RADEN

1 0 0
                                    

Menenteng plastik berisi aneka sayur yang tadi ku beli di warung. Dengan begitu hati-hati aku melangkah mendekat ke tempat Raden berdiri, laki-laki itu tengah bercengkrama dengan pak wahyu ketua dusun, mereka sangat asik-asiknya berbicara di pinggir jalan yang akan ku lalui untuk pulang ke rumah. Alhasil membuatku mendapat akses untuk menghampiri mereka.

Raden adalah anak dari pak satyo, merupakan Kades yang menjabat sejak 2 tahun yang lalu. Sekedar mengagumi sifat Raden yang tegas dan sederhana., Laki-laki  itu sangat pekerja keras, ia bahkan tak segan-segan ikut membantu jika warga ingin melakukan kerja bakti. Raden seumuran dengan bang Alvin namun jiwa pemimpin Raden tidak bisa dibandingi dengan bang Alvin yang begitu memalukan.

"eh, Atha" Aku mendapati raut terkejut Raden  sesaat setelah aku berdiri tak jauh dari tempat mereka berbincang.

"bawa apa Neng di plastik?" Ujar pak Wahyu membuatku menyengir lebar.

"sayur pak"  Pak Wahyu hanya mengangguk  paham kemudian beralih lagi menatap Raden.

"bapak mau?" Kembali menatapku, Ia tertawa pelan menanggapi gurauan dariku. Sudah sangat kenal dengan sifatku yang satu itu. Karna bagaimana mungkin aku dengan suka rela memberikan lauk kami pada pak Wahyu yang tidak ada hubungan apapun.

"yaduah mas, nanti kita lanjutin ngobrolnya. Tuh sih Neng kayaknya nunggu" Aku tak bisa menyembunyikan rasa malu mendengar pak Wahyu mengatakan begitu. Seolah sangat mengerti situasi, mungkin sudah memiliki pengalaman yang cukup di bidang percintaan. Raden tersenyum canggung melirikku dengan  salah tingkah. Membuat menyerngit, Menanggapi sifatnya yang malu-malu.

Pak wahyu akhirnya pamit undur diri, meninggalkan kami berdua yang masih sama-sama merasa canggung.

Aku seketika mengumpat tak jelas ketika dengan tak tau diri sebuah motor buntut melaju sangat cepat dengan suara yang amat berisik, membuatku kaget setengah mati, ditambah lagi dengan asap yang keluar dari motor itu . Raden terkekeh mendengar umpatanku, tak ku sadari Ia mendengarku berkata kotor seperti tadi, padahal sedari  sejak awal kami saling mengenal satu sama lain, aku selalu saja menjaga tingkah lakuku di depannya.

"gimana kabarnya Ta" Raden mendekat ke arahku.

"baik"

"gimana nih Ta ? udah tau mau melanjut dimana?" Perasaan malu-malu tadi mulai mengikis ketika mendengarnya berkata begitu, masih terasa tabu bagiku untuk menjelaskan langsung padanya. Padahal bulan lalu, saat ditanya Raden, aku terlihat sangat antusias untuk mencari tempat kuliah yang bagus dan membicarakan perihal apa saja yang membuatku ingin melanjut.

"Masih belum Den, kayaknya pun. Atha disuruh ibu ganggur dulu tahun ini......ngumpul uang dulu buat kuliah katanya"  Jelasku tak memperlihatkan raut sedih, Raden sedikit terkejut. Terlihat alis laki-laki itu yang berkerut.

"emang ibu Ta, bilang apa?"

"ya, ibu bilang nunggu bang Alvin selesai dulu" Aku mendegus pelan sembari menatap kantong kresek yang ku bawa, ternyata cukup membuat tanganku menjadi pegal.

"ngak bisa gitu lah Ta, bukannya kamu pengen banget lanjut?" Raden mulai bicara serius, tidak mengalihkan sedetikpun tatapannya kearahku. Tatapannya sekilas sedikit berbeda, tidak seperti biasanya mata itu terlihat menyeramkan.

"mau sih Den, tapi Atha ngak boleh maksa orang tua"

"kenapa emang kalau Alvin masih kuliah, bukannya dia bisa cari kerja ya?"

Intonasinya terdengar sedikit meninggi, namun Raden masih tak menyadari itu. Ia terlalu sibuk menatapku seolah menentang ucapanku barusan, Aku sejenak terdiam, kata-katanya barusan pasti bisa menyakiti bang Alvin jika saja pemuda itu ada di sini. Meski aku masih sangat kesal pada bang Alvin, tapi rasanya aku tak terima dirinya diremehkan oleh orang lain.

Aku tersenyum tipis pada Raden. Tau bahwa ucapan tak suka itu adalah suatu bentuk perhatiannya, meski caranya agak menyinggung.

"Den, duluan ya. Soalnya Atha masih belum masak makan malam"

Tatapannya yang tadinya tajam langsung mengendur, kemudian menatap sekeliling jalan yang masih agak sepi.

"aku antar ya Ta, ngak baik cewek jalan sendirian" Mendengar penuturan Raden, aku terkekeh menatapnya membuat Raden bingung dengan sikapku.

"lebih ngak baik lagi, kalau cewek sama cowok barengan di tempat yang sepi" tuturku menyindir.

Alih-alih tersinggung dengan perkataanku, laki-laki itu malah tertawa sambil bersilang dada.

"gawur ya Ta? emang kenapa kalau kita barengan?" Aku mengangkat bahu acuh, sebenarnya agak malu berkata seperti itu padanya. Bukannya aku meragukan laki-laki itu, hanya saja aku tidak senang dengan perkatannya tadi. Berniat membalas ucapannya, aku malah dibuat malu sendiri. Untung saja Raden menanggapinya dengan canda.

"yaudah ayo...." Raden berjalan duluan yang kemudian aku susul dari belakang punggung tegapnya. Mataku tidak lepas dari balik punggung laki-laki itu, diam-diam mengangumi sosok di depanku ini. Hubunganku dengan Raden selama ini sangat baik. Ia sangat perhatian dan memiliki sikap yang ramah, tak ayal jika aku merasa senang sekali bila bertemu setiap kali dengan Raden.

"maaf ya Ta, kayaknya  tadi aku udah buat kamu tersinggung"

Aku hanya mengangguk dari belakang, Itulah yang ku suka dari Raden, ia sangat peka terhadap tingkahku, meski Ia tidak tau pergerakanku di belakang, tapi ku rasa dia sangat mengenalku yang tidak akan lama-lama bila marah padanya.

PIK

Tiba-tiba dadaku kembali berdetak kencang saat mendengar suara klakson  dan deruman motor dari belakang yang amat keras, aku dan Raden sama-sama terkejut, spontan Ia lebih dahulu menatap ke belakang, menghiraukan diriku yang masih memantung, sibuk menetralkan detak jantung. Bertingkah seperti pahlawan yang tak mengenal takut. Sedangkan aku mengeratkan cengkramanku pada kantong plastik yang ku rasa semakin lama semakin berat.

Raden akhirnya menatapku sambil tersenyum tipis, seolah  mengatakan tidak terjadi apa-apa. Melihat responnya yang nampak biasa tidak seperti beberapa detik yang lalu ,segera  aku berbalik badan menatap si pelaku dengan tajam. Aku ingin sekali mengumpat rasanya, berani sekali bang Alvin mengagetkan kami dengan cara seperti itu, membuat amarahku mengembul seperti kopi panas.

Tak mau terlalu jauh dan akhirnya memperlihatkan sisi burukku di depan Raden, ekspresiku berubah menjadi tenang dan menatap bang Alvin datar, ingatan tentang kejadian tadi pagi masih tak bisa aku lupakan.

"ayo Ta, naik" Ujar bang Alvin melupakan Raden yang masih berdiri di sampingku. Aku tak bisa melihat jelas wajah bang Alvin karena ditutupi helem berwarna hitam. Jujur saja, sekilas penampilannya seperti anak orang kaya yang tak punya beban hidup, beda jauh denganku yang hanya memakai sandal jepit bila kemana-mana.

"Yaudah Den, Atha tinggal ya?" cowok itu mengangguk mantap, sekilas saja menatapku bicara kemudian kembali beralih menatap saudara laki-lakiku.

"dari kampus rupanya Vin?"

"iya"

"Tumben cepat?" Raden menatap jam  yang melingkar di pergelangan tangannya, masih terlalu cepat untuk  anak kampus seperti Alvin pulang. Biasanya bang Alvin pulang sekitar jam 6 lewat bahkan bisa sampai lebih dari perkiraan kami.

"Dari mana, kok barengan?" Bukannya membayar rasa penasaran Raden, bang Alvin malah melontarkan pertanyaan mencurigakan, Menatap penuh selidik pada Raden.

aku berdecik kesal menatap bang Alvin membuat mereka berdua sama-sama menatapku.

"yaudah ayo, naik!"  Ujar bang Alvin sedikit kesal dan langsung menyalakan mesin motornya.

"hati-hati ya Ta" aku mengangguk membalas ucapan Raden, sebelum melesat pergi bersama bang Alvin.



SIAPA AKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang