LIMA

10 2 0
                                    


Udara segar menelusup ke dalam rongga dada begitu hidung kemerahannya muncul dari balik jedela yang baru dibuka. Rambutnya tipis dan panjang tertiup pelan oleh angin, Kedua kakinya berjalan cepat menuju pintu. Si gadis berpakaian serba putih—khas pasien rumah sakit, kini berdiri di pintu depan ruang Unit Gawat Darurat. Suasana di sana begitu ramai, padahal jam baru menunjukan pukul 8 pagi. Kedua matanya menatap lurus ke pintu kaca. Kaki kecilnya yang beralaskan sandal jepit, melangkah keluar setelah mendorong pintu kaca sekuat tenaga,

Sudah lima minggu Si gadis tidak menyentuh dunia luar, menghirup udara langsung tanpa bantuan tabung oksigen, dan selang infus yang melilit tangannya. Sebuah taman kecil yang letakknya tidak jauh dari ruang rawat inap menjadi tujuan si gadis. Entah sudah berapa lama dirinya ingin ke sana, sekedar duduk di bangku taman dan melihat bunga yang mulai bermekaran. Tidak banyak orang yang mengunjungi taman ini, namun petugas kebersihan dan tukang kebun selalu merawat semua tanaman dengan baik.

Benar, gadis ini sudah memperhatikan setiap aktivitas yang terjadi di taman ini dari jendela ruang perawatannya. Termasuk sosok yang telah membuatnya penasaran sejak beberapa minggu di rumah sakit, anak laki-laki dengan anjingnya.

Si gadis melangkah menuju bangku taman yang letakkan tepat di bawah pohon mangga harum manis. Rimbunnya dedaunan dari si pohon mangga membuat matahari tidak langsung menyentuh kulit pucatnya. Didudukkan pantatnya di atas bangku bercat putih, dari bangku tersebut si gadis bisa melihat sang ibu sedang melambaikan tangan ke arahnya dari balik kaca jendela di ruang perawatannya, kemudian tersenyum.

Belum lima menit dirinya duduk di bangku taman, seseorang datang. Sosok yang begitu familiar di mata sang gadis, namun tidak bagi orang tersebut. Mereka duduk bersama di bangku. Si gadis memilin ujung pakaiannya, sedangkan sosok di sebelahnya melirik ke arah si gadis, dia nampak penasaran.

"Uhm... bagaimana kabarmu?" pertanyaan sederhana itu berhasil mengalihkan atensi si gadis. Sekarang kedua mata si gadis tertuju pada sosok di sebelahnya "kamu kabarnya bagaimana?" ulangnya lagi.

"A-aku baik-baik saja," balas si gadis. Jeda beberapa saat, sampai si gadis akhirnya bisa mengendalikan diri sepenuhnya, "kamu sering ke sini, kan? Aku sering lihat." Si gadis menggaruk tengkuknya yang tidak gatal—berusaha menyembunyikan kegugupan yang dia rasakan sekarang.

"Iya, ini satu-satunya tempat keren di sini!" jawabnya dengan antusias. Kepala botak miliknya beberapa kali memantulkan cahaya matahari, membuat si gadis agak silau. "Selebihnya, tempat ini menakutkan. Apa lagi ruang ICU, hahaha...." Sosok itu tertawa renyah, seperti sedang menonton film komedi yang kocak.

"Aku hanya beberapa kali ke ruangan itu. Kau benar! Ruangannya dingin seperti lemari es!" si gadis ikut tertawa sampai wajah manisnya memerah.

"Dan aku tidak mengerti kenapa dokter sering membawaku ke sana." Sosok berkepala botak itu mengerucutkan bibirnya, berusaha menunjukan rasa kesalnya, "aku juga dilarang membawa Pipo ke ruang ICU. Mereka bilang Pipo tidak bersih, padahal dia sudah mandi tiga kali seminggu."

Si gadis memiringkan kepalanya, bingung dengan ucapan si kepala botak di sebelahnya, "Pipo itu nama anjingmu?"

"Iya! Kau pernah melihatnya? Dia besar dan bulunya sangat lembut!" jawab si kepala botak, lalu dia menoleh ke segala arah, seperti mencari sesuatu di sekitar taman, "tadi aku mengajaknya ke sini, tapi kenapa dia tidak berada di dekatku?"

Baru saja ucapannya selesai, seekor anjing jenis Siberian Husky berwarna putih berlari kencang ke arahnya. Ekor anjing itu bergerak ke kanan dan kiri dengan sangat cepat, nafasnya pun terengah begitu sampai di bangku taman—tempat tuan kesayangannya duduk.

"Nama?" tanya si gadis, membuat si kepala botak menoleh di tengah-tengah aktivitasnya mengelus si anjing dengan sayang.

"Pipo!"

"Bukan, namamu siapa ?"

Si kepala botak menoleh sepenuhnya ke arah si gadis, lalu wajahnya yang pucat perlahan memerah dengan dihiasi senyum lebarnya, "namaku Ica."

"Ica? Tapi kamu anak laki-laki, kan?" raut bingung terpancar jelas dari wajah si gadis. Pasalnya, dia yakin seratus persen sosok yang masih memasang senyum tiga jarinya itu adalah laki-laki.

"Yup! Aku anak laki-laki." Ica mengajak Pipo duduk di sebelahnya, dan anjing itu menurut, bahkan duduk dengan sopan dan tenang. "Dalam bahasa Bali, Ica itu artinya anugrah dari Tuhan."

Si gadis mengganguk-anggukkan kepalanya tanda mengerti, lalu mengulurkan tangan kanannya ke arah Ica, "namaku Santih. Namaku diambil dari bahasa sansekerta, yang artinya damai," ucap Santih sambil tersenyum, Ica membalas uluran tangan Santih sambil membalas senyum si gadis.

Jeda panjang terjadi diantara keduanya. Bahkan Pipo yang duduk di sebelah Ica mulai gelisah. Sampai, Ica membuka suaranya, ada kesedihan yang begitu kentara dalam kalimatnya, Santih bisa merasakan itu walau sekilas. Ica berkata, "aku mengira tidak akan bisa bertahan sampai saat ini. Aku bahagia bisa survive selama lima tahun belakangan."

Santih menoleh ke arah Ica, entah mengapa sosok itu sedikit memucat sekarang. "Kamu hebat!" Santih menepuk bahu Ica, membuat anak laki-laki itu menyunggingkan senyum di bibirnya, "Kamu tahu, tidak banyak anak yang bisa bertahan hidup bersama penyakit itu." Santih mengendihkan bahunya.

"Ya kamu benar. Aku sudah lima kali pass out saat kemoterapi. Kebanyakan anak selalu pingsan selama pengobatan." Ica terkekeh sebentar, namun tidak berlangsung lama sampai Santih menyentuh tangan Ica, menggenggamnya erat. Kedua mata gadis itu menatap lekat-lekat Ica, seolah-olah Ica bisa menghilang kapan saja.

"Kamu jangan menyerah! A-aku akan menunggumu ... uhm, 5 tahun lagi!" ucap Santih dengan suara keras. Ica dibuat kaget karenanya. "Kumohon ... bertahanlah ... lima tahun lagi." Santih berdiri dari posisi duduknya, kemudian pergi meninggalkan Ica ketika melihat sang ibu memanggilkan untuk check up .

"Aku harap Santih jadi gadis yang menawan nanti. Aku pasti akan akan jatuh cinta padanya." Ica mengelus-elus bulu Pipo, membuat anjing itu semakin gelisah. Dia memeluk anjingnya dengan erat, bibirnya bergerak-gerak—mengucapkan sesuatu dengan nada pelan "lima tahun lagi ...."

.

Lima tahun berlalu. Sepucuk surat terselip diatara surat-surat penting lainnya. Karena terbungkus amplop unik berwarna biru muda, perempuan itu langsung meraih surat tersebut. Amplop biru muda terlihat sangat usang. Bahkan kertas yang digunakan untuk menulis surat adalah kertas resep obat yang penuh akan tulisan dokter.

Semakin penasaran, sebuah tulisan khas anak-anak tertulis jelas di bagian belakang resep obat, bagian yang terbebas dari coretan dokter. Dibacanya isi surat yang hanya terdiri dari kalimat pendek. Tanpa dia sadari, sudut matanya mulai berair, dadanya sesak, dan kepalanya terasa berputar.

"Maaf, aku tidak bisa bertemu denganmu, Santhi. Terima kasih karena sudah menungguku selama lima tahun ini. Semoga kita bisa bertemu di kehidupan selanjutnya J" –Ica--  

Kumpulan Cerpen By MimitobiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang