Vision 2

52 6 1
                                    

Melayang-layang, terasa ringan dan hampa. Gelap. Seperti hari-hari ku. Aku merutuk pelan. Apakah berhasil? Ataukah kegugupanku membawaku kedalam kegelapan selamanya?

Aku menghirup udaranya. Segar. Seperti aroma lavender. Dan hangat. Apakah penghangat ruangan? Aku merekahkan senyum untuk merilekskan wajahku yang kaku. Bahkan aku bisa merasakan retakan dari bibir keringku.

Telingaku menangkap sesuatu. Ah- suara monoton dan membosankan khas pemantau detak jantung. Aku tidak menggunakan itu pastinya. Tetapi mungkin pasien di balik tirai, iya.

Aku kembali merasakan keheningan. Selain suara monoton itu. Tidak ada yang lain. Dimana Kak Pamir? Apa dia tidak menungguku? Ugh, saudara sialan.

"Hai!" Pekikan pelan itu menggaung ditelingaku. Suaranya terlihat seperti anak-anak. Halus dan sengau. Tidak lupa aksen ceria di sapaanya.

"Kau menyapaku?" Barangkali ada orang lain di ruang inap ini selain diriku yang diajak bicara.

"Tentu saja. Hanya kau yang tersadar disini!" Ah betapa cerianya dia.

"Kau gugup? Korneamu akan kembali. Dan kau akan melihat cahaya kembali. Bukankah itu menyenangkan?" Bocah ini mengoceh. Tetapi aku mengakuinya kalau aku cukup gugup menanti hasil dari membukaan perban.

"Yeah. Cukup gugup. Ah, namamu siapa?" Aku mencoba akrab dengan bocah yang tidak tahu datang dari mana dan tiba-tiba menyapaku di ruang inap ini.

"Aku Alice Grace, Kau Willeon kan? Kuharap aku tidak salah orang," bocah ini apakah memang sedikit menyebalkan? Itu menurutku.

"Iya, kau bisa memanggilku Will. Oh, tahu dari mana? Dan sepertinya kau sudah hafal seluk beluk rumah sakit," Tentu aku penasaran. Ada bocah yang tiba tiba mengajaku mengobrol akrab. Bahkan aku tak tau dia pasien atau bocah dari salah satu penjenguk.

"Aku melihat namamu di daftar penerima donor kornea. Hm- kata ibuku dikepalaku ada bola baseball dan itu menyakitkan. Aku sering kali pusing olehnya. Aku sudah disini cukup lama," aku bisa merasakan perubahan emosinya saat mengatakan menapa dia di tempat ini. Oh anak yang malang. Kuharap dia panjang umur.

"Kau terlihat ceria. Terimakasih sudah mampir. Apakah ada kata-kata manis untuku sebelum mengucapkan sampai jumpa?" Aku mencoba mencairkan atmosfir yang kesedihannya menggantung terbebani.

"Hihihi. Kau jangan takut ya. Jangan gugup. Semua pasti baik saja. Tidak akan sesakit yang kau pikirkan kok," aku merasakan tangan kecilnya mengelus rambut ku yang tebal. "Sampai jumpa!"

🌐🌐🌐

Punggungku menegang. Bahkan sampai tulang ekorku. Tangan ku bertautan kuat. Lutut ku bergetar. Aku takut. Sungguh takut. Perasaanku campur aduk.

"Rileks Will, kau tidak akan kemana-mana," Pria Wellem ini-- dari nadanya terlihat geli dengan tingkah ku yang terlalu hiperbolis. Yeah- sudah 17 tahun aku hidup dalam gelap. Dan aku bisa melihat lagi, beberapa menit kedepan.

Aku merasakan tangan kasar dan besar-- milik Kak Pamir-- menggenggam tangan ku. Tumben, manusia ini ada di saat yang tepat. Tidak hanya mengurus pacar nya yang jumlahnya rim-rim an.

"Kau pasti bisa boy. Kau akan melihat wajahku. Dan senyum tampan ku," tentu saja aku mendengus. Menjijikan. Aku tidak akan pernah melabeli kata menawan, jika faktanya senyumu tetap terasa bodoh bagiku.

"Oke aku akan buka perekatnya perlahan," Dr. Wellem mulai melepas perekat yang menempel pada kasa yang menutupi kedua mataku. Aku merasakanya. Dimana udara hangat ruangan milik pria dokter itu menari di depan kelopak mataku yang bergetar. Aku tidak sabar!

Stregone's - I See Death [SEHUN EXO] [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang