بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Aku tak mendapatkan perlindungan, justru ialah yang menjadi pecundang dan memerangiku dengan penuh kebencian."
Tak pernah terbersit sedikit pun, bahwa aku harus terlibat hubungan dengan sesosok makhluk dingin, ketus, irit dalam bertutur kata, dan minim akan ekspresi. Sungguh, itu adalah mimpi buruk yang tak ingin kutemui, namun ternyata takdir Allah berkata lain. Dia malah menjodohkanku dengan ia yang tak memiliki secuil perasaan pun terhadapku. Cinta sendiri, mungkin itu lebih tepatnya.
Bahkan aku pun harus merelakan sesuatu yang begitu amat berharga dalam diriku padanya dengan derai tangis penuh ketidakikhlasan. Dia yang seharusnya memberikan kenyamanan serta perlindungan malah berlawan arah dan menyerang. Fisik memang tak terdapat luka, tapi hatiku sudah menganga dengan sangat amat sempurna. Namun bodohnya aku masih setia dan mau menanti sesuatu yang tidak pasti, berharap kelak Allah berkenan untuk membuka gembok hatinya untukku.
"Tidak usah drama. Saya suami kamu, saya berhak melakukan apa pun terhadapmu!"
Kalimat sarkas itu ia layangkan dengan begitu ringan. Sedangkan aku hanya mampu menangis dalam diam. Bagaimana mungkin aku tetap tegar, di saat suamiku sendiri melakukan hal keji tak manusiawi.
Ingin rasanya menjerit dan memaki, namun aku tak memiliki cukup nyali. Kami memang menikah atas dasar keterpaksaan, tapi apa pantas jika ia merampas kehormatanku dengan cara kasar dan sembarangan.
Hatiku belum lekas membaik, dan kini sudah kembali ditimpa malapetaka. Takdir begitu kejam dan tak adil, kenapa aku harus hidup satu atap dengan manusia kutub utara sepertinya?
"Ta-tapi aku istri kamu, bukan perempuan murahan yang bisa kamu perlakukan seperti itu!" Dengan bibir bergetar aku pun memberanikan diri untuk menyela.
Ia bergerak ke arahku, sedang aku hanya mampu beringsut mundur dan mentok di kepala ranjang. Tangannya bergerak untuk mencengkram kuat rahangku.
Rasa sakit dan perih mulai merayap dan menggerogoti. "Jika saja perjodohan ini tidak ada, saya tidak akan pernah sudi untuk menikahi kamu. Kamu tak lebih dari perempuan perusak masa depan!"
Aku mencoba untuk menyingkirkan tangan besarnya, namun nihil ia malah semakin mencengkramnya kuat. "le-le-lepas!"
Secara kasar dan senyum miring yang tercetak jelas di bibir ia menjauhkan tangannya. "Jangan pernah berani bermain-main dengan saya!"
Aku kembali berkawan geming, meresapi rasa sakit yang semakin menghadang. Rasanya air mata sudah mengering dan tak lagi bisa ditumpahkan.
Pernikahan ini belum genap satu minggu, tapi ia sudah berhasil membuatku ditempa rasa sakit tiada henti setiap harinya. Jika saja adik dari lelaki kutub utara itu tak pergi, mungkin aku takkan berakhir di pelaminan bersamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir Cinta | END
Spiritual[PINDAH KE MANGATOON] Aku terlalu naif dalam hal mengungkap rasa Aku terlalu sukar dalam bertutur kata perihal cinta Terlalu gemar berjibaku dalam rasa putus asa, itulah aku ... Bodoh, memang Tapi apa daya jika itu sudah menjadi sebuah keputusan ...