BAGIAN 3

294 15 0
                                    

Di Kadipaten Piyungan, tepatnya di ruangan utama yang tertata indah, wajah Panglima Balung Geni tampak geram. Beberapa kali dia mendengus sambil mengepalkan kedua tangan. Lalu pandangannya tertuju pada seorang laki-laki setengah baya yang duduk tidak jauh di depannya.
"Ki Wibisana! Kenapa bisa jadi begini? Bukankah kau telah menyetujui perkawinan putrimu dengan putraku?" Nada suara Panglima Balung Geni terdengar datar. Namun semua yang hadir dalam ruangan itu bisa melihat kalau raut wajahnya yang kelihatan marah dan kurang senang.
"Maaf, Kanjeng Panglima. Hamba sendiri tidak mengerti, mengapa dia berbuat demikian. Tapi hamba akan mencoba membujuknya. Jangan khawatir, dia pasti tidak akan ke mana-mana...," sahut laki-laki setengah baya berjenggot yang dipanggil Ki Wibisana.
"Hm.... Sebaiknya kau yakinkan padaku. Beberapa orang prajurit telah mencari dan menemukan jejaknya jauh di ujung wilayah kadipaten," ujar Panglima Balung Geni.
"Percayalah. Dia akan kembali pulang...," Ki Wibisana berusaha meyakinkan.
"Lalu, siapa pemuda yang usil dan ikut campur tangan itu?" tanya Panglima Balung Geni.
"Hamba sendiri belum mengetahuinya, Kanjeng Panglima. Hamba telah mengutus anak buah hamba untuk mencari tahu, siapa pemuda itu sebenarnya. Begitu hamba mengetahui, maka Kanjeng Panglima orang pertama yang hamba beritahu!" tegas Ki Wibisana.
"Aku telah perintahkan para prajurit untuk mengejar dan menangkapnya hidup-hidup! Orang itu harus dihadapkan padaku. Aku harus tahu, siapa orang yang berani bertingkah menentangku!"
"Mestinya dia orang baru dan tidak tahu adat! Atau juga, pemuda yang bosan hidup...!" timpal Ki Wibisana, bernada kesal.
Suasana kembali sunyi. Panglima Balung Geni masih memperlihatkan perasaan geramnya. Dan kalau sudah begitu, maka tidak ada seorang pun yang berani buka suara. Dan belum juga ada yang bersuara, seorang pengawal masuk ke dalam. Setelah menjura memberi hormat, dia memberitahukan bahwa ada yang ingin bertemu Ki Wibisana. Orang tua itu memandang sejenak ke arah Panglima Balung Geni. Dan setelah panglima itu mengangguk pelan, lelaki setengah baya itu mohon diri untuk keluar dari ruangan. Dengan langkah lebar-lebar, Ki Wibisana meninggalkan ruangan itu. Dan setelah melewati beberapa prajurit yang menjaga pintu yang dilalui, dia melihat dua orang tengah menunggunya.
"Sobali! Dan kau Jalung! Ada apa ke sini? Mana yang lain?" tanya Ki Wibisana ketika mengetahui siapa kedua orang yang ingin bertemu dengannya.
"Mereka tewas, Ki...!" sahut Sobali dengan wajah pucat.
"Apa? Apa yang terjadi...?!" tanya orang tua itu kaget.
Sobali segera menceritakan apa yang telah menimpa mereka. Sebenarnya, Sobali dan Jalung memang ditugaskan untuk mencari keterangan tentang Rimba Keramat. Yang ditunjuk sebagai pemimpin adalah Ki Brantas, karena kepandaiannya lebih tinggi. Dan ternyata di Rimba Keramat mereka telah mendapat bukti nyata, walaupun harus mengorbankan tiga nyawa. Rimba Keramat pasti menyimpan rahasia, karena orang-orang yang berani mendekati pasti tewas di sana. Ki Wibisana tampak terkejut sekali. Untuk sesaat dia terdiam.
"Sudahlah. Sekarang kalian pulang ke rumah masing-masing. Ini upah kalian!" ujar laki-laki setengah baya itu seraya memberi masing-masing sebuah kantung berisi kepingan uang perak.
"Terima kasih, Ki. Kalau begitu kami permisi dulu...," pamit Sobali sambil menjura memberi hormat.
Ki Wibisana mengangguk. Dan ketika orang suruhan itu telah berbalik, dia kembali ke dalam ruangan utama tempat Panglima Balung Geni menunggu.
Ki Wibisana berbisik pelan pada Panglima Balung Geni. Terlihat panglima itu mengangguk pelan. Setelah Ki Wibisana kembali ke tempat duduknya, Panglima Balung Geni menepuk tangan tiga kali. Maka seketika semua orang yang berada diruangan mengerti maksudnya. Dan mereka segera mohon diri, dan satu persatu pergi dari ruangan ini.
"Berita apa yang kau bawa...?" tanya sang Panglima ketika orang-orang telah berlalu.
"Begini, Kanjeng Panglima. Sebaiknya urusan tentang Ambarini kita tunda dulu. Karena ada masalah yang lebih penting lagi. Barusan dua orang anak buah hamba melaporkan kejadian yang mereka alami. Dugaan kita ternyata benar. Rimba Keramat memang bukan saja angker, tapi ada sesuatu yang disembunyikan disana," jelas Ki Wibisana.
"Harta karun yang pernah kau ceritakan?"
Ki Wibisana mengangguk cepat.
"Bagaimana kau tahu?"
"Tiga orang anak buahku tewas. Dan kata yang selamat, ada sesuatu yang menyerang mereka. Seperti manusia, tapi tidak jelas bentuknya," lanjut Ki Wibisana.
"Kau yakin mereka tidak tahu urusan harta karun itu?"
"Yakin, Kanjeng Panglima. Hanya satu orang yang tahu, yaitu Ki Brantas. Tapi orang itu telah tewas...."
Panglima Balung Geni terdiam beberapa saat lamanya, kemudian memandang tajam Ki Wibisana. "Lalu apa yang harus kita lakukan..?"
"Kenapa tidak langsung menyerbu saja ke sana?"
"Gila! Apa urusannya? Bisa-bisa Adipati Piyungan ini akan mengetahui perbuatan konyolku ini!" sentak Panglima Balung Geni.
"Tentu saja jangan membawa prajurit kadipaten. Kita harus menyewa orang-orang bayaran...," usul Ki Wibisana.
"Hm..." Panglima Balung Geni menggumam sedikit, sambil tersenyum kecil. Sepertinya dia mengerti jalan pikiran Ki Wibisana.
"Berarti aku harus mengeluarkan biaya lagi, bukan?" tanya Panglima Balung Geni lagi.
"Biayanya sedikit. Bahkan tidak ada apa-apanya bila dibanding harta karun itu!" sahut Ki Wibisana cepat.
"Baiklah. Aturlah baik-baik. Nanti anak buahku akan memberikan segala keperluan yang kau butuhkan untuk mendapatkan orang-orang tangguh!" ujar Panglima Balung Geni.
"Sudah tentu, Kanjeng Panglima! Hamba akan bekerja sebaik-baiknya!" sambut Ki Wibisana.
"Tapi ingat, Wibisana! Jika mengkhianatiku. Sekali saja kau mengkhianati, jangan harap bisa lari ke mana-mana!" kata sang Panglima mengingatkan.
"Astaga! Apakah Kanjeng Panglima tidak mempercayai hamba? Kepala ini yang akan menjadi taruhannya!" sahut Ki Wibisana berusaha meyakinkan panglima itu.
"Hm, aku percaya padamu. Kerjakanlah urusan ini secepatnya. Dan beritahu hasilnya. Dan ingat juga! Soal anakmu itu harus segera dituntaskan!"
"Baik, Kanjeng Panglima. Kalau demikian, hamba mohon diri!" sahut Ki Wibisana seraya menghatur sembah. Lalu dia bangkit berdiri dan angkat kaki dari ruangan itu.

132. Pendekar Rajawali Sakti : Misteri Rimba KeramatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang