BAGIAN 7

256 17 0
                                    

Rangga bukannya tidak memikirkan kekhawatiran Ambarini, bila Panglima Balung Geni melihat kehadiran mereka! Ambarini khawatir, akan terjadi pertumpahan darah. Kini tampak Rangga datang menghampiri Ambarini, setelah tadi ditinggalkannya untuk beberapa saat di depan bangunan megah Kadipaten Piyungan. Bibir Rangga tersenyum-senyum, seperti telah mendapat suatu rencana.
"Kenapa Kakang tersenyum-senyum begitu...?" tanya Ambarini.
"Apakah kau lebih suka aku marah...?" sahut pemuda itu menggoda.
"Maksudku, sepertinya ada sesuatu yang dirahasiakan. Atau...."
Bola mata gadis itu agak membesar. Dan meski Ambarini tersenyum mengejek, namun Rangga bisa menduga apa yang hendak dikatakan gadis itu.
"Kau curiga padaku kalau aku memberitahukan mata-mata Panglima Balung Geni untuk menangkapmu dengan mengharap imbalan hadiah?" ledek Pendekar Rajawali Sakti.
"Siapa tahu!"
Belum juga pembicaraan itu berakhir. Rangga dan Ambarini segera berpaling ketika pintu gerbang bangunan megah yang dikelilingi pagar tinggi ini terbuka. Bergegas Pendekar Rajawali Sakti dan Ambarini melompat turun dari kuda masing-masing. Lalu, dihampirinya dua orang pengawal yang berpakaian prajurit menyambut dengan hormat.
"Silakan, Gusti Prabu. Kanjeng Adipati telah menunggu...," kata mereka.
"Terima kasih...," sahut Rangga. Sementara itu dua orang pengurus kuda di kadipaten ini telah membawa kuda-kuda mereka untuk dibawa ke istal di samping istana.
"Kakang...."
"Ssst...!" Rangga memberi isyarat agar gadis itu tidak banyak bicara.
"Kakang! Mengapa mereka kelihatan hormat betul padamu?" tanya Ambarini membandel. Tidak dipedulikan peringatan Rangga.
"Aku hanya memberitahu pada adipati secara diam-diam, agar Panglima Balung Geni tidak mencegat kita. Tapi mana kutahu soal penyambutan ini...," bisik Rangga pelan seraya tersenyum kecil.
Sebenarnya Rangga tadi meninggalkan Ambarini di depan istana kadipaten memang untuk memberitahukan kehadirannya pada Adipati Lokawarman. Dan agar rahasia sebagai Raja Karang Setra tidak diketahui Ambarini, Rangga meminta agar penyambutan itu dilakukan biasa-biasa saja. Tapi nyatanya, apa yang didapat Rangga malah sebaliknya.
Sementara itu dari istana keluar seorang laki-laki setengah baya berpakaian indah. Dia didampingi seorang laki-laki berpakaian panglima dan dua orang laki-laki berusia lanjut. Siapa lagi mereka kalau bukan Adipati Lokawarman, Panglima Balung Geni, dan dua orang penasihat kadipaten. Wajah adipati itu tampak cerah. Namun ketika pemuda berbaju rompi putih itu semakin mendekat, mendadak wajahnya pucat pasi. Demikian pula kedua penasihatnya. Sedangkan Panglima Balung Geni sama sekali tidak mengerti, kenapa Adipati Lokawarman terlihat amat ketakutan. Bahkan malah bersujud bersama kedua penasihatnya, diikuti yang lain.
Memang Kadipaten Piyungan ini masih termasuk wilayah Karang Setra. Tak heran kalau Adipati Lokawarman begitu hormat pada Rangga yang memang sudah dikenalnya. Sedangkan Panglima Balung Geni sendiri belum pernah melihat wajah Raja Karang Setra itu. Dan dia memang tergolong panglima baru di Kadipaten Piyungan.
"Kanjeng Gusti Prabu, maafkan hamba yang hanya menyambut seadanya. Ampuni kesalahan kami...!" ratap Adipati Lokawarman dengan nada memelas.
Sementara itu Ambarini memandang heran. Dia seperti tidak percaya. Tampak pemuda itu menurunkan tangan kanannya, untuk mengangkat bahu Adipati Lokawarman.
"Paman Adipati Lokawarman, bangunlah. Sebaiknya jangan bersikap begitu!" seru pemuda itu dengan suara lembut berwibawa.
"Kanjeng Gusti Prabu, hamba tidak bisa berpura-pura. Hamba siap melayani Paduka!" tegas Adipati Lokawarman cepat seraya mempersilakan tamunya masuk kedalam.
Kemudian laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun itu segera memberi perintah pada bawahannya untuk segera menyiapkan segala perjamuan besar-besaran bagi tamu agungnya. Dan segera ditemaninya Rangga masuk ke dalam disertai kedua penasihatnya. Sementara Panglima Balung Geni yang sejak tadi membisu menundukkan kepala, juga bergegas mengikuti.
"Kanjeng Gusti Prabu, hari ini merupakan kehormatan bagi hamba menerima kedatanganmu. Tapi mengapa Kanjeng Gusti Prabu berpakaian seperti seorang pendekar begini...?" tanya Adipati Lokawarman.
"Apakah aku tidak boleh berpakaian seperti ini?" tanya Rangga seraya tersenyum.
"Ah! Tentu saja Paduka lebih mengetahui maksudnya. Hamba hanya sama sekali tidak menyangka kalau Kanjeng Gusti Prabu yang bakal datang. Dan karena caranya seperti ini, pasti ada sesuatu yang salah pada hamba. Mohon petunjuk, Kanjeng Gusti Prabu...!" ujar Adipati Piyungan ini.
Rangga kembali tersenyum. "Paman Adipati! Tidak sia-sia kau menjabat kedudukan ini. Karena selain cepat tanggap, kaupun berotak cerdik. Tapi nyatanya kau terlalu sibuk dengan urusanmu, sehingga melupakan rakyatmu. Lalu apakah seorang yang bersifat demikian patut menjadi seorang adipati...?"
Wajah Adipati Lokawarman tertunduk lesu dengan keadaan pucat. "Kanjeng Gusti Prabu, mohon petunjuk serta ampunan darimu...!"
"Hm.... Kau tahu, siapa gadis yang bersamaku ini...?"
"Eh?! Hamba pernah dengar sedikit. Apakah dia Gusti Ayu Pandan Wangi...?"
Ambarini yang sejak tadi membisu, tidak mampu berkutik menghadapi keadaan ini. Bahkan semakin kaget lagi ketika menyadari siapa sebenarnya pemuda berbaju rompi putih ini. Dia tidak berani mengangkat wajahnya dan tetap menunduk seribu bahasa. Tidak pernah disangka kalau pemuda yang selama beberapa hari ini berada di dekatnya, adalah penguasa negeri ini.
Sementara Rangga hanya tersenyum mendengar dugaan Adipati Lokawarman. "Bukan. Dia adalah salah satu contoh kesewenang-wenangan bawahanmu!" tandas Rangga.
Mendengar kata-kata Raja Karang Setra ini, Panglima Balung Geni semakin tidak berani mengangkat wajahnya. Dia merasa pasti lambat laun kata-kata pemuda itu akan tertuju padanya. Dan baru disadari kalau pemuda itu adalah Raja Karang Setra.
"Kanjeng Gusti Prabu! Hamba semakin tidak mengerti. Mohon penjelasan Paduka...," desah Adipati Lokawarman.
"Paman Adipati, gadis ini kutolong karena seseorang hendak memaksanya untuk dijadikan istri. Orang tua Ambarini agaknya setuju. Namun gadis ini sama sekali tidak menyukainya. Aku bukan membela, namun tidak menyukai sikap kesewenang-wenangan yang ditunjukkan pemuda yang hendak memaksanya. Tahukah, ternyata bukan hanya pemuda itu yang suka berbuat sesuka hatinya. Melainkan juga ayahnya. Banyak rakyat yang bercerita padaku kalau mereka bagai raja kecil yang berkuasa. Dan orang seperti itu sudah sepatutnya mendapat hukuman setimpal. Coba katakan padaku, hukuman apa yang pantas bagi seorang pejabat yang bertindak sewenang-wenang...?!" tegas Rangga berapi-api.
"Kanjeng Gusti Prabu! Orang itu benar-benar tidak layak dan patut mendapat hukuman berat!" sahut adipati itu cepat.
"Nah! Tahukah kau, siapa orang yang kumaksud?"
Adipati Lokawarman menggeleng. "Tangkaplah panglima-mu ini. Dan hukumlah dia sesuai kesalahannya!"
Mendengar kata-kata Rangga, bukan main kagetnya Adipati Lokawarman. Demikian juga semua orang yang hadir dalam ruangan utama kadipaten. Terlebih-lebih Panglima Balung Geni sendiri. Selama ini Panglima Balung Geni dikenal tegas dan tidak segan-segan menindak mereka yang berbuat salah. Bagaimana mungkin pemuda itu bisa menudingnya demikian? Tapi mana mungkin perintah Raja Karang Setra bisa ditolak. Maka adipati itu langsung memerintahkan para prajurit untuk menangkap Panglima Balung Geni.
"Tangkap Panglima Balung Geni...!"
Semua orang yang berada di ruangan ini serentak menolehkan kepala ke arah Panglima Balung Geni. Sementara, beberapa pengawal telah mulai bergerak, hendak meringkus panglima itu.
"Tidak! Siapa pun yang ingin mampus, boleh coba menangkapku!" sergah Panglima Balung Geni.
Panglima Balung Geni langsung melompat dari kursinya. Pedangnya sudah terhunus dengan sikap mengancam. Wajahnya garang penuh kemarahan. Dan sepasang matanya menatap tajam penuh kebencian pada pemuda berbaju rompi putih yang amat disanjung tinggi oleh semua orang yang ada di kadipaten ini.
Tidak heran bila Panglima Balung Geni berani berbuat gegabah seperti itu. Karena dia yakin, meski seluruh prajurit kadipaten dikerahkan, belum tentu mampu menangkapnya. Panglima ini tahu betul, sampai di mana kekuatan seluruh prajurit kadipaten. Dan meski pemuda berbaju rompi putih ini seorang raja yang berkuasa, tapi kelihatannya biasa-biasa saja kemampuannya. Apalagi kalau sampai bisa menangkapnya. Berpikir demikian tubuh Panglima Balung Geni langsung melompat hendak menangkap Rangga.
"Yeaaa...!"
Namun perhitungan panglima itu agaknya salah besar. Dikira pedang pemuda itu sekadar hiasan belaka. Dan kalaupun memiliki kepandaian, paling hanya seujung kuku. Maka dengan seluruh tenaga dalam yang dimiliki, dia bermaksud menjatuhkan Rangga hanya sekali gebrak. Nyatanya, Pendekar Rajawali Sakti cepat berdiri. Langsung dicengkeramnya kedua tangan panglima itu dengan ketat. Lalu dipelintirnya ke belakang. Dan seketika lutut kanan Rangga menghantam telak ke punggung.
Tap!
"Aaakh...!" Panglima Balung Geni kontan menjerit kesakitan. Tubuhnya jatuh terduduk, dengan mulut meringis.
"Adipati! Beginikah sikap panglimamu? Jika benar dia tidak bersalah, tentu tidak akan keberatan ditangkap. Dan aku tidak pernah menghukum seseorang tanpa alasan yang kuat. Hm.... Panglima ini sudah kelewat batas. Tentukanlah hukuman yang setimpal atas perbuatannya itu!" ujar Rangga sambil tetap memelintir tangan Panglima Balung Geni.
"Ampun, Kanjeng Gusti Prabu. Hamba akan melaksanakan segala titah sebaik-baiknya!" sahut Adipati Lokawarman cepat dengan wajah murka melihat perbuatan panglimanya.
Dengan segera Adipati Lokawarman memerintahkan prajurit-prajuritnya mengambil Panglima Balung Geni yang kini telah ditotok Rangga dengan kuat. Dengan cepat para prajurit meringkus panglima itu dan membawanya ke penjara bawah tanah. Kini suasana kembali tenang, ketika para prajurit yang membawa Panglima Balung Geni menghilang dari ruangan ini.
"Paman Adipati! Sebagai pejabat yang bertanggung jawab terhadap keamanan daerahnya, kau telah gagal menjalankan kewajibanmu. Para rakyat resah. Dan kini terbetik berita kalau daerah di sebelah selatan wilayahmu menjadi ajang perebutan sesuatu yang sia-sia. Manusia mengantar nyawa secara percuma. Tidakkah kau mengetahuinya. Dan di mana tanggung jawabmu?!" tanya Rangga, setelah kembali duduk di kursinya.
"Ampun, Paduka Yang Mulia. Hamba..., hamba mengaku salah...," sahut Adipati Lokawarman dengan wajah semakin pucat dan tubuh gemetar.
"Hm.... Kudengar daerah itu disebut Rimba Keramat. Dan konon belakangan ini banyak orang berdatangan setelah mendengar kabar kalau di sana tersimpan harta karun yang melimpah ruah. Akibatnya sungguh hebat. Karena orang berduyun-duyun untuk mendapat bagian dari harta yang belum tentu benar...," gumam Rangga, seperti bicara sendiri.
"Kanjeng Gusti Prabu.... Hamba baru saja hendak mengerahkan para prajurit untuk membereskan soal itu...," desah Adipati Lokawarman.
"Bagus! Lakukanlah segera!" sahut Rangga sambil tersenyum lebar.
"Baik, Kanjeng Gusti Prabu...!" sahut adipati itu cepat. Namun akhirnya Adipati Lokawarman kebingungan sendiri. Siapa yang akan memimpin para prajurit kadipaten untuk mengamankan daerah itu, jika Panglima Balung Geni telah ditangkap? Tapi Adipati Lokawarman tidak kehilangan akal. Maka langsung dipanggilnya tangan kanan Panglima Balung Geni untuk diberi tugas mengamankan daerah di sekitar Rimba Keramat.
"Kanjeng Gusti Prabu, ampunkan segala kesalahan hamba...," ratap Adipati Lokawarman seraya bersujud beberapa kali, ketika di ruang utama kadipaten ini tinggal Rangga, Adipati Lokawarman, dan Ambarini.
"Paman Adipati. Bangunlah! Tidak patut berbuat begitu sampai berkali-kali. Purnama bulan depan, datanglah ke istana kerajaan. Hari itu aku akan putuskan, apa yang harus kulakukan terhadapmu!" ujar Pendekar Rajawali Sakti.
Adipati Lokawarman segera bersimpuh kembali, dan mengangguk cepat. Sementara Rangga segera berdiri, sambil mengajak berdiri Adipati Piyungan ini dengan menyentuh bahunya. Laki-laki setengah baya itu juga lantas berdiri, dan langsung melangkah ketika Rangga sudah mengayunkan kakinya untuk keluar dari ruangan itu. Langsung disejajarkannya langkah pemuda itu sampai di depan halaman kadipaten ini.
"Jangan lupa! Antarkan gadis ini ke rumah orangtuanya. Dan titipkan pesanku padanya, agar tidak memaksakan kehendak pada anak gadisnya. Ambarini berhak menentukan pilihan sendiri!" lanjut Rangga, langsung menghampiri kudanya yang telah disediakan pengurus kuda istana.
"Baik, Kanjeng Gusti Prabu...."
Sementara itu, Ambarini sudah pula berdiri di samping Adipati Lokawarman. Rangga memandang sejenak ke arah gadis itu.
"Ambarini, kembalilah ke rumah orangtuamu. Hidup di luaran tidak mudah dan banyak ancaman...," ujar Rangga, seraya melompat ke punggung kudanya.
"Baik, Kanjeng Gusti Prabu...," sahut Ambarini, tanpa mengangkat wajahnya sedikit pun. Nada suaranya halus dan pelan sekali. Bahkan nyaris tidak terdengar.
"Syukurlah. Rukun-rukunlah bersama orangtuamu. Nah! Aku pergi dulu...," pamit Rangga seraya menghela kudanya. Seketika kuda hitam bernama Dewa Bayu melesat kencang dari tempat itu, meninggalkan beribu pertanyaan yang tidak bisa dijawab oleh mereka yang berada d situ. Terlebih-lebih, bagi Ambarini dan Adipati Lokawarman sendiri.
Ambarini tidak menyangka kalau pemuda yang beberapa hari ini bersamanya dan diam-diam telah memikat hatinya, adalah penguasa negeri ini! Siapa yang bisa menahan kejutan begitu hebat? Padahal di hatinya semula penuh dengan bunga-bunga. Dan kini... terasa sepi, kosong, lalu hening!
Sementara Adipati Lokawarman sendiri merenungi nasibnya. Apa yang akan diterimanya nanti? Berapa lama dia akan menjabat sebagai adipati? Mimpi apa dia, sehingga semua ini berlangsung begitu mendadak?

***

Peristiwa yang terjadi di Rimba Keramat memang sangat santer. Berapa banyak tokoh persilatan yang tewas sia-sia memperebutkan harta karun yang belum terbukti keberadaannya. Dan hal itu tak membuat surut nyali mereka. Bahkan semakin banyak tokoh persilatan yang berkumpul untuk mengadu nasib. Malah tidak jarang di antara sesama turut berkelahi, untuk memperebutkan kesempatan lebih dulu masuk ke dalam Rimba Keramat.
Kini tampak dua orang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun melompat ringan di antara cabang pepohonan di dekat Rimba Keramat. Dan kedua orang itu adalah sekian dari banyaknya tokoh persilatan yang hendak memburu harta karun di Rimba Keramat. Tak ada seorang pun yang tahu apa yang mereka lakukan. Ilmu meringankan tubuh yang mereka pergunakan luar biasa. Padahal beberapa tokoh persilatan yang banyak berkumpul di dekat Rimba Keramat ini bukan orang sembarangan. Rata-rata mereka telah memiliki nama besar di kalangan persilatan.
Yang seorang bersenjata tongkat baja berujung lancip. Kelihatan tak ada yang aneh dengan senjatanya. Di kalangan rimba persilatan, orang ini bernama Sadewa. Sementara itu, kawannya yang melesat di sebelahnya memiliki kumis agak tebal. Wajahnya gagah. Tangannya memegang batang bambu kuning sepanjang lima jengkal. Seperti Sadewa, senjata yang digenggamnya lebih mirip pikulan. Orang ini dikenal bernama Sudewo. Meski memiliki nama yang hampir mirip, tapi mereka bukanlah saudara kembar. Kalangan persilatan mengenal mereka sebagai Iblis Tunggal Bermuka Dua. Karena ke mana-mana mereka selalu berdua. Begitu juga kalau tengah bertarung.
"Biarkan saja mereka saling membunuh satu sama lain. Mereka memang orang-orang tolol yang tidak punya otak!" desis Sadewa, seraya menyeringai lebar.
Memang dia telah mendengar kalau beberapa orang mulai saling bunuh satu sama lain untuk memperebutkan harta karun yang belum lagi diperoleh.
"Hihihi...! Keledai-keledai dungu yang malang. Mereka kira bisa memiliki harta pusaka itu...," sahut Sudewo.
"Hati-hati, Sudewo! Jangan sampai kelima penunggu Rimba Keramat ini mengetahui kehadiran kita. Pasang pendengaranmu tajam-tajam, lalu kerahkan ilmu 'Cecak Terbang' pada tingkat tertinggi...!" Sadewa memperingatkan.
"Beres. Jangan khawatir...!"
Pada suatu tempat yang tidak begitu luas di tengah Rimba Keramat, mereka berhenti melesat. Lalu, mereka melayang turun dengan ringan. Keduanya memperhatikan ke sekelilingnya. Dan setelah mengetahui keadaan telah aman, maka Sadewa melangkah mendekati pohon beringin yang tidak jauh dari tempat itu. Ditelitinya satu persatu akar-akar yang menonjol di permukaan tanah. Lalu ketika menemukan sebuah akar yang berbentuk busur, diperhatikannya sejenak ke kanan pada jarak tiga langkah. Kemudian, mereka sama-sama berjongkok, dan meraba akar-akar itu.
"Kau yakin ini tempatnya?" tanya Sudewo ragu.
"Jangan khawatir, Sobat. Masa kanak-kanakku banyak kuhabiskan di hutan ini, sebelum ayahku terbunuh. Dari beliaulah aku tahu tentang harta karun itu," sahut Sadewa.
Bola mata Sudewo berbinar gembira mendengar jawaban kawannya. "Hm.... Guru tentu akan gembira bila kita memberikan sebagian harta itu padanya. Bukankah kau ingin sekali membalas budi kebaikannya yang telah mengangkatmu menjadi murid, setelah sekian tahun menjadi gembel? Heh?! Aku tidak sabar untuk melihat harta itu. Tapi apakah benar-benar harta itu ada? Apakah dulu semasa ayahmu hidup kau pernah melihatnya?" kata Sudewo.
Sadewa menggeleng lemah, sambil menarik akar yang lebih kecil perlahan-lahan. Dan tiba-tiba pada jarak tiga langkah di sebelah kanannya terlihat tanah melesak ke dalam, bagaikan ruang bawah tanah yang memiliki dua daun pintu.
Sadewa buru-buru menghampiri langsung dikuaknya lubang itu lebih lebar. Kini tampak sebuah lubang sedalam satu kaki, di bawah dua buah daun pintu yang terbuat dari batu setebal setengah jengkal. Dengan terburu-buru tangan kanannya merogoh ke dalam. Dan seketika wajahnya berbinar girang, ketika berhasil menggapai sebuah peti kecil. Begitu tangannya dibawa keluar, tampak sebuah kotak kecil berukir seluas satu kali satu setengah jengkal. Tebalnya setengah jengkal.
"Ha ha ha...! Akhirnya harta ini akan kita miliki juga...!" teriak Sadewa kegirangan, seraya bangkit berdiri.
"Ayo, lekas kita kembali dan keluar dari sini!" ajak Sudewo.
"Pergilah kau lebih dulu, Sudewo...," ujar Sadewa sambil terus memperhatikan peti dalam genggamannya.
"Heh? Lalu, apa yang akan kau lakukan di sini?" tanya Sudewo, heran.
"Aku...." Sadewa terdiam sejenak, "Aku ingin mengenang arwah ayahku lebih dulu...."
"Hm.... Kalau begitu, biarlah kutemani!" sahut Sudewo cepat.
"Tidak! Aku ingin sendiri. Pergilah kau lebih dulu, nanti aku akan menyusul."
"Tapi...."
"Tidak apa-apa. Aku bisa menjaga diriku sendiri...."
"Sadewa! Kelima orang itu amat berbahaya. Apalagi, kalau mereka memergokimu. Kau akan kewalahan menghadapi mereka berlima...," wajah Sudewo tampak cemas.
"Percayalah, aku bisa mengatasi mereka. Nah, pergilah cepat!"
"Baiklah...," sahut Sudewo dengan berat hati.
Sudewo sama sekali tidak menyadari niat jahat Sadewa yang mulai menari-nari, ketika peti itu telah ditemukannya. Memang sebenarnya Sadewa sendiri yang akan memiliki peti itu sendiri. Dan mereka tidak akan pernah kembali ke tempat yang telah ada dalam perjanjian mereka semula. Dengan demikian terlintas dalam benaknya untuk menguasai harta itu seorang diri.

***

132. Pendekar Rajawali Sakti : Misteri Rimba KeramatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang