Gelak tawa terdengar dari ruang tengah, kaki-kaki mungil berkejaran menggema di hampir tiap sudut ruangan. Dua bocah laki-laki berebut mainan, tak mengalah salah satu dari mereka hingga keduanya terpaksa ditegur. Bagaimana mereka harus selalu berbagi dengan saudara-saudaranya pun diajarkan hampir setiap hari. Namun, jiwa-jiwa polos seperti mereka terkadang tak memahami apa itu arti kata egois.
Minggu pagi seperti minggu-minggu sebelumnya selalu menjadi hari yang dinanti para penghuni panti. Setidaknya tiap akhir pekan seperti ini banyak dermawan yang datang berkunjung, bermain dengan anak-anak dengan membawa hadiah, pun tak sedikit yang berbagi rezeki untuk membantu kelangsungan rumah anak ini.
Tak terkecuali keluarga Lee yang datang berkunjung hari ini untuk merayakan ulang tahun putri mereka yang kesembilan. Seperti yang selalu mereka ajarkan pada bocah perempuan itu, untuk berbagi dengan sesama, ia memilih merayakan hari ulang tahunnya dengan teman-teman yang lebih membutuhkan.
Membagi tidak saja makanan, mainan, dan pakaian, juga peralatan sekolah. Anak-anak begitu senang, rajin membantu ibu pengurus menata ruangan pun mengenakan pakaian rapi setelah itu. Menyambut kedatangan keluarga Lee dengan senyum lebar mereka.
Bernyanyi bersama, menikmati potongan kue ulang tahun yang terasa begitu lezat, pun canda tawa yang tercipta saat mereka mengadakan permainan seru. Lompatan kecil, jerit kegirangan menguasai hampir setiap wajah bocah-bocah kecil ketika mereka mendapatkan hadiahnya masing-masing.
Lee Jieun tersenyum manis, menyukai pemandangan itu sebagai hadiah terbaik di hari ulang tahunnya. Berterimakasih kepada kedua orang tuanya yang selalu mengajarkan tentang kehangatan dan cinta terhadap sesama.
Di tengah hiruk pikuk canda, nyatanya ada satu penghuni yang tak ikut ambil bagian. Di sudut ruangan duduk seorang bocah perempuan kecil yang berusia tidak lebih dari lima tahun, menikmati potongan kue dengan sendirinya tanpa ingin bergabung dengan yang lain. Jieun menyadari hal itu, mengambil satu hadiah dan mulai menghampiri si bocah.
"Hai, siapa namamu?" tanyanya saat mengambil duduk. Wajah bulat dan mata sipit menyambut sapaan itu, pun ekspresi heran yang ia tampilkan. Jieun tersenyum kecil melihatnya. "Kenapa kau tidak ikut bermain dengan yang lain?" tanyanya lagi.
Berhenti menikmati kue, bocah kecil itu menjawab malu-malu. "Namaku Jisu," ujarnya pelan, mengamati Jieun cukup lama sebelum mengalihkan pandangannya ke arah teman-temannya yang lain dan kembali menatap Jieun dengan ekspresi sedih. "Mereka tidak mau bermain dengan Jisu," keluhnya.
Mendengar hal itu, gadis kecil sepertinya pun merasa kasihan. Jieun tak habis pikir mengapa mereka tidak mengajak Jisu bermain bersama. Apa karena ia yang paling kecil, sementara teman-temannya yang lain terlihat lebih besar darinya, dan rata-rata seumuran dengan Jieun.
"Apa kau mau bermain dengan Kak Jieun?"
Melebarkan tidak hanya dua bola mata, pun senyumnya yang lucu. Jisu melompat kegirangan, mengikuti Jieun ke mana pun gadis itu pergi. Seharian menempel padanya, membuat bocah itu tak ingin berpisah. Ketika sore mulai menjemput, pun keluarga Lee yang hendak berpamitan untuk pergi, Jisu masih tak mau melepaskan Jieun, menangis keras memaksa untuk mengikuti gadis kecil itu.
"Jisu-ya, kalau kau berhenti menangis Kakak akan kembali minggu depan untukmu."
Begitu janji yang Jieun ucapkan, pun harapan seorang Jisu kecil untuk menunggunya. Nyatanya Jieun tak pernah mengingkari janji, menyayangi Jisu sejak hari pertama mereka bertemu di panti asuhan hingga sekarang. Selalu mendahulukannya meski ia tahu betul jika Jisu bukanlah adik kandungnya sendiri.

KAMU SEDANG MEMBACA
Days of Sunshine
Fanfiction[Completed] Aku percaya sang mentari tidak pernah berhenti berpijar, terus bersinar tanpa mengenal pembagian waktu. Siang dan malam bukan kawannya. Hanya tahu caranya berbagi cahaya untuk siapa, kapan, dan di belahan bumi mana saja. Aku ingin meni...