Pagi itu dikelasku begitu damai, tidak ada yang ramai, tidak ada yang bercanda. Semuanya senyap terpaku memandang layar Hpnya sendiri sendiri. Ada yang update status, selfie, mendengarkan musik, cuek bebek dengan kehadiran orang disekitarnya. Aku langsung menuju bangkuku dan menaruh tasku. Kulihat Dedy sibuk dengan HP barunya.
"Cie HP baru," godaku seolah olah tidak mengerti apa apa.
"He...he...he.... iya Dho. Tapi kami bingung siapa ya yang mengasih?" tanya Dedy.
"Kok kami?" tanyaku.
"Iya, aku, Ahmad, Roni, Dewi dan Ani dikirimi HP baru oleh orang yang tidak kami kenal. Dia sendiri tidak tahu, katanya dia Cuma disuruh juga. Kami bingung mau berterima kasih pada siapa," kata Dedy.
"Seneng sih, tapi kami ini bingung," kata Roni dan Ahmad ikut nimbrung di bangkuku.
"Gak usah dipikir terlalu dalam, gunakan sebagaimana mestinya dan rawat aja dengan baik baik. Mungkin dengan begitu kalian sudah termasuk orang yang bersyukur dan itu juga mungkin cara berterima kasih," kataku.
"Tentu saja Dho, kami akan menjaga sebaik baiknya. Karena kami terus terang tidak membayangkan untuk membelinya," kata Ahmad.
"Kalian punya HP ya, pasti second belinya," tiba tiba Michel sudah ada diantara kami.
"Ya iyalah, gank miskin gitu loh," kata Cecil sambil tertawa mengejek kami.
"Ya baru lah, segel lagi. Emang kamu segelnya dah rusah," jawabku sekenanya diikuti tawa teman temanku sekelas.
"Maksudmu apa? Mengatakan segelku rusak," kata Cecil nyolot.
"Ya kalau gak rusak itu omongnya teratur. Tidak suka menghina orang lain, menghargai orang lain," kataku dengan santai.
"Ya terserah akulah, mulut mulutku sendiri," jawab Cecil dengan nada yang meninggi.
"Iya sih mulut mulutmu sendiri, tapi kalau sudah ngomongin orang lain berarti mulutmu itu sudah mencampuri urusan orang lain," kataku.
"Dasar gank miskin, udah miskin banyak bacot lagi," kata Michel.
"Ya memang kami miskin, wong kami masih sekolah belum memiliki apa apa," jawabku. "Emang kamu kaya? Sudah berpenghasilan? Uang saku aja masih minta. Kamu itu sebenarnya juga miskin seperti kita kita ini, cuma bedanya kami miskin harta sedangkan kamu selain miskin harta juga miskin kasih sayang, hhhhhhh." Semua teman teman sekelas tertawa.
"Kurang ajar," kata Michel seraya memukul perutku.
Perkelahianpun tidak dapat dihindarkan. Aku membalas pukulan Michel diperutnya, terus kulanjutkan memukul wajahnya. Tapi dia bisa menghindar. Semua teman laki laki bersorak menonton dan mengerumuni kami. Kami bergulingan bersama, aku bisa menindih tubuh Michel. Sebelum dia bisa membalik tubuhku, kurasakan telingaku terasa ada yang menjewer. Setelah ku tengok sudah ada Pak Ali bagian ketertiban. Ternyata telinga Michel juga dijewer oleh Pak Ali.
"Aduh Pak, ampun Pak," kataku sambil kesakitan.
"Kalian berdua ikut bapak ke kantor!" perintah Pak Ali.
"Iya pak, tapi tolong lepasin jewerannya!" pinta Michel.
"Ndak usah banyak bicara, ayo jalan," kata Pak Ali.
Kami berdua mengikuti Pak Ali sambil terus dijewer. Semua teman teman menertawakannya sepanjang jalan menuju kantor.
"Ada apa Pak Ali?" tanya Bu Etik ketika kami sampai di kantor.
"Ini pagi pagi sudah pada ribut," jawab Pak Ali.
"Salah Ridho itu Bu, mulutnya kalau ngomong membikin telinga panas," kata Michel.