JALANKU

23 2 0
                                    

Angin menerpa seluruh tubuhku. Rasanya dingin, nyaris tubuh ini menggigil dibuatnya. Jaket lusuh dan celana jeans bolong yang kukenakan samasekali tidak membuat tubuhku sedikit menghangat. Belum lagi udara pagi yang masih dingin dan lembap.

Kueratkan dua sisi jaketku—berusaha untuk memberi kehangat pada tubuh lelah dan letih ini. Namun, masih saja gagal seperti biasanya. Tubuhku terasa semakin beku entah karena apa lagi.

Laut yang menjadi objek pandang kedua retinaku seakan berteriak, membentak, dan memaki tubuh ringkih yang menggendong tas besar serta kanvas. Tak terasa bibirku tersungging, seakan ingin mengejek laut yang berusaha mengusirku dari tempatku berdiri.

Langit masih keabu-abuan. Mungkin, matahari akan terbit sebentar lagi. Atau lebih lama lagi. Aku tentu belum tahu. Aku hanya ingin menunggu saat yang tepat, saat cahaya agung itu muncul dari arah timur mata angin.

Kuhirup udara pantai yang asin. Pasir hitam yang berada di bawahku terasa basah di telapak kaki yang hanya beralaskan sandal jepit usang. Tanpa peduli celana akan ikut basah, kududukan diriku di sana sembari memandangi nelayan yang baru saja pulang melaut. Beberapa pemancing juga mulai berdatangan. Pantai yang tadinya sepi dan dingin, berubah menjadi ramai dan terasa hangat karena orang-orang yang datang kemudian saling menyapa satu sama lain.

Tak terasa langit berubah biru. Segaris cahaya pun pelan-pelan menembus cakrawala. Makin lama makin terik, hingga bundaran cahaya itu muncul setengah diatas garis cakrawala.

Kuraih kanvas serta beberapa kuas dari tas besar yang sudah berada di punggungku setiap hari. Dengan senyum mengembang, aku mulai menggoreskan sketsa diatas kanvas bersih di pangkuanku. Segaris kemudian berubah menjadi objek abstrak dan coretan dimana-mana. Aku tersenyum puas dengan sketsaku kali ini.

Cat minyak lalu kucampur hingga menghasilkan warna yang aku inginkan. Kuas sudah bersiaga di tangan kiriku, namun saat ujung helainya menyentuh kanvas, perasaan aneh itu muncul lagi di kepalaku. Pusing hingga telinga ikut berdenging.

"Buat apa kami sekolahkan kamu tinggi-tinggi tapi kerjaannya hanya melukis saja?!" suara ayah yang marah masih tersimpan di dalam otakku.

"Kamu itu harus jadi pegawai negeri! Bukan seniman yang tidak beduit!" kali ini suara ibu yang begitu kurindukan. Tapi tidak untuk saat ini.

Kugigit bibir bawahku—berusaha mengenyahkan segala kebimbangan dan suara-suara marah di dalam kepalaku. Aku hanya ingin mengekspresikan diriku dengan melukis, bukan bekerja banting tulang, berkutat dengan berkas dan kertas fotokopian, atau mematuhi peraturan yang membuat hidup bagai terkekang rantai besi. Aku tidak ingin seperti itu! Tidak akan!

"Del, kamu lakukan apa yang rasanya pantas buat hidupmu. Jangan jadi seperti kakakmu ini." Sungguh, ini adalah suara yang paling menyejukkan yang pernah kudengar. Suara kakak tercintaku, "jangan membuat ayah dan ibu kecewa! Mereka hanya ingin yang terbaik untuk anak-anaknya. Tapi kamu sudah tau apa yang lebih baik untuk dirimu, kan?" Bibirku membentuk lengkungan tipis ketika mengingat bagaimana wajah kakak saat berkata demikian. Dia malaikat di dunia nyata.

Tanganku bergerak menggoresi kanvas dengan cat. Goresan demi goresan terasa begitu menyenangkan. Rasanya, kedua bahu ini kehilangan beban, bebas dan nyaman. Inilah pilihanku.

Entah sudah berapa hari sejak kepergianku dari rumah—kabur dari pelukan kedua orangtua yang berusaha memberikan kenyamanan. Tapi jiwaku memberontak, ingin pergi dan berkeliling melihat dunia yang dikata orang selebar daun kelor.

"Lo itu cewek. Bajunya jangan gini-gini amat lah! Ini juga, celana pake dibolong-bolongin." Yang ini suara teman sekelasku di universitas. Dia cewek modis dengan rambut yang selalu dicat warna-warni. Ah, dan selalu berganti lensa kontak. Sampai saat ini pun, aku tidak tahu bagaimana warna matanya yang asli.

Berbagai komentar sudah pernah singgah di telingaku. Dari yang level rendah sampai level setan. Namun, ada kalanya aku kehilangan kesabaran, saat darah di kepalaku benar-benar mendidih, saat kedua tangan yang biasanya menggenggam kuas dan kanvas harus membiru karena adu tinju dengan orang-orang yang menghinaku. Mereka bukan siapa-siapa, tapi sangat sibuk mengurusi kehidupan orang lain.

"Eh! Lukisan busuk kayak gini buat apa lo pamerin?! Bikin sakit mata tau!" ini saat seorang pemuda datang ke tenda pameran mini yang kubuat ketika festival kampus beberapa minggu lalu. Wajah mengejeknya masih terbayang jelas di ingatanku. Bahkan aksinya yang kala itu menarik beberapa lukisanku kemudian menginjaknya diatas tanah. Benar-benar sudah keterlaluan.

Kuraih kerah kemeja yang dikenakannya. Tanpa sadar, tangan kiriku bergerak meninju pipinya dengan keras. Beberapa kali kulakukan hal yang sama, sampai para pengunjung dan petugas keamanan melerai kami. Aku mendapat surat peringatan, dan pemuda itu tidak. Karena posisku yang memulai perkelahian, dan menimbulkan situasi tidak nyaman.

Hal yang paling kutakutkan adalah berita ini terdengar sampai ke telinga kedua orangtuaku. Dan itu terjadi.

"Kami kecewa! Sudah dibiayai kuliah di kampus yang bagus. Tapi sikapnya preman!" ayah marah besar, dan ibu enggan melirik ke arahku, "contoh kakakmu! Sudah pintar, dan sekarang jadi kepala dinas. Kamu itu apa? cewek tapi idupnya ngga jelas gini!"

Sudah puas aku dikekang seperti ini dan itu. Dibanding-bandingkan dengan kakak sendiri bahkan anak tetangga juga. Kubulatkan tekadku! Aku hanya ingin melukis dan jadi seniman hebat. Apa itu salah dimata orang-orang? Apa seniman sepertiku setara dengan jalang yang menjajakan tubuhnya di pinggir jalan? Sungguh, aku sudah tidak tahan dengan semua ini.

Malam itu. Saat ayah sudah memuntahkan segala emosinya kepadaku dan saat ibu yang semakin tidak perduli dengan keadaanku. Kuputuskan untuk pergi dari rumah. Mencari kebebasan dan tempat dimana aku bisa berekspresi tanpa batas. Kutinggalkan kuliahku yang berat. Dan kakak yang pasti sangat mengkhawatirkanku sekarang.

Matahari semakin tinggi. Cahayanya terik dan mulai terasa panas saat menyentuh kulit. Kupandangi lukisan beraliran realistis yang catnya mulai mengering. Senyumku semakin lebar kala dalam hati merasa bangga bisa berkarya seperti ini.

Atensiku beralih pada ponsel yang tiba-tiba bergetar di dalam saku celanaku. Sebuah pesan dari ratusan pesan muncul di layar depan. Sebaris nama yang masih terasa asing dimataku muncul di barisan paling atas. Dia pemuda yang katanya tertarik padaku. Dan sampai saat ini, dia selalu memperhatikanku.

"Del, kita ada bimbingan dosen hari ini. Abis itu, kita makan siang bareng, yuk!"

...

-tamat-

Kumpulan Cerpen By MimitobiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang