Seperti rutinitasku sebelum-sebelumnya, setelah makan malam aku akan tinggal sebentar di meja makan untuk membersihkan piring-piring kotor dan juga meja makan yang banyak terdapat sisa-sisa nasi, kebiasaan ayah ketika makan.
Namun kali ini aku tidak sendiri, pemuda berusia 3 tahun lebih tua dariku ikut membantuku membersihkan meja makan, entah mungkin Ia ingin mencari muka.
"ngak usah bang, sana tidur!" aku meraih kasar lap meja di tangannya.
"kamu masih marah Ta, maaf soal kejadian tadi pagi" Ujarnya terus terang dengan suara rendah, mengungkapkan hal yang mengganjal dalam hatinya. Hal yang sejak tadi mengusik pikiranku kini kembali diungkit oleh setan berwujud manusia di depanku ini.
Aku berkacang pingang, mengangguk-nganguk seolah mengerti, sebelum melayang tatapan super tajam milikku. Otakku mulai menyusun kalimat-kalimat yang akan sangat pantas ku lontarkan padanya, tanganku terkepalku kuat, bersiap-siap melayang pukulan pada salah satu tulang pipi laki-laki di depanku ini.
BRAK!!
Bukannya melakukan aksi yang sudah dengan sempurna ku rancang, badanku malah terlonjak kaget saat mendengar suara benda yang dihantam ke lantai dengan sangat keras, bibirku bergetar hebat saking takutnya bahkan tanganku panas dingin saat itu juga.
"apaan tuh?" Aku menatap bang Alvin dengan sorot mata melotot ingin keluar dari tempatnya dan nada suaraku bergetar ketakutan, wajahku pucat pasi bersamaan dengan raut bingung yang terparti jelas di sana. Pikiran yang aneh-aneh mulai memenuhi isi kepalaku.
Jauh dari perkiraan, bang Alvin hanya menggeleng tidak tau dengan wajah tanpa dosa. seakan yang terjadi adalah masalah sepele, meski bagaimanapun kami masih tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi sekarang ini.
Berbeda denganku yang sangat ketakutan, bang Alvin berjalan mendekat ke asal suara yang kebetulan mengarah menuju ruang tamu, tempat keluarga biasanya berkumpul sembari berbincang hangat. Bang Alvin berniat memastikan, tak mau ketinggalan aku segera menyusulnya dari belakang.
TAP
TAP
TAP
Entah mengapa untuk pertama kalinya suara langkah kaki kami begitu terdengar di gendang telingaku, mungkin karena keadaan sangat hening setelah kejadian benturan keras tadi.
Kakiku berhenti di belakang punggung bang Alvin, membulatkan mata melihat ibu tersungkur tak berdaya di atas lantai. Tak hanya itu, juga terdapat pula kursi-kursi plastik yang sudah patah tergeletak di bawah sana.
Dadaku kempas-kempis, mencengkram ujung kaos bang Alvin sangat erat, menatap ayah yang sekarang kembali membanting benda-benda di sana dengan membabi-buta. Apakah pria itu sedang mabuk?
"bang, ba-bantu ibu....." Suaraku memelan, sudah tak tahan menyaksikan semuanya di depan mataku. Ayah semakin lama semakin nekad saja, bahkan dengan tak segan-segan memecahkan kaca tv yang tak punya dosa apapun terhadapnya. Tapi sifat pengecut bang Alvin kembali muncul. Bukannya menghentikan perbuatan ayah yang terlihat begitu mengerikan, laki-laki itu masih diam saja di tempat dengan padangan lurus menatap ke dua orang tuaku.
Aku langsung tersadar, menepis rasa takut yang bisa saja suatu waktu membuat kakiku tak bisa bergeser seincipun dari tempatku berdiri. Segera aku bergegas memeluk ibu, berniat menghilang rasa takut yang menghinggapinya, meski aku pun merasa begitu, sama-sama merasa ketakutan.
"SIALAN MINGGIR KAU!!"
Aku menutup mata mendengar makian ayah yang ditunjukan untukku, membuat rengkuhanku pada tubuh ibu semakin mengerat. Aku takut Ayah akan menyakiti ibu, melihat matanya yang memerah dan urat-urat nadi di lehernya yang semakin terlihat jelas seakan ingin putus sekarang juga. Ayahku menggeram kesal melihatku tak mau menyingkir, dengan amarah meluap ayah menarik pergelangan tanganku dengan kasar hingga aku terlepas dari ibu.
"JANGAN IKUT CAMPUR SIALAN!!" Bentak ayah membuatku merinding ketakutan. Pandanganku mengabur karena air mata, tidak menyangka ayah bisa juga sekasar ini padaku.
"a-yah ja-jangan" Cicitku terbata-bata, Aku memberanikan diri memeluk lengannya agar tidak menghampiri ibu yang masih menunduk.
"ANAK KURANG AJAR!!, LEPASKAN!!" kembali lagi aku dibuat tersentak oleh suaranya yang amat keras, berjarak sangat dekat dengan ayah membuatku menghirup bau-bau alkohol. Pantas saja sejak makan tadi ayah sangat berantakan.
Aku di dorong dengan amat keras oleh ayah, matanya menatap nyalang ke arahku seolah memperingatkan untuk tidak lagi menganggu, membuatku semakin frustasi mencari akal agar ayah tidak menyentuh ibu. Dengan tiba-tiba......
BUK
pemandangan di depanku tak kalah mengejutkan, aku melihat bang Alvin memukul wajah ayah dengan sangat keras hingga pria itu bahkan menunduk beberapa saat menahan sakit. Tangis ibu langsung pecah saat itu, berkali-kali memanggil nama bang Alvin. Karena setelah ini ibu tau akan terjadi pertengkaran hebat.
Aku menelan ludah kasar, untuk pertama kalinya aku melihat bang Alvin yang selama ini sangat akrab dengan ayah, dan bahkan menjadi kebanggan pria itu dengan berani memukul ayahnya sendiri. Aku tidak tau apa yang sekarang tengah dirasakan laki-laki itu.
karena dia memang jarang sekali marah sampai segitunya. Namun nampaknya bang Alvin benar-benar marah saat ini.BUK
Dengan gerakan secepat kilat ayah langsung membalas tak kalah keras menghantam wajah bang Alvin. Memukul wajah anaknya dengan membabi-buta bahkan tak memberikan jeda sekalipun agar bang Alvin membalas. Aku mendengar tangisan ibu semakin histeris sudah tak kuat melihat anaknya diperlakukan tidak selayaknya seorang anak.
Sedangkan aku masih tak bisa bergerak, bibirku terkatup rapat saat yang ku lakukan hanya bisa menyaksikan muka saudaraku dihajar-hajar, sudut bibir mengeluarkan darah segar tak sedikit, tapi ayah masih tidak puas melampiaskan emosi.
Berulang kali bang Alvin menghindar, namun selalu saya gagal. Ayah berhasil membuat wajah bang Alvin sudah tak karuan.
"CUKUP AYAH!! CUKUP" teriakku saat menyadari bang Alvin sudah tidak berdaya saat didorong membentur tembok, bahkan ayah sempat menendang tulang kaki bang Alvin yang membuat laki-laki itu merosot ke lantai.
"APA YANG AKAN KAU LAKUKAN PADA ANAKMU, BERENGSEK?!!!" Aku mengepalkan kedua tanganku, berniat ikut adil dalam pertengkaran ini, aku tau pasti akan bernasip sama dengan bang Alvin, tapi setidaknya aku membalas rasa marahku yang meluap-luap.
Mataku beradu pada mata tajam miliknya, kali ini aku adalah sasaran berikut pria itu, aku sudah bersiap lahir dan batin menerima serangan darinya.
Ingin sekali menghajarnya, tiba-tiba beberapa orang warga langsung menerobos masuk menahan ayah yang masih dikelabui amarah, tanpa basa-basi mereka menariknya keluar rumah, tak tau mau dibawa kemana orang itu.
Suasana dari luar tiba-tiba terlihat ramai, banyak orang-orang yang terdengar memaki tidak jelas. Tapi sungguh, aku tidak ambil pusing. Mataku sekarang pada kedua orang yang masih berada satu ruangan denganku. Aku tanpa aba-aba langsung menangis tak karuan saat itu juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
SIAPA AKU
Short Storymerupakan cerita hasil dari semua perasaan yang sedari dulu ku tahan