3 | Gempa

28 4 0
                                    

Dirinya terbangun dari tidurnya, matanya terlihat sembab. Dirinya menangis semalaman. Mengingat kepergian sang ibunda tercinta kemarin.

Ia melangkah ke dapur untuk mencuci piring bekas tadi malam, sebenarnya ia sangat benci hal ini, mengapa tidak langsung di cuci saja tadi malam? Pikirnya.

Hampir limabelas menit ia berdiri di depan wastafel untuk mencuci piring kotor, Taufan menghampirinya.

"Gem nanti kita ke bunda yaa" ucap taufan pada sang adik.

"Tidak aku tidak mau kakak menangis, aku tidak mau"

"Baiklah aku akan pergi sendiri" ucap Taufan dan melangkah pergi.

"Jangan! Kita harus menangkap murid Zen, ingat itu!" Cegah Gempa sambil menarik Taufan ke arah wastafel.

"Kenapa kita harus menangkapnya? Bukankah mereka-"

"Jangan katakan mereka baik! Buktinya saja guru mereka membunuh bunda, tentu muridnya juga sama" potong gempa lalu kembali mencuci piring.

"Tapi kalau Ru-"

"Sudah cukup jangan mengecualikan Runi dan Zaarna" potong Gempa lagi, gempa sudah sangat marah bisa saja sebuah gunung tertinggi di dunia ini menimpa Taufan hidup hidup.

"Kenapa?" Tanya Taufan polos.

"Hentikan, hentikan, hentikan! Berhenti bertanya 'kenapa' karena mereka membenci kita! Ingat itu!" Aku membentak Kak Taufan, entah mengapa ketika kakak sedang polos aku sangat frustrasi, tak peduli tanganku yang penuh sabun ini mengacak ngacak rambutku.

"Sudahlah aku mau mandi saja" tambah ku dan berlalu.

"Ibuuu awaasss!!" Aku berteriak saat ibu terdorong oleh Zen

"Akhh haliiiii" pekik ibu yang jatuh dari ketinggian.

"Semua salah kau!" Teriak kak Hali pada Zen sambil menunjuknya.

Kak Hali mengeluarkan pedang dan bersiap menghunuskan nya pada Zen.

"HENTIKAN!" Suara lantang dari seorang gadis berjilbab putih bercorak hitam dan merah maron dengan mata berkaca kaca.

"Hen...hentikan!" Ucapnya lagi.

"Hentikan atau pedangmu akan menusukmu!" Serunya lantang.

"Ayo pergi guru, yang lain sudah menunggu." Ucapnya lalu berlalu sambil membantu Zen berjalan.

"Guru bagaimana?" Tanya kak Hali pada guru kami, Reynata.

"Tangkap Zen dan anak buahnya besok! Jangan sampai lolos." Ujarnya lalu pergi.

Aku menangis mengingat kejadian itu, aku tidak menyangka bahwa bunda pergi secepat ini.

Setelah selesai ritual mandi, aku kembali menapakan kaki di dapur. Taufan masih setia dengan posisi duduknya yang tadi, ia masih tetap menangis.

"Hai gem-" sapa kak Hali

"Huaaaa bundaaa!" Suara tangis kak Taufan memotong ucapan kak Hali.

"Sejak kapan Taufan ada di sini?" Tanya kak Hali.

"Sejak fajar menyingsing, jadi ku ajak ia ke sini agar tidak terlalu sepi" jawab ku bohong.

"Baiklah"

Tangisan Kak Taufan tetap mengganggu Kak Hali. Berkat ketelitianku aku melihat telinga kak Hali memerah.

"CUKUP TAUFAN! CUKUP SUDAH! Walaupun tidak ada bunda kamu harus kuat." Ucap kak Hali lirih setelah membentak kak Taufan.

"Bukah hanya kamu yang ingin menangis, aku juga ingin menangis." Tambahnya.

"Tapi kak tidak ada lagi sup spesial" bantah Kak Taufan masih setia duduk di lantai.

"Sudah! Gempa juga bisa masak, tidak perlu khawatir" lerai kak Hali sambil memandang ku.

"Kita juga harus menangkap Zen dan muridnya" tambahnya.

"Maafkan aku Ale..."

Jauh di seberang sana

Seorang gadis yang memakai jilbab bermotiv tata surya, sedang berlatih memanah, sudah limabelas anak panah melesat dan menancap di pohon besar yang sudah tua.

Ya itu Alena, gadis yang panggilan sayang dari kakak kakaknya Ade Al itu sedang berlatih memanah.

Dengan cepat ia membidik sebuah dahan pohon yang sudah menggantung beberapa buah apel. Dalam hitungan detik sepuluh anak panah melesat cepat dan tepat menusuk sepuluh buah apel.

"Kalau ayah liat ini ayah pasti bangga" gumamnya.

"Hai Ale... aku bangga padamu" ucapku setelah mendengar ucapannya.

"Tidak usah memuji... aku tidak suka" ucap Ale dengan nada biasa.

"Baiklah... aku tau kanu tidak suka kekerasan, jadi aku tidak akan memakai cara kak Hali dan kak Taufan." Ucapku mencoba biasa padahal degup jantuku tidak seperti biasa.

"Apa hubungan nya dengan kakak dan adik ku?!" Bentaknya,  ia sudah siap mengeluarkan pedang nya.

"Sepertinya iya... tapi mereka tidak akan celaka... tenang saja" ucap ku meyakinkan.

"Lepaskan mereka atau semua anak panahku akan menancap sempurna di tubuhmu!" Serunya lagi, emosinya sudah meluap luap.

"Maaf kan aku, aku tidak ingin melakukan nya tapi aku harus melakukan ini" lirihku. Sebagian hatinya mengatakan untuk tidak melakukan ini tapi ia harus melakukannya.

"CO.. CO... COAAKKK KECOAAKKKKK!" Jerit Ale histeris, suaranya terdwngar sampai ke tempat kakak kakanya dan adik adiknya.

Sebuah tali mengingat Ale dengan kuat hingga membuat Ale lemas dan pingsan seketika. Gempa membawa Ale pulang.

Username: Zonadiy-21 or @Ardeinaputri_ (ig, kalian bisa follow ya)
Fullname: Alena Putri Andrea
Nickname: Ale
Like: alam, tata surya, menyendiri, memanah, berlatih pedang, keadilan, merndah dan menulis
Dislikee: di rendahkan, ketidak adilan, kerusakan, pembantaian, dan Coco si Kecoak merah putih :v ehek canda kakak Intang sayang maksudnya kecoak
Couple : Gempa
Ps : berparas cantik, anggun, setia, keras kepala, dan bersungguh sungguh. Oiya kadang bar bar kadang tomboy kadang feminim oke ka bin lope lope>< hoak tapi awokawokk

Hoyee author up > _ <
Ada yang nunggin ga? Author bela bela in loh up tengah malam mumpung ide ngalir.

Btw punya sepupu kek gini amat-_ nuntut trus ntar nikung di jalur prestasi. Alah capek punya sepupu kek gini ingin pergi ke saturnus:v

@Zonadiy_20

Bandung
21 Agustus 2020

Kisah Yang Kita LupakanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang