;ㅡ Sela
Prasangka saya tentang Tama yang tidak ingat akan ucapannya sendiri yang lebih mirip dengan igauan tempo hari itu, ternyata benar adanya. Karena setelah tubuhnya kembali bugar, Ia juga kembali menjalani kehidupan monotonon seakan tidak terjadi apa-apa.
Kami sudah berbaikan, omong-omong. Setelah saya pergi hari itu, begitu kembali karena saya masih mengkhawatirkannya, akhirnya kami membuat kesepakatan untuk saling menghargai masalah pribadi satu sama lain. Tama dan kenangan akan mendiang kekasihnya. Saya dengan hidup yang sama bebasnya. Tidak boleh ada yang saling mengekang selama masih dalam batas wajar.
Selain itu, meski harus lebih dulu saya ancam dengan bilang akan membawanya ke rumah sakit jika insiden yang sama terulang lagi dan berhasil membuatnya bersungut-sungut. Kabar baiknya nafsu makan Tama sudah kembali, Ia juga mulai beristirahat dengan benar, dan sudah jarang mendistraksi diri dengan memaksakan untuk bekerja setiap saat.
Saya tengah sibuk memotong pinggiran roti sebagai camilan untuk bekal makan siang milik Tama di dapur, sedangkan empunya sibuk mengunyah nasi goreng yang saya buat seadanya karena lupa mengecek persediaan bahan di kulkas.
"Jangan minum kopi, aku bawain teh."
"Iya."
"Dimakan bekalnya walau cuma sedikit."
"Iya."
"Langsung pulang kalau kamu masih sakit."
"Iya."
"Aku enggak main-main ya, Barata Adhitama."
"Iya, Gisela Eleanora. Saya enggak bakal minum kopi, enggak bakal lupa makan bekalnya, dan enggak bakal ambil lembur lagi."
Walaupun kelihatan jengkel karena hidupnya jadi harus mengikuti peraturan saya yang sewenang-wenang, Tama tetap mencoba untuk menghargai saya yang berusaha keras membantunya bangkit dari keterpurukan.
Seperti saat ini, meski dengan sedikit berat hati, Ia tetap menerima kotak bekal dan aspirin yang saya siapkan untuk berjaga-jaga saat mendapatinya telah berdiri di ambang pintu siap untuk pergi.
"Makasih, Sela," katanya tulus sebelum pintu kembali ditutup.
Karena sudah tidak lagi harus menjaga Tama yang sakit dan tidak ada jadwal pemotretan sampai dua minggu ke depan, saya memutuskan untuk membersihkan apartemen yang kami tinggali semenjak menikah, pergi belanja bahan makanan dan membongkar sisa kardus yang tertunda karena insiden-insiden tempo hari.
Bukannya saya benci bersih-bersih, namun saat melihat tumpukan kardus yang kini sudah terbongkar dan belum kelihatan akan saya rapihkan, tiba-tiba saja saya didera perasaan sendu.
Dulu sekali, saya punya mimpi yang indah soal berkeluarga.
Saya akan menikahi seorang pianis, lalu kami akan tinggal di rumah minimalis dengan halaman yang cukup untuk berkebun. Suami saya akan mengecat dinding dan saya akan menanam bunga. Suami saya akan bermain piano dan saya akan menyanyikan lagunya. Suami saya akan mengganti lampu dan saya akan menyeka debu. Suami saya akan pergi belanja dan saya akan menghidangkan makan malam, lalu.. lalu semuanya hanya tinggal utopia semata.
Padahal saya tahu kalau hidup tidak melulu soal pelangi dan hal-hal menggembirakan lainnya, tapi saya malah bermimpi muluk-muluk dan mau tak mau tetap berakhir ada di sini. Duduk sendirian membelakangi pemandangan gedung pencakar langit alih-alih kebun tulip merah.
Seandainya semesta mau sedikit berbelas kasih dengan mendengar doa saya alih-alih hanya memberi nasib pelik, di antara semua mimpi yang terasa begitu elusif, saat ini mungkin saya hanya ingin dicintai oleh seseorang. Lebih dari apapun, saya ingin merasakan hangatnya dipeluk, senangnya dipuji, dan manisnya diperhatikan. Itu saja rasanya cukup. Namun, itu lebih mustahil 'kan? Mengingat saya yang setelah terikat dengan seseorang pun tetap tidak mampu memiliki ruang di hatinya walau hanya segelintir.
Tanpa sadar, saya jadi menangis dalam diam. Meski saya tahu tidak seharusnya saya bertingkah ringkih seperti ranting kering karena bukan hanya saya yang punya masalah di dunia ini, rasanya saya tetap butuh menumpahkan semua kegundahan yang selama ini membebani hati saya.
Sekali saja, tidak masalah 'kan?
KAMU SEDANG MEMBACA
DAY & NIGHT : EGIAN
Fiksi PenggemarHidup adalah permainan yang tidak bisa dimenangkan. Gisela Eleanora terjebak dalam permain tarik-ulur kehidupan bersama Barata Adhitama yang masih terjerat dengan masa lalu pasca kepergian cinta pertamanya yang tiba-tiba. Layaknya matahari dan bulan...