emang kenapa nggak pulang sendiri?"

"Ih Arum, udah aku bilang aku takut putar jalan sendirian, sore-sore rawan, aku takut."
Aku mengangguk, "Oke deh, kalau gitu nanti tunggu di pos satpam aja, Ca." ucapku dibalas anggukan oleh Ica.

Asal kalian tau, rumahku dan sekolahku emang dekat. Tapi, letaknya nggak cukup strategis dibanding pusat kota. Area kami adalah bagian utara dari sebuah kota di Indonesia. Dimana, area utara ini dekat dengan laut.

Jalan yang nanti akan aku dan Ica lewati adalah jalan yang berbatasan dengan laut. Tempat itu ramai dengan orang-orang yang berjualan, banyak muda-mudi atau para wisatawan keluarga yang meramaikan area itu. Tapi, nggak bisa dipungkiri area itu juga jadi tempat motor liar trek-trekan saat tengah malam. Aku pernah dengar ada kasus begal di dekat situ, tapi nggak tau benar atau nggak.

Mungkin Ica takut putar jalan sendirian karena area itu jarang ia lewati kalau pulang sekolah. Dan mungkin, dia jarang pulang sore sendirian juga.

Ah, mana tau lah, pokoknya jangan sampai aku lupa untuk mengabari ayahku supaya nggak menjemputku.

👣

"Heh, Rum." panggilan Ica samar-samar terdengar, meskipun suara ribut angin laut lebih terdengar telingaku.

"Kau nggak bosen apa di bimen melulu?" tanya Ica.

"Dibilang bosen sih bosen, tapi ya gimana? Udah gitu urutannya." sok tau banget lah aku. Padahal nggak tau menau.

Sebenarnya aku ingin mengeluh ini dan itu jika ada yang menanyaiku perkara paskib, ah bukan, perkara bimen. Sungguh, aku hampir pusing sendiri. Pingin cerita ke orang lain, tapi sadar belum ketemu orang yang tepat buat kusambati.

Memilih-milih teman itu sudah jadi hal lumrah. Di smp ku, aku tertampar dengan circle-circle yang membedakan aku dengan yang lain. Dan entah kenapa hal itu membuatku terpikir, mungkin saja di sma akan sama. Makanya, aku harus mencari gumbulan lagi sekarang.

"Hey Rum, kau kenapa nggak ikut latihan variasi kayak Diki sama Anjar?"

Aku cukup terkejut ketika Ica tau Diki dan Anjar. Bagaimana mereka kenal?

"Aku nggak kepilih jadi pasukan lomba." balasku seadanya.

Bisa kulihat Ica melihatku lewat spionnya, "Hooo kok gitu, Rum?" tanya Ica.

"Heh liat depan, Ca." alihku agar cewek itu berhenti melihatiku.

"Tak pikir, semua anggotamu bakal lomba."

Bola mataku bergerak ke atas, "Heum, kayaknya aku masih banyak kurangnya. Makanya nggak kepilih." sautku terdengar sedih.

Ah, padahal aku nggak mau tampak menyedihkan di depan Ica. Tau sendiri kan aku nggak dekat dengannya.

Motor Ica berlaju pelan, suara bising angin mereda, "Aku juga Rum nggak kepilih jadi peniup di lomba minggu depan."

Alisku terangkat, nggak menyangka Ica bakal ngobrolin tentang nggak terpilihnya dia jadi member lomba.

"Ah tapi nggak apa lah. Toh kita masih kelas sepuluh, masih banyak waktu, ye gak Rum?"

Spion motor Ica memantulkan wajah Ica yang tersenyum yakin. Dan entah kenapa aku juga ikut percaya bahwa kata-kata Ica ada benarnya.

Samar-samar aku mengangguk sembari tersenyum, "Ho'oh kau bener, Ca. Masih newbie kita, masih banyak waktu!"

"Fighting!" seru Ica kelewat heboh sambil tertawa.

"Hahahahaha.. "

Semi maghrib itu kami tertawa membahana di atas motor Ica, saat perjalanan pulang, melewati pesisir laut, dengan langit yang mulai gelap dengan guratan oranye—waktu senja.

Malam itu aku terbakar api semangat. Sampai-sampai jantungku berdegub kencang saking semangatnya. Betul kata Ica, aku masih punya banyak waktu di sma ini. Maka malam itu, saat semua terlelap, di kamar aku berlatih tiap-tiap banjar, plus dengan ongkek patah-patahnya yang keren.
Semangat Arum! Waktumu masih banyak.

NEW ZONETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang