Bangku Merah dan Pantai

17 2 1
                                    


Langit biru, awan putih, serta angin kencang sudah menjadi teman si pemuda berwajah murung yang kini sedang menatap lautan di depannya dengan pandangan hampa. Surai hitam yang dibiarkan panjang menutupi hampir setengah wajahnya. Kedua matanya nyaris tak berkedip walau angin dan butiran pasir menerpa wajahnya.

Dia adalah si pemuda pemurung, begitu yang biasa orang sebut sebagai panggilan si pemuda. Ya, dia terlihat murung, sedih, atau mungkin depresi. Tidak ada seorang pun yang menyapanya, menegurnya, atau mengajaknya sekedar basa-basi, atau mungkin membuat obrolan mengenai cuaca pantai yang cerah dan terik hampir setiap hari.

Bangku bercat merah bata yang terletak tidak jauh dari bibir pantai menjadi tempat favoritnya. Pohon kelapa yang rindang menjadi atap penghalau sinar matahari. Jadi, jam berapapun dia datang dan duduk di bangku tersebut, kulitnya akan aman dari sengatan sinar matahahari.

Sudah hampir satu jam dia duduk di sana, menatapi ombak-ombak yang menghantam karang, melihat burung camar yang berterbangan, atau para nelayan yang bersiap-siap dengan jaring ikan mereka. Kedua manik coklat cerah itu memang terlihat kosong, tapi dia memperhatikan semuanya-dia mencoba mengalihkan pikirannya.

Dihembuskannya nafas berat dari rongga mulut-sekedar mengurangi rasa sesak di dalam dada. Raut sedih serta marah, sedikit kecewa, dan penuh penyesalan bercampur menjadi satu di wajahnya. Dia tampan, tapi tidak untuk saat ini. Dia sedang kacau.

Bangku merah dan pantai, tempat yang bahkan tidak bisa ia mengerti. Mengapa dan bagaimana dirinya bisa terjebak dalam situasi seperti ini. Masa lalunya, kah? Atau kenangannya bersama perempuan itu?

Si pemuda pemurung meremas surai hitamnya dengan dua tangan, rasanya dia ingin berteriak, meronta, dan memuntahkan segala beban yang menyesakkan hatinya agar semua orang tahu jika dia sedang merindukan perempuan itu. Perempuan yang begitu dicintainya.

Giginya bergetar. Sungguh, dia sangat benci dengan situasi ini, benci dengan keadaan yang membuatnya tersiksa, bahkan benci dengan dirinya sendiri. Rasanya mati lebih menyenangkan dibandingkan harus hidup dan menanggung kerinduan yang mengikis jiwa perlahan namun pasti.

"Arrghh..." erangan lolos begitu saja dari rongga mulutnya. Suaranya memang tidak kencang ataupun keras, namun masih mampu didengar oleh orang-orang yang tidak sengaja lewat.

Saat si pemuda pemurung masih sibuk dengan pikiran serta kedua tangan yang menjambak surainya hingga berantakan, tiba-tiba dia merasakan bangku merah yang didudukinya sedikit bergerak. Pelan-pelan ditolehkannya kepalanya ke samping dan mendapati seorang pemuda asing duduk di sebelahnya.

Mata mereka bertemu, namun tidak lama si pemuda asing segera memutuskan kontak mata mereka, dan memilih memandangi bibir pantai yang terus tersapu ombak, "sudah lama gue pengen ketemu lo?" si pemuda asing melirik sekilas lewat ekor matanya-memastikan si pemuda pemurung sedang memperhatikannya sekarang.

"Lo siapa?" tanya si pemuda pemurung dengan nada tidak suka.

"Gue?" si pemuda asing kini menghadapkan seluruh tubuhnya ke si pemuda pemurung, kemudian tersenyum sebelum melanjutkan ucapannya, "apa muka gue belum cukup buat lo tahu siapa gue?"

"Lo nggak ngejawab pertanyaan gue," si pemuda pemurung mengalihkan atensinya dari pemuda asing yang duduk di sebelahnya-berharap sikapnya yang tidak bersahabat ini mampu menyingkirkan pemuda dengan senyum menjengkelkan itu.

"Gue Gani," si pemuda pemurung kembali memusatkan atensinya ke arah pemuda asing-bernama Gani itu, "gue adiknya Dinda."

Rasanya pandangan si pemuda pemurung menggelap seketika. Wajah pemuda di sebelahnya... bagaimana dia tidak menyadarinya? Itu wajah yang perisis milik Dinda-pacarnya.

Kumpulan Cerpen By MimitobiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang