بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Menganggap kehidupan orang lain dengan kacamata sempurna, tapi hidup sendiri dipandang rendah dan hina. Tak pandai bersyukur lebih tepatnya."
Menikah adalah impian bagi setiap insan di muka bumi, bahkan remaja labil yang baru akan beranjak dewasa saja sudah sangat ingin merasakannya. Kemajuan zaman cukup memengaruhi, terlebih banyak sekali publik figur yang mengumbar kemesraan dan mem-posting segala aktivitas di sosial media bersama sang pasangan.
Jelas saja hal itu membuat jiwa jomlo semakin meronta-ronta tak terima. Angannya langsung berkeliaran ke mana-mana, dan berharap bisa memiliki kisah romantis sama seperti si tokoh idola. Lumrah memang, karena yang dipertontonkan hanyalah drama manis penuh kebahagiaan. Sedang yang buruknya dipendam hanya berdua saja.
Itulah salahnya manusia, terlalu disilaukan oleh apa yang dilihat netra. Padahal apa yang kita pandang belum tentu mengundang kebahagian serta keberkahan. Menganggap kehidupan orang lain dengan kacamata sempurna, tapi hidup sendiri dipandang rendah dan hina. Tak pandai bersyukur lebih tepatnya.
Akulah orang tersebut. Melihat segala potret di jejaring maya hanya membuat penyakit hati kumat saja, karena pada nyatanya kisahku tak seindah dan seharmonis itu. Terlalu banyak kepahitan dan derita tak berkesudahanlah yang kini menghimpit dada.
Tak ada sedikit pun perubahan dalam rumah tanggaku, yang ada malah semakin hancur dan berada di ujung tanduk saja. Ia yang selalu pulang larut malam, hingga tak pernah ada waktu untuk kami saling berbincang santai.
Padahal bekerja sebagai kepala bagian di salah satu perusahaan tidak akan sampai sesibuk ini, jam kerjanya hanya delapan jam dalam sehari. Entah dikemanakan sisa waktu senggangnya itu. Mungkin digunakan untuk berkencan dengan si karyawan tercinta.
Pantaskah jika aku mengharapkan cinta darinya? Pantaskah bila aku menginginkan sedikit waktunya? Aku pun ingin merasakan bagaimana indahnya bahagia bersama pasangan. Hanya itu saja, namun seperti sulit untuk direalisasikan.
Ia tetaplah ia, manusia kutub utara yang tak pernah bisa menghargai wanita, terlebih aku sebagai istrinya. Di hati Bagas hanya terukir satu nama, dan itu bukanlah aku, melainkan wanita bernama lengkap Nisrina Misha.
Aku ingin melihat sosoknya, aku ingin belajar darinya, dan aku ingin mengenalnya lebih dekat. Bukan untuk memaki, apalagi memarahi, aku hanya ingin menanyakan satu hal. Bagaimana caranya meluluhkan hati si manusia kutub? Hanya itu, cukup.
"Air panasnya sudah aku siapkan, makan malam juga sudah terhidang di meja makan," kataku saat melihat ia pulang.
Kemejanya sudah tak lagi masuk ke dalam celana, bahkan bagian tangannya pun sudah terlipat sampai sikut. Terlihat sekali bahwa kini ia sedang kacau dan dalam keadaan tidak baik-baik saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir Cinta | END
Spiritual[PINDAH KE MANGATOON] Aku terlalu naif dalam hal mengungkap rasa Aku terlalu sukar dalam bertutur kata perihal cinta Terlalu gemar berjibaku dalam rasa putus asa, itulah aku ... Bodoh, memang Tapi apa daya jika itu sudah menjadi sebuah keputusan ...