BAGIAN 4

271 17 0
                                    

"Kakang, eh...! Bolehkah aku memanggilmu kakang?" tanya Ambarini sambil menunduk malu...
"Kau boleh memanggil apa saja yang kau suka...," sahut Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti saat ini tengah mengumpulkan ranting kering yang banyak berserakan di tempat itu untuk dijadikan api unggun. Memang saat ini hari telah gelap. Dan gadis itu cepat menangkap apa yang hendak dilakukan Rangga. Maka dia mulai ikut mengumpulkan kayu-kayu kering di dekatnya.
"Kakang, siapakah kau sebenarnya? Kepandaianmu tinggi sekali. Apakah julukanmu?" tanya Ambarini, memberondong.
"Aku hanya pengembara, Nisanak. Kepandaian yang kumiliki tidak sebanding dengan pendekar-pendekar lain," sahut Rangga merendah.
"Iya.... Tapi kau kan punya julukan. Apa julukanmu?" desak Ambarini.
"Rasanya itu tak perlu, Nisanak," elak Pendekar Rajawali Sakti.
"Tapi..., eh! Tunggu! Ayahku pernah bercerita tentang seorang pendekar pengembara yang selalu memakai baju rompi putih dan menyandang pedang bergagang kepala burung rajawali, julukannya.... Ya! Pendekar Rajawali Sakti! Kau pasti si Pendekar Rajawali Sakti! Betul kan, Kakang!" desah Ambarini kian menjadi.
Rangga kagum juga dengan daya ingat gadis ini. Sebentar ditatapnya Ambarini, lalu bibirnya tersenyum. Dan tanpa berkata-kata lagi Rangga berbalik melangkah ke bawah pohon dan berjongkok untuk membuat api unggun.
Sementara Ambarini yang sudah merasa yakin kalau saat ini bersama Pendekar Rajawali Sakti segera menyusul pemuda itu. Gadis itu lalu menumpukkan kayu kering yang diperolehnya di dekat perapian, lalu duduk tidak jauh dari Pendekar Rajawali Sakti. Sesekali, matanya mencuri pandang pada pemuda tampan di sebelahnya.
"Ah! Ini suatu kebanggaan yang tak terkira. Ternyata aku bisa bertemu Pendekar Rajawali Sakti...!" seru Ambarini tidak dapat menyembunyikan perasaan senangnya.
"Sudahlah, Nisanak. Apa bedanya aku dengan pendekar-pendekar lain? Aku kira sama saja," ujar Rangga, jadi jengah juga.
"Bukan begitu, Kakang. Karena, yang jelas namamu begitu banyak dikagumi orang. Gadis-gadis di desaku tak ada yang tidak mengenalmu. Dan rata-rata pemudanya juga ingin menjadi orang hebat sepertimu. Meski, sebenarnya jarang sekali yang pernah berhadapan denganmu...."
Rangga hanya tersenyum enteng seraya menambahkan beberapa batang ranting kering ke perapian. Sejenak suasana jadi hening, ketika tidak ada yang berbicara.
"Oh, ya.... Siapa namamu, Nisanak?" tanya Rangga, memecah kebisuan.
"Ambarini...," sahut gadis itu sambil tersenyum cerah. "Dan nama aslimu siapa?"
"Rangga...," sahut Rangga pendek, "Oh, ya. Kenapa kau kabur dari rumah...?"
Gadis itu tidak langsung menjawab. Namun terlihat perubahan pada wajahnya yang kini cemberut bercampur kesal. "Orangtuaku hendak lekas-lekas menjodohkanku...!"
"Dengan pemuda yang di depan kedai itu?"
Ambarini mengangguk.
"Kalian pasangan yang cocok. Kenapa kau kelihatan begitu membencinya...?"
"Huh! Aku muak melihat tampangnya! Siapa pun di desa kami akan tahu kalau pemuda itu mata keranjang dan tidak bisa dipercaya. Dia suka mempermainkan wanita. Meski wajahnya tampan dan ayahnya orang berpangkat, tidak sudi aku kawin dengannya!" dengus Ambarini.
"Tapi orangtuamu setuju...?"
"Justru orangtuaku yang rajin menawarkanku padanya! Huh! Dia kira aku barang dagangan!"
"Setiap orangtua ingin anaknya bahagia...."
"Tapi yang satu ini terbalik. Karena justru aku akan sengsara!"
"Kenapa kau berkata begitu?" tanya Rangga heran.
"Ayahku bekerja pada Panglima Balung Geni. Dan untuk mencari muka dan kepercayaan, maka beliau telah menjodohkanku dengan pemuda ceriwis anak panglima itu tanpa sepengetahuanku. Dan itu membuatku kesal sekali. Sebab aku sama sekali tidak menyukainya!"
Rangga terdiam dan mencoba memahami perasaan gadis itu. Dan gadis itu pun bersikap sama. Keduanya memandang api unggun yang menyala, menerangi sekitarnya untuk beberapa saat. Sementara malam semakin merayap dan dingin mulai menyengat.
"Dan kini agaknya mereka telah menawarkan hadiah bagi yang berhasil membawaku pulang...," lanjut Ambarini dengan nada setengah bergumam.
"Dan memberi hadiah bagi yang berhasil membawa kepalaku...?" sahut Rangga seraya tersenyum geli.
Ambarini memandang ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Dan tidak seperti pertama kali ditolong, sekarang bisa dimengerti pemuda itu sangat menganggap enteng ancaman Panglima Balung Geni. Sebab, sepasukan prajurit kadipaten belum tentu mampu menangkap Pendekar Rajawali Sakti!
Ambarini jadi merasa bangga dan aman dengan Pendekar Rajawali Sakti. Bibirnya lantas tersenyum haru. Ditatapnya pemuda itu. Namun tatapannya sulit diartikan.
"Kenapa Kakang Rangga kembali. Padahal bisa saja kau meninggalkanku begitu saja. Apalagi tadinya kita tidak pernah saling kenal...?" tanya Ambarini seraya menunduk. Suaranya terdengar perlahan, seperti ingin memancing isi hati pemuda itu.
Rangga hanya tersenyum. Lalu, dipandangnya gadis itu. "Aku tahu, kau berada dalam kesulitan. Dan membantu orang yang tengah kesulitan rasanya tidak ada salahnya...," sahut Pendekar Rajawali Sakti agak pelan suaranya.
"Hanya itu...?"
"Untuk hal lain, rasanya aku tidak berhak. Malah bisa jadi perbuatanku salah. Misalnya memisahkan dua orang yang sudah dijodohkan," ledek Rangga. Entah kenapa. Pendekar Rajawali Sakti ingin sekali meledek Ambarini. Kalau sudah begini dia jadi teringat Pandan Wangi yang ditinggalkannya di Karang Setra. Kalau sedang merutuk, gadis ini mirip Pandan Wangi.
"Huh! Siapa sudi menjadi kekasihnya!" dengus Ambarini dengan wajah memberengut.
Rangga jadi tertawa melihat raut wajah Ambarini yang tengah kesal. Dia merasa, seperti tengah berhadapan dengan Pandan Wangi saja.
"Kakang...?" panggil Ambarini ketika mereka kembali terdiam untuk beberapa saat.
"Hm...."
"Apakah kau punya kekasih...?" tanya Ambarini, memberanikan diri sambil memandang wajah pemuda itu. Seolah ingin diketahuinya apa jawaban pemuda itu. Paling tidak memperhatikan perubahan wajahnya atas pertanyaan itu.
Rangga mendesah pelan, disertai senyum terkembang di bibir. Dan belum sempat menjawab pertanyaan itu....
Set! Set!
"Ambarini, awas!" Dengan satu gerakan cepat bagai kilat, Pendekar Rajawali Sakti menerkam gadis itu. Tentu saja ini membuat Ambarini terkejut. Dia ingin berteriak, untung saja Rangga sudah memperingatkannya.
Crab! Crab!
Rangga tidak sempat memperhatikan, apa yang melesat ke arah mereka karena terus bergulingan sambil memeluk tubuh gadis itu. Sementara pendengarannya yang tajam masih saja mendengar beberapa senjata rahasia lain yang masih terus mengejar mereka berdua dengan cepat sekali. Begitu serangan mereda. Pendekar Rajawali Sakti cepat melenting ke atas. Lalu manis sekali kakinya mendarat di tanah.
"Siapa pun orangnya, kalau ingin bergabung silakan! Jangan main sembunyi begitu!" teriak Pendekar Rajawali Sakti lantang menggelegar.
Namun tidak terdengar satu pun sahutan. Pendekar Rajawali Sakti segera mengedarkan pandangan ke sekeliling sambil mengerahkan aji 'Pembeda Gerak dan Suara', Rangga memang mendengar adanya desah napas yang begitu lembut dari beberapa orang.
"Baiklah! Kalau itu yang kalian inginjan. Peringatanku hanya berlaku sekali. Kalau kalian tidak keluar juga, terima akibatnya. Aji 'Bayu Bajra'! Hiyaaa...!"
Pendekar Rajawali Sakti langsung menyorongkan telapak tangannya sambil membentak keras. Seketika itu juga serangkum angin kencang berkekuatan dahsyat menyapu ke satu arah, menerbangkan apa saja yang menjadi sasaran. Jelas, arahnya adalah tempat senjata rahasia yang tadi meluncur deras. Begitu dahsyat angin yang bertiup, membuat pohon-pohon berderak patah, bahkan ada yang sampai tercabut ke akar-akarnya. Tanah serta bebatuan ikut terlontar. Tak lama kemudian....
Prasss...!
"Sial!"
Terdengar beberapa orang memaki, yang disusul berkelebatnya empat sosok tubuh dari tempat berasalnya senjata rahasia tadi. Sementara itu Rangga berdiri tegak dan Ambarini bersembunyi di belakangnya. Pendekar Rajawali Sakti memandang keempat lelaki bertampang seram di hadapannya sambil tersenyum kecil. Dua orang berambut panjang dengan kumis tebal, sementara dua orang lagi berambut pendek.
"Hm.... Apakah kalian tidak ada pekerjaan sehingga senang mengganggu ketenangan orang...?!" cibir Rangga.
"Bocah brengsek! Serahkan gadis itu. Dan menyerahlah kau untuk menerima hukuman!" hardik salah seorang yang bersenjatakan sepasang trisula.
"Apakah kalian tidak punya tata krama? Datang tanpa permisi, lalu mau main paksa," sindir Pendekar Rajawali Sakti.
"Keparat! Kau tentunya belum kenal dengan si Maung Macan, heh?!" bentak laki-laki bersenjata trisula yang terselip di kedua pinggangnya. Tangan kirinya berkacak pinggang dan tangan kanannya memelintir kumisnya yang tebal. Matanya melotot lebar seperti hendak keluar. Dari sikapnya, jelas kalau dia sangat memandang rendah terhadap pemuda berbaju rompi putih ini.
"Oh! Jadi kau yang bernama Maung Macan? Hm, tentu saja aku mengenalmu. Kau adalah maling picisan yang beberapa waktu lalu dihajar orang satu desa...," ledek Rangga memanasi.
"Keparat! Rupanya kau perlu diberi pelajaran, heh?! Hm.... Kau akan menyesal. Bocah!" sentak laki-laki bersenjata trisula yang berjuluk si Maung Macan seraya melompat menyerang.
"Hup!" Rangga hanya melompat menghindar, menggunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Tubuhnya meliuk-liuk indah, menghindari setiap pukulan lawannya. Dan pada satu kesempatan, Pendekar Rajawali Sakti bermaksud hendak memberi pelajaran pada si Maung Macan. Maka ketika laki-laki berkumis tebal itu melancarkan serangan berupa kibasan tangan kanan ke wajah. Pendekar Rajawali Sakti cepat bagai kilat memapaknya.
Plak!
"Uhhh...!" Maung Macan terpekik, merasakan tangannya seperti menghantam baja keras. Namun dia jadi penasaran. Tidak dipedulikan lagi tangannya yang terasa nyeri. Bahkan langsung mengirimkan tendangan disertai tenaga dalam tinggi ke arah batok kepala Rangga. Namun Rangga bukannya tidak membaca gerakan itu, maka langsung ditangkisnya. Dalam perkiraan Maung Macan, lengan pemuda itu akan patah.
Plak!
"Aaakh...!" Namun yang terjadi justru mengejutkan hatinya. Tulang kaki Maung Macan seperti menghantam balok besi, dan membuatnya kembali mengeluh kesakitan. Dan belum lagi hilang keterkejutannya, Maung Macan kembali mendapat serangan dari pemuda itu berupa tendangan mengarah ke wajah.
Namun begitu, dia masih mampu menghindarinya dengan melenting kebelakang. Dan belum lagi kakinya menjejak tanah, kembali datang serangan yang demikian cepat bagai kilat. Maung Macan semakin terkejut saja. Sungguh tidak disangka kalau pemuda itu masih mampu mengirim serangan susulan. Sebisanya, laki-laki berkumis tebal itu memapak. Tapi Maung Macan kecele. Ternyata Pendekar Rajawali Sakti yang telah menggunakan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' telah menarik pulang serangannya. Dan cepat bagai kilat jurusnya dirubah menjadi 'Sepasang Sayap Rajawali Membelah Mega' tingkat pertama. Langsung tangannya mengibas, menghantam dada Maung Macan tanpa dapat dihindari lagi.
Diegkh!
"Aaakh...!" Laki-laki bertampang seram itu kontan terjungkal beberapa langkah dengan isi dada terasa remuk.
"Hei?!"
Melihat Maung Macan terjungkal ke tanah, sudah barang tentu membuat ketiga kawannya yang menyaksikan menjadi terkejut. Maung Macan bukanlah tokoh sembarangan. Kepandaiannya cukup tangguh. Bahkan hanya tokoh-tokoh kelas satu saja yang mampu menjatuhkannya.
Sementara Maung Macan telah kembali bangkit dengan wajah geram bercampur amarah meluap. Hatinya benar-benar panas dipermalukan di depan kawan-kawannya.
"Kucincang kau keparat...!" hardik Maung Macan garang. Langsung sepasang trisulanya dicabut.
Set!
"Yeaaah...!" Maung Macan langsung melompat menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Namun tubuh Rangga telah melesat tinggi ke atas, sehingga serangan itu hanya menyambar angin. Dan agaknya Pendekar Rajawali Sakti bertekad untuk tidak mau berlama-lama bertarung. Begitu tubuhnya meluruk turun langsung dilepaskannya satu tendangan keras. Maka Maung Macan memapak tendangan itu dengan mengebutkan trisulanya.
Wuuut...!
Namun kembali Maung Macan dibuat terkejut! Ternyata Pendekar Rajawali Sakti menarik pulang tendangannya. Bahkan tubuhnya langsung berputaran di udara, dan kembali menjejak tanah dengan manis sekali. Sungguh di luar dugaan. Pendekar Rajawali Sakti langsung melepaskan tendangan cepat, begitu kakinya menjejak tanah.
Plak!
Trisula itu terlepas dari genggaman tangan Maung Macan. Namun tangannya yang satu lagi cepat menikam ke arah punggung Rangga yang belum sempat berbalik. Maka dengan gerakan cepat Rangga membungkuk ke kanan. Seketika kaki kirinya melepaskan tendangan berputar menghantam pangkal lengan Maung Macan.
Laki-laki berkumis tebal itu terkejut bukan main. Bahkan ketika tendangan Pendekar Rajawali Sakti berturut-turut tiga kali menghantam dada kanan dan kirinya serta perut, dia tak mampu menghindar lagi. Maung Macan kontan memekik kesakitan. Tubuhnya terjerembab lima langkah di tanah. Darah kental tampak menetes dari sudut bibir dan hidungnya.
Sementara Pendekar Rajawali Sakti hanya memandangi lawannya yang masih terbaring di tanah. Tangannya terlipat di depan dada, seperti membiarkan lawannya untuk bangkit kembali. Kali ini ketiga kawan Maung Macan tidak terkejut, mereka menyadari pemuda itu memiliki kepandaian tinggi.
"Kisanak! Siapa kau sebenarnya...?" tanya salah seorang dari ketiga kawan Maung Macan. Kakinya lantas melangkah mendekati Pendekar Rajawali Sakti. Nada suaranya terdengar datar dan tidak segarang Maung Macan tadi. Bahkan ada terkesan menghormat dan segan.
"Namaku Rangga...," sahut pemuda itu datar.
"Rangga...? Hm sepertinya aku pernah mendengar nama itu. Hm, ya! Jangan-jangan, kau adalah Pendekar Rajawali Sakti! Betul?" tanya orang itu berusaha meyakinkan. Terlihat wajahnya sedikit kaget. Namun rasa kagetnya berusaha ditekan sedemikian rupa, agar pemuda itu tidak tahu.
"Begitulah orang memanggilku, Kisanak. Dan sebaliknya, kalian siapa? Lalu, apa yang kalian kehendaki?" Pendekar Rajawali Sakti balik bertanya.
"Kawanku yang telah kau jatuhkan itu bernama Maung Macan. Dan aku sendiri Gandi Sumangsa. Sedang kawanku yang memakai ikat kepala hitam bernama Seta. Sementara yang berambut panjang bernama Wikura. Kami berempat adalah orang-orang upahan Ki Wibisana, ayah Ambarini. Beliau membayar kami untuk mendapatkan dan membawa Ambarini pulang...," jelas orang yang mengaku bernama Gandi Sumangsa dengan nada lebih ramah.
"Kisanak! Sebenarnya aku tidak ikut campur dalam soal ini. Tapi biarlah Ambarini yang berhak memutuskan. Nah, silakan kalian tanya sendiri padanya...," ujar Rangga.
"Tidak! Aku tidak ingin kembali! Katakan pada ayahku. Kalau masih berkeras menjodohkanku dengan pemuda keparat itu, lebih baik tidak usah bertemu denganku selamanya! Anggap saja aku bukan putrinya lagi!" sentak Ambarini garang sebelum Gandi Sumangsa berkata apa-apa.
"Nini Ambarini! Ayahmu mengutus kami, karena beliau saat ini tengah sakit keras dan merindukan kehadiranmu...," bujuk laki-laki yang di pinggangnya terlihat berjejer pisau kecil.
"Huh! Kau kira aku anak kecil yang gampang ditipu?! Kalau beliau sakit, mudah-mudahan itu menjadi pelajaran baginya supaya tidak berkawan lagi dengan para bajingan!" dengus Ambarini makin berani.
"Jangan berkata seperti itu, Nini Ambarini. Ayahmu orang baik dan terhormat. Demikian pula kawan-kawannya. Kau sungguh beruntung memiliki ayah sepertinya...."
"Kisanak! Apa pun yang kau katakan, jangan harap aku kembali. Dan selama ayahku masih berniat mengawinkan aku dengan putra Panglima Balung Geni, sampai kapan pun aku tidak sudi! Katakan padanya. Aku tidak akan kembali lagi selama pendirian ayahku tidak berubah!" tandas Ambarini.
Gandi Sumangsa tidak mampu berkata apa-apa lagi mendengar keputusan si gadis. Dia memandang si pemuda dengan nada putus asa.
"Rangga! Kuharap kau bisa mengerti. Ini demi kebaikannya sendiri. Orang tua mana yang ingin anaknya sengsara. Maka demikian pula halnya Ki Wibisana. Mumpung dia bersamamu, harap kau bisa membujuknya dan melunakkan pendiriannya...," pinta Gandi Sumangsa.
Pendekar Rajawali Sakti memandang Ambarini sejenak, lalu beralih pada Gandi Sumangsa. "Kisanak! Seperti apa yang kukatakan tadi, aku tidak ikut campur tangan dalam soal ini. Termasuk permintaanmu tadi. Maaf, aku tidak bisa melaksanakannya. Ambarini punya sikap. Dan pendiriannya kuhargai. Kau boleh membawanya kalau dia suka. Tapi harap jangan memaksa secara tidak sopan seperti yang pernah dilakukan anak Panglima Balung Geni," sahut Rangga, kalem.
"Rangga! Kuhargai kedudukanmu sebagai seorang pendekar besar. Dan kuharap kau bisa bersikap bijaksana. Menghalangi kami yang hendak membawa anak dari Ki Wibisana yang telah membayar kami, apakah itu tindakan bijaksana?" sindir Gandi Sumangsa.
"Tentu saja tidak. Tapi gadis itu sama sekali tidak mau diajak pulang untuk dijodohkan," kilah Rangga.
Gandi Sumangsa terdiam dan tidak tahu harus berbuat apa. Untuk memaksa, jelas dia tidak punya nyali. Meski jumlah mereka ditambah tiga kali lipat, belum tentu mampu mengalahkan Pendekar Rajawali Sakti.
"Ki Gandi Sumangsa! Kembalilah pada orang tua gadis ini. Dan katakan, gadis ini tidak bisa dipaksa...!" lanjut Rangga menegaskan.
Gandi Sumangsa memandang ketiga kawannya, lalu menghela napas sesaat. "Hm.... Baiklah. Kalau demikian, agaknya tidak ada pilihan lain bagi kami. Nini Ambarini! Kami akan sampaikan pesanmu pada Ki Wibisana. Tapi masih ada waktu untuk berubah pikiran...," desah Gandi Sumangsa.
"Kisanak! Keputusanku tidak bisa ditawar-tawar lagi!" sahut Ambarini tegas.
Gandi Sumangsa kembali menghela napas berat. Lalu setelah memberi salam hormat, mereka berbalik dan meninggalkan tempat itu sambil memapah Maung Macan yang belum pulih keadaannya. Sementara Ambarini masih memandang kepergian mereka dengan sorot mata penuh kebencian. Sedangkan Rangga telah melangkah tenang dan duduk di depan perapian. Dilemparkannya satu atau dua batang ranting ke dalam api yang tengah menyala.
Setelah orang-orang suruhan Ki Wibisana itu telah benar-benar jauh, Ambarini berbalik. Kakinya lantas menghampiri ke arah Rangga berada. "Kakang Rangga, terima kasih atas pembelaanmu...," ucap gadis itu lirih, ketika duduk di hadapan Pendekar Rajawali Sakti. Jarak mereka hanya terhalang oleh perapian saja.
Rangga tersenyum kecil, lalu memandang wajah gadis itu. "Kau telah mantap dengan keputusanmu?" tanya Rangga.
"Perlukah aku mengulanginya di depanmu kembali?"
Rangga kembali tersenyum seraya menggeleng pelan. "Yah! Paling tidak, kau punya pendirian. Dan kalau memang dianggap benar, maka wajib dipertahankan...," desah Rangga.
"Terima kasih, Kakang...," sahut si gadis dengan wajah cerah dan senyum indah.

***

132. Pendekar Rajawali Sakti : Misteri Rimba KeramatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang