Aku terduduk di kursi samping jendela, menatap ke luar dengan putus asa, sudah patah hati mendung pula aku pulang gimana? Keluhku di dalam hati. Rintik hujan mulai terlihat, turun membasahi tanah di depan kelasku. Semakin lama, jumlah tetesannnya bertambah banyak, cukup deras. Ah, lihat hujan saja seperti bersuka cita jatuh di bumi, walau ia tak tahu akan jatuh di bagian bumi sebelah mana, tapi airnya tetap turun tak kenal lelah.
Jadi kenapa sekarang aku bersikap pengecut seperti ini? Toh, aku baru jatuh sekali, dan lagi pula aku tahu ke mana hatiku juga jatuh. Jadi aku harus seperti hujan. Iya aku harus seperti hujan, yang tak kenal lelah menyapa bumi-nya. Jatuh berkali-kali tapi tetap kembali. Ah, rasanya lega setelah mendapat motivasi seperti ini.
Lalu aku menyelempangkan tas yang ku simpan di atas meja.
Dengan langkah ringan aku keluar dari kelas yang sudah lenggang karena memang sudah tepat pukul 16.00 sore, yah salahku pakai acara nonton dia yang sedang bermain gitar di ruang musik. Tapi kalau sudahkebiasaan aku bisa apa? Bedanya tadi, dia bermain gitar dengan diiringi piano oleh seorang gadis dengan rambut panjang berwarna cokelat madu, rambutnya saja benar-benar bagus apalagi wajahnya masa? Sial nggak sempet liat tadi, keburu pengin mewek jadi lari ke kelas hiks. Mereka akrab banget kelihatannya, karena di sepanjang lagu mereka saling memandang dan sesekali melemparkan senyum, di akhir lagu aku melihat dia memegang tangan gadis itu dengan lembut dan perlahan seperti takut menyakiti gadis itu, ya ampun aku bener-bener iri nih, pasti hangat banget kan ya di pegang dia begitu. Putus asa melihat kemesraan itu aku pun berlari dari sana, iya deh aku ngaku aku cemburu, puas?
Beneran deh ini kepikiran kejadian itu mulu! Bikin panas kepala ampe hati aja deh, padahal kan ini hujan harusnya dingin ih! Aku menggeleng-gelengkan kepala mengenyahkan ingatan 'itu'. Sepertinya hujan tidak akan reda dalam waktu dekat, jadi terpaksa aku harus hujan-hujanan berhubung aku lupa membawa payung yang kemarin aku keringkan di taman samping rumah, lalu lupa memasukkannya lagi ke dalam tas. Mungkin hari ini aku sedang diuji. Sabar.
-------------
Aku menatap dia yang sedang serius memperhatikan guru yang menerangkan di depan sana, sesekali mencatat apa yang ia kira penting, dia memang juara kelas, bahkan jura umum, jadi mungkin memang harus belajar dengan sungguh-sungguh. Aku juga sedang serius ini memperhatikan dia. Jadi apa kita jodoh? Duh pikiranku ini malah ke mana-mana, aku mengetukkan pensil ke kepalaku, pensil yang sedari tadi hanya aku putar-putar di antara jari tengah dan telunjuk, sama sekali tak terpakai, aku jadi kasihan melihat pensil ini, padahal kan dia gunanya untuk menulis ya? Tapi malah aku anggurkan begini, jadinya kan dia tidak berguna untuk bangsa dan negara ini, pasti dia merasa sia-sia ada di dunia. Tunggu-aku mikir apalagi sih? Ya ampun! Ayo focus Lana, jangan mikirin Gana dulu, nanti aja kalau udah istirahat gitu, kan bisa.. L-loh malah diingetin lagi sama Gana! Alamat curi-curi pandang ke Gana lagi kalau begini. Aku memang belum bilang ya? Kalau aku dan dia ada di kelas yang sama? Jadi ya kami memang teman sekelas, bahkan aku duduk hanya jarak 1 meja dengan dia. Nasib anak dengan nilai biasa-biasa saja ya begini, memperhatikan tidak paham, tidak memperhatikan juga tetep tidak paham. Akhirnya aku hanya menelungkupkan kepalaku di atas meja dengan kedua tangan di belakang kepala, mengacak-ngacak rambut. Aku pengin pintar ya Tuhan, supaya Gana suka sama aku, iya ini dramatis terus gimana dong? Aku bener-bener suka sama dia sih, Gana I love you muahh muahhh..
Tiba-tiba aku mengangkat kepalaku dari atas meja? Sebentar, sepertinya ada yang terlewat, Hmm..Rana Gana, nama kami mirip kan? Double ya ampun! Kenapa baru sadar sekarang sih? Jadi apa kita bener-bener jodoh Gan? Seruku senang dalam hati dengan bibir yang sudah tersenyum lebar macam orang bodoh. Sudah di pastikan aku benar-benar tak akan memperhatikan guru lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita
Teen FictionKarena mencintaimu tak butuh waktu. Karena menyanyangimu adalah bahagiaku. Karena bahagiamu adalah mimpiku. Maka ketika jumpa tak jua jadi jembatan, rasa telah menjadikanmu tujuan. Kita? Belum. Nanti, setelah dia juga menjadikan aku tujuannya.