IRI

0 0 0
                                    

Makanan di mulutku terasa hambar saat melihat saudara laki-lakiku muncul di depan pintu rumah dengan raut kelelahan. Namanya bang Alvin, laki-laki egois yang tak pernah ku temui sebelumnya.

Aku bersikap seolah tak melihatnya baru saja datang dari kampus, bagaimanapun dirinya lah penyebab aku menangis tempo hari dan bahkan bertengkar dengan ibu.

"waduh lagi apa nih?" Tanya bang Alvin sekedar basa-basi  menghampiriku yang  terduduk di ruang tv sedang mengunyah makanan.

"buta ya?!"  Ujarku tajam  masih menatap lurus kedepan tak sudi bila melihatnya wajahnya. Mendengar nada tak bersahabat dariku,  bang Alvin mengangkat bahunya acuh, sikap tak pedulinya kembali muncul.

Ia mendaratkan tubuhnya di sampingku, kemudian merongoh saku bajunya memperlihatkan benda  persegi yang selalu menemai kesehariannya. Melihat benda itu aku tersenyum miris, aku bahkan tak memilikinya. Ini  mungkin semacam rasa iri karna selalu diperlakukan berbeda dengan bang Alvin. Jujur, aku tak bisa menampik bahwa hidup lelaki itu begitu enak.

Sedari dulu orang tuaku tak membiarkan dirinya merasakan sakitnya mencari uang, sedangkan aku? seolah aku ditakdirkan untuk merasakan itu semua.

Kami sangat sering bertengkar, dan aku tentunya yang memulai pertengkaran, jika aku sudah tak tahan dengan sikapnya yang kelewatan manja. Saat beradu mulut dia memang sering mengalah tak mau melanjutkannya lagi, tapi kembali lagi Ia hanya tidak peduli.

"ibu dimana?" Tanya lelaki itu yang masih mengulirkan layar gawainya, aku tak menyahut, memang sengaja ingin memancing emosinya terlebih dahulu, meski tau laki-laki itu jarang sekali marah.

kenapa dia peduli? bukankah selama ini Ia hanya tau makan saja? kenapa laki-laki ini begitu munafik?, Tanyaku membantin.

Karna tak mendengar jawaban dariku setelah beberapa menit, akhirnya bang alvin melirikku dengan alis sebelah yang dinaikkan.

"kenapa dek?" Tanyanya ragu, sudah sangat hafal dengan sikapku yang emosinal, aku tak membalas, ku lirik dia dengan tatapan andalanku yang mematikan sebelum akhirnya melesat pergi, muak akan keberadaan pengecut itu.

Saat ingin meletakan piring kotor di dapur, mataku sempat bertemu dengan mata ibu yang menatapku sendu. Ada penyesalan di wajahnya, melihatku yang masih begitu dingin pada orang rumah.

Aku menghela nafas kasar, ku abaikan saja mereka berdua yang masih saja memperhatikan gerak-gerikku, aku mulai  melakukan pekerjaanku membersihkan piring kotor sambil bersenandung kecil. Itu adalah salah caraku agar tidak terlihat menyedihkan di depan mereka.

Aku tersenyum pahit. Ah! bahkan bang Alvin tidak pernah menyentuh pikir kontor, apa saja perkerjaan laki-laki itu?, tidak berguna!!.

kita lihat saja nanti.

Beberapa menit bergulat di dapur akhirnya aku memutuskan untuk menaiki tangga menuju kamarku. Kembali lagi ku lirik mereka sekilas.

Mereka tertawa tanpa beban,
semakin membuat rasa iri ini mencuat, ingin sekali ku tarik rambut lelaki itu saking kesalnya.

SIAPA AKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang