Aku memasuki sebuah rumah makan yang buka 24 jam nonstop. Aku menoleh kesana-kemari. Biasanya pegawai atau apapun akan menyapa singkat pelangganya. Tapi- mengapa aku seperti transparan disini? Bahkan si juru masak yang memotong bacon panggang didekat pintu tidak menoleh padaku sedikitpun.
Restoran ini-- dapurnya berada di depan dan tempat makanya berada di belakang. Tidak seperti biasanya. Aku mengenyahkan pikiran anehku dan segera masuk lebih dalam dan mencari tempat duduk.
Restoran ini adalah kedai china. Ornamen tosca muda dan beberapa guci berlukis naga atau kipas berwarna emas dengan aksara hanze. Keadaan begitu lenggah. Hanya ada beberapa orang yang saling mengobrol dengan teman mereka masing-masing atau sedang memesan pada pramusaji restoran ini.
Sepi. Dan sepertinya mereka tidak akan memperdulikanku. Aku mengeluarkan kartu nama milik Henn Dowhan yang diberikan ketika pertama kali ia dan pria itu bertemu. Beruntung aku menemukanya di coat-ku yang kini ku pakai.
Aku meletakanya di meja dan mengeluarkan handphone iku. Tangan kiriku meraba angka braile yang ada di kartu namanya. Sedangkan tangan kananku sibuk menekan nomor telpon. Mata ku melalak liar menatap kesana-kemari dan aku memfokuskannya pada kaca dengan ukiran naga sambil menunggu dering dari handphone-ku berganti menjadi sapaan pria Dowhan.
Krak!
Duh retak. Bagaimana bisa retak? Retakanya semakin memanjang. Saat aku mengedipkan mata, retakan itu hilang tak berbekas dan kembali mulus. Sudut mata ku berkedut. Aku melirik buku menu yang terbaring dingin di dekat siku kanan ku. Ada tipis-tipis api yang melalap ujung buku menu itu. Bahkan hangusnya sudah sampai melahap setengahnya.
Aku tersentak kaget dan spontan berdiri mendengar rekaman telpon yang menyambut telingaku. Ah- aku terlalu fokus dengan si buku menu.
'Hai kau menghubungi nomor pribadi Dokter Henn Dowhan. Tinggalkan pesan setelah bunyi bip.'
Aku melirik buku menu itu. Kembali utuh, bersih dan tanoa noda hangus. Aku mendengus. Lagi-lagi aku seperti ini.
"Hai Henn. Aku Willeon. Aku ada di Y Ming Chinese Resto, Shaftesbury Ave. Aku tahu ini gila. Tapi aku melihat malaikat maut lagi. Bisakah kau datang? Kujelaskan nanti," Aku menarik napas dalam dan menghembuskanya kasar. Aku tidak habis fikir. Bayangan hitam timbul tenggelam. Mematikan telpon dan meletakan nya kembali ke saku celana.
Badanku meluruh dan berakhir menelungkup di meja. Kepalaku tetap tegak debgan dagu menumpu di meja yang dingin ini. Aku melirik sekeliling yang hening. Ada beberapa orang disini. Tetapi mengapa aku tak bisa mendengar suara dari mereka. Bahkan denting piring dengan sumpit besi atau nampan yang diletakan di meja.
Tak!
Tak!
Tak!
Tak!
Bunyi itu mengalihkan perhatianku. Benturan sisi tajam lempengan besi lebar pisau daging dengan talenan kayu yang tebal memotong beef atau apapun itu dengan gerakan lincah dan teratur temponya. Aku memiringkan kepala meneliti gerakan itu. Tetapi malah fokusku terambil alih oleh kobaran api pada tungku.
Api itu membesar melingkupi panci besar dan terus membesar. Desis gas, dentuman potongan daging dan kemudian beralih menjadi desisan panjang diikuti api yang membesar. Melebar.
Aku spontan menunduk dan bersembunyi kebawah meja untuk berlindung dari api. Nafas ku tercekat.
Senyap.
Hening.
Dan gelap.
Semua disekitar ku hitam. Aku menyentuhnya dan mendapati tanganku berlapis abu hitam bekas pembakaran. Aku berdiri berniat melihat sekeliling lebih bebas. Redupnya lampu jalan menyambutku. Didalam restoran ini gelap dan membuat lampu jalan menyorot remang kedalam sini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stregone's - I See Death [SEHUN EXO] [END]
FanfictionWilleon Calter dapat melihat. Melihat bayangan-banyangan pengantar manusia pada pangkuan tuhan. Bayangan yang menurut Willeon adalah malaikat maut. Bayangan hitam kelam yang melayang didekat manusia beberapa waktu sebelum mati. [COMPLETE] - FF EXO×B...