Luna menjadi pusat perhatian saat dirinya datang ke kantor di Senin pagi itu. Gayanya sangat berantakan. Rambut panjangnya kusut dan dikuncir asal-asalan. Dia memakai kemeja kotak-kotak kebesaran dan celana jeans hitam pagi itu.
"Berat banget hidup lo, baru disuruh ngisi konten Provoactive sekali udah kelabakan lo," Wanda yang lewat di sebelah Luna saat masuk ruangan tak absen mengomentari perempuan itu.
"Nyinyir melulu lo, hati-hati kualat," jawab Luna ketus. Wanda tertawa dan menyeruput kopi panasnya sebelum berniat membalas perempuan yang dia sebut tukang rusuh itu.
"Sorry nih, nggak mungkin kualat. Gue udah tiga kali jadi PIC konten Provoactive," balas Wanda sambil tertawa. Ia lanjut berjalan, tapi beberapa langkah kemudian dirinya tersandung gundukan kabel. Kopinya tumpah sedikit mengenai baju, membuat Wanda terjekut karena panas.
Luna tak membuang waktu untuk tertawa dan melewati orang yang baru menghinanya itu sambil berkata, "Instant karma, Babe. Enjoooy...."
Senin akhirnya tiba. Rapat target issue diadakan. Luna terlihat tegang luar biasa.
"Luna, ada yang mau ditambahin? Materi untuk Provoactive mungkin?" tanya Kamal dengan kadar tiga perempat sindiran di dalamnya. Anak-anak gaya hidup diam melihat Luna iba, sementara Luna mati-matian menahan dirinya untuk tidak memutar bola mata.
Kamal menahan seringai kemenangannya. Luna selalu merepotkan di matanya. Sudah merepotkan, senang menjawab atasan pula. Padahal cengeng luar biasa. Jika dibalas, tahu-tahu dia menangis. Kali ini Kamal ingin memberi pelajaran bahwa membuat materi politik memang sulit dan membutuhkan fokus yang tinggi ketimbang materi gaya hidup yang ringan.
Mungkin setelah memahami sulitnya membuat materi politik, Luna bisa lebih diam dan memahami mengapa Kamal lebih menitikberatkan perhatiannya kepada konten politik.
Luna membuka laptopnya, lalu mulai bicara, "Saya mau mencoba mendalami makna nasionalisme dan patriotisme di Indonesia."
Semua orang mengerutkan dahi. Mereka pikir topik yang akan diangkat Luna adalah tentang privilege politik, sesuai dengan tema konten gaya hidup kemarin.
"Jadi, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, nasionalisme adalah paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri."
"Copy paste doang nih bisanya?" celetuk Wanda.
Beberapa suara tawa yang tertahan mulai muncul.
"Saya selesaiin dulu aja ya baru pada ketawa," Luna manyun saat beberapa tawa malah meledak setelah itu. Namun dia tidak terlihat gentar meskipun dalam hati dirinya amat sangat tidak yakin dengan proposal topik yang ingin dia angkat itu.
"Ada yang mendefinisikan Nasionalisme sebagai suatu paham bangsa yang memiliki keselarasan kebudayaan, wilayah, kesamaan cita-cita, dan tujuan."
Kamal mendesah panjang. Penjelasan Luna tampaknya terlalu bertele-tele baginya. Namun perempuan itu terlihat masa bodo. Tanpa menatap Kamal, ia melihat ke sekelilingnya.
"Nasionalisme secara konsep punya misi yang luhur. Yang baik. Pertanyaannya, Indonesia yang seperti apa yang dicintai?"
Saat ini, tak ada lagi tatapan meremehkan ataupun menyindir yang diarahkan kepada Luna. Pertanyaan yang tadi perempuan itu ajukan membuat seluruh peserta rapat tertarik akan apa yang ingin ia katakan selanjutnya.
"Dalam prakteknya, paham nasionalisme justru memaksakan keseragaman dalam masyarakat. Nggak boleh bangga sama ciri agama karena itu bukan ciri khas negara, masyarakat suku adat itu primitif dan tidak mencerminkan negara maju, suka ngomong bahasa inggris berarti nggak nasionalis meskipun akhirnya jadi ikutan bangga saat yang dihujat nggak nasionalis itu bisa go internasional. Benturan-benturan sosial terus muncul kayaknya demi mencapai cinta negara. Terus apa bedanya sama fanatisme?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Provoactive [TERBIT]
RomanceKamal, pemimpin redaksi Tarun News, kedatangan anak baru yang tidak disukai karena keserampangan anak tersebut. Luna, mantan asisten atasan yang akhirnya mendapat posisi sebagai pembuat artikel gaya hidup dalam perusahaan news content supplier untuk...