04. Berbaikan

122 31 63
                                    

Bukan salah langit mengagumi senja, salahkan dia yang mengabaikan takdir.

Aku menidurkan kepala diatas meja dengan keadaan pipiku yang menempel diatasnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku menidurkan kepala diatas meja dengan keadaan pipiku yang menempel diatasnya. Sudah tengah hari dan perutku lapar, tadi pagi belum sempat sarapan. Rasanya ingin sekali berjalan ke kantin, sekedar membeli roti untuk penjanggal perut, tapi banyak yang kupikirkan. Kenapa? Saat di kelas tadi banyak yang mencemoohku dengan kata-kata yang menyakitkan.

Sulit rasanya memiliki teman disini, ingat sekali mereka mengejekku 'Senja kaki lo napa sih, padahal bagus tinggi cuma jalannya ya rada nyeret.' -- 'cantik sih, cuma cacat' -- 'wajar sih ga bisa dibenerin kakinya, kan ga punya banyak duit hehe' -- 'ga kebayang kalo gue kaya gitu, pasti udah yang mau mati aja' -- 'bersyukur sih, jalannya ga sampe yang pake tongkat.' Hey! gadis cantik sempurna sejagat raya, kau pikir aku tak bersyukur kepada tuhan? Cih.

Mengingat kejadian tadi pagi, itulah alasanku tidak ingin ke kantin. Bayangkan, disana ada banyak mahasiswa yang mengetahuiku, apa mereka tidak akan mengejekku lagi? Tentu saja pasti akan melakukannya lagi.

Aku menegakkan kepalaku karena merasa pegal, tolehku ke kiri dan ke kanan, sepi. Kedua tanganku lalu bergerak melepaskan headset dari telingaku, lalu sibuk merenggangkan otot-otot yang terasa kaku sejak tadi.

Tubuhku bangkit dari duduk, dan berjalan ke rak-rak buku untuk sekedar mencari bahan bacaan agar tidak bosan. Sudah bisa di tebak? ya, aku di perpustakaan.

Jari-jari kecilku menelusuri setiap inci buku yg tersusun rapi berderet, mulutku sedikit terbuka membaca judul-judul yang terpampang di depan mata. Tanpa memperdulikan sekelilingku, kaki ini terus berjalan dengan mata yang terus fokus pada buku-buku di depannya.

"Dugh!" bunyi kepalaku yang menabrak dada seseorang. "M-maaf" kataku, sembari mendongakkan kepala ke si pemilik dada. Mataku terbelalak saat tau siapa yang telah kutabrak "K-Kak se-" -- "syut!!" tangannya menutup mulutku dan menuntun tubuh kecil ini ke rak paling belakang.

Aku mendengar suara teman-teman Kak Sejun di sekitar sini. Penuh dengan tanda tanya dalam pikiranku, mengapa anak-anak seperti mereka berada disini? di saat para mahasiswa lainnya sibuk mengisi perut.

Kak Sejun dengan tangan kirinya yang masih setia mendekap mulutku. Kini, kepalanya sibuk menoleh ke samping untuk memastikan tidak ada yang melihat kami berdua.

"Krukkk," astaga! cacing di perut kosong ini tengah protes, sehingga lelaki yang menyebalkan ini melepaskan tangan kirinya dari mulutku. Pandangannya ke bawah menuju sumber suara, sontak kedua tanganku memeluk perut yang sudah keroncongan dari tadi pagi.

Kak Sejun hanya diam memandangiku beberapa detik, sampai akhirnya "keluar lewat pintu yang satunya lagi, nanti tas lo gue yang bawa, temen-temen gue masih kesal sama lo, maaf," ucapnya lembut, dengan suara berat yang tak pernah aku dengarkan sebelumnya. Ntah apa yang sedang aku pikirkan, anggukan kecil yang akhirnya Kak Sejun terima dariku.

SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang