2-Adu Tegang

1.1K 192 102
                                    

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Sudah cukup selama ini aku bertahan dan bersabar, sekarang sudah saatnya untukku menyerang."

Sepanjang perjalanan hanya diisi oleh keheningan, ia yang lebih memilih fokus ke jalanan dan aku pun tak ingin banyak bercakap dengan si manusia kutub utara tersebut. Biarkan saja seperti ini, aku sudah tak peduli akan keberlangsungan nasibku kini. Hidupku sudah kadung hancur lebur berantakan, tak ada lagi yang bisa dipertahankan dan diperjuangkan. Jika memang perpisahan menjadi pilihan terbaik dalam mengatasi permasalahan, aku akan dengan senang hati menandatangi surat gugatan dari pengadilan.

Untuk apa berumah tangga jika tak ada kebahagiaan dan rasa saling menghargai di dalamnya. Ia yang berlaku dominan sedang aku yang hanya dijadikan kacung dan pajangan. Jelas itu tak adil bukan? Ia begitu menghormati ibunya tapi sayang ia tak bisa menghargai aku sebagai istrinya. Di mata lelaki itu aku tak lebih dari wanita perusak masa depan. Sakit. Ya, dengan tegas aku akan menjawab jujur apa adanya.

Tak ada gunanya juga bersandiwara dan menjelma sebagai keluarga bahagia. Karena pada nyatanya aku tak dapat merasakan hal itu, hanya derita, luka, dan duka yang mampu ia persembahkan. Ia seakan lupa kodrat dan tanggung jawab sebagai kepala keluarga, bahwa kelak di akhirat nanti ia akan diadili atas kelalaiannya saat ini.

"Kita menikah atas dasar keterpaksaan jadi jangan pernah mengharapkan apa pun dari pernikahan ini."

Mendengar hal itu sontak aku pun menoleh dan menatap tajam bola mata bak elang milik Bagas. Tanpa diingatkan pun aku sudah tahu dan paham, tidak usah buang-buang tenaga untuk berbicara jika hanya kata-kata menyakitkanlah yang keluar dari sela bibirnya.

"Kenapa kamu tidak menceraikan aku saja? Dengan begitu kamu bisa kembali dengan gadis yang kamu cintai."

Sebisa mungkin aku terlihat tenang dan tegar kala mengucapkan kalimat tersebut. Rasanya seperti ada pecahan beling yang menggores hati, tepat saat aku mengatakan kata terakhir.

Mobil yang semula berjalan lancar, seketika terhenti di pinggir jalan. Ia menatapku dengan pandangan yang sulit untuk diartikan, sedangkan aku hanya mampu berkawan geming dan mencari pelampiasan untuk menyalurkan rasa gugup serta takut yang saat ini tengah menghadang.

"Diam dan jangan banyak berkomentar. Tak usah ikut campur perihal urusan pribadi saya!" katanya begitu tajam dan menusuk, bahkan tangan lelaki itu sudah mulai menjamah rahangku, mencengkramnya dengan kasar, lantas melepaskannya begitu saja.

Ia kembali melajukan mobil dengan air muka datar andalan, dan aku pun tak lagi ingin buka suara. Titah yang dilayangkannya sangatlah tegas luar biasa, jika melanggar tamatlah riwayatku.

Sedikit banyak aku tahu perihal masa lalunya yang gagal meminang sang gadis incaran. Dari mana kutahu hal itu? Jawabannya jelas dari ibu mertuaku. Beliaulah yang bercerita ini dan itu perihal kehidupan sang putra, salah satunya kisah tragis percintaan si manusia kutub dengan sang karyawan. Cinta antara atasan dan bawahan. Klasik bukan?

Perempuan itu bernama Nisrina Misha. Dari namanya saja sudah sangat cantik? Dan kuyakin ia bukan wanita sembarangan, buktinya perempuan itu bisa menaklukkan hati beku si manusia kutub utara ini.

Aku belum pernah bertemu dengannya, tapi bisa saja ia menjadi salah satu tamu undangan di pernikahan kami. Mungkin jika Bian tidak kabur dengan pacarnya, si manusia kutub utara ini akan happy ending bersama Nisrina.

Tapi sayang, semua itu tak berjalan sesuai harapan. Ia harus menggantikan posisi adiknya sebagai calon mempelai pengantin bersamaku di pelaminan. Bahkan pada saat akad berlangsung pun ia salah mengucapkan kobul, bukan namaku yang ia sebut melainkan perempuan lain bernama Nisrina Misha itu.

Malu rasanya, terlebih itu disaksikan oleh keluarga besar kami. Tapi ia seakan tak memiliki urat malu sedikit pun, dan malah kembali melanjutkan ijab kabul tersebut dengan tenang hingga bisa menyelesaikannya sampai tuntas. Pernikahan impian yang sudah kurangkai indah, langsung ambruk kala kami duduk bersama di pelaminan.

"Pernikahan ini ada atas dasar rasa saling tidak suka. Saya berdiri di sini untuk ibu saya, bukan karena saya ingin menjadikan kamu sebagai istri saya."

Rasa kagum yang sempat bersemayam dalam hati langsung hilang bersama angan yang belum sempat terangkai. Jika saja ia mengatakan hal itu sebelum akad terucap, aku akan lebih bisa menerimanya. Tapi di sini aku sudah tak lagi bisa berbuat apa-apa, selain menelan bulat-bulat kenyataan pahit tersebut.

Bodohnya aku malah menjawab, "Cinta akan tumbuh seiring dengan berjalannya waktu. Aku yakin Mas akan bisa mencintaiku."

Andaikan waktu bisa kuputar ulang, mungkin bukan kalimat itulah yang kujadikan sebagai jawaban. "Ya sudah ceraikan aku sekarang!" Seharusnya itulah yang kala itu kuucapkan.

Hatiku terlalu mudah luluh, melihat ia berlaku baik dan lembut pada ibunya saja membuatku kagum luar biasa. Tapi semua rasa kagumku hilang seketika, saat ia merampas kehormatanku dengan tanpa adab dan etika.

Aku diperlakukan bak wanita bayaran, di mana setelahnya ia langsung pergi dengan meninggalkan banyak uang serta beberapa kartu ATM di nakas samping ranjang.

Hatiku sakit, teriris, dan hancur, bahkan aku masih mengingat dengan betul kilatan napsu setan yang membayangi matanya. Ia seperti manusia kurang iman.

"Turun!"

Aku hanya melirik sekilas ke arahnya, lantas bergegas mengayunkan kedua tungkai untuk keluar. Bergerak cepat menuju bagasi dan mengambil koper milikku.

Tak ada itikad baik darinya, walau hanya untuk sekadar membawakan dua koper berukuran lumayan besar ini. Dengan tanpa dosa ia melenggang masuk dan meninggalkanku yang tengah kesusahan.

See! Ia tak lebih dari manusia yang minim akan rasa tanggung jawab serta empati. Ingin memaki, tapi tak cukup berani, bisa dibuat mati kutu aku pasti jika melakukan hal itu.

"Simpan barang-barang kamu di kamar utama, tapi jangan pernah berani untuk menempati kamar itu bersama saya."

Aku menggeram dibuatnya. Enak sekali lelaki itu memerintah ini dan itu, jika memang tak ingin menempati ruangan yang sama, ya sudah. Lagi pula aku pun tak sudi untuk tidur bersama dengannya.

"Aku bisa tidur di kamar tamu!" Dengan tanpa melihat ke arahnya aku pun menggeret koper ke arah sudut kanan, tempat tujuanku berada.

Aku tersentak saat mendapati cekalannya yang mencengkram kuat pergelangan tangan. "Jangan berani membantah!"

Aku menepis kasar tangan besar lelaki itu dan memberanikan diri untuk menatap ke arahnya. "Kenapa? Takut ketahuan Ibu? Aku menunggu saat itu tiba, dengan begitu aku akan bisa terbebas dari pernikahan ini!"

Rahang tegasnya mengencang, bahkan wajah putih bersih yang lelaki itu miliki pun seketika menjadi merah padam. "Saya suami kamu, dan kamu harus menuruti apa pun yang saya katakan dan perintahkan!"

Bibirku terangkat satu. "Suami? Gak ada suami yang tega berlaku kasar dan buruk pada istrinya."

Ia menggeram dan hal itu malah semakin membuatku bersemangat untuk melawan. Aku tak boleh lemah dan kalah darinya, aku harus berani menegakkan keadilan. Ia tak berhak menginjak-injak harga diriku seperti beberapa hari ke belakang. Sudah cukup selama ini aku bertahan dan bersabar, sekarang sudah saatnya untukku menyerang.

Tanpa kata ia meninggalkanku begitu saja, tapi sekilas aku mendengar teriakan frustasinya. Aku tahu pernikahan ini tidak hanya berimbas padaku saja, melainkan padanya juga. Tapi jika saja ia bisa menerima dan melupakan sosok di masa lalu, mungkin kisahnya takkan seperti ini.

Perjodohan bukanlah hal yang mengerikan, jika kita mampu menyikapinya dengan baik. Aku bisa menerima kehadirannya, tapi tidak dengannya. Jika saja kami bisa saling menerima dan berbenah diri mungkin rumah tangga ini akan berjalan sebagaimana mestinya. Sebagai seorang istri aku ingin dicintai, dihargai, dan juga dihormati.

Bukan malah seperti sekarang ini.

Takdir Cinta | ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang