BAGIAN 2

303 16 0
                                    

Dia memang Rangga, yang di kalangan persilatan lebih terkenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti.
"Hm. Rangga.... Di mana pernah kudengar nama itu?" tanya Aditya seperti untuk diri sendiri sambil mengingat-ingat.
Aditya terus berusaha mengingat-ingat. Telunjuknya sampai di tempelkan dikeningnya. Namun sudah demikian berusaha, tetap tidak berhasil. Akhirnya dia memang menyerah.
"Baiklah. Aku memang tidak mengenalmu. Rangga. Kepandaianmu cukup hebat. Tapi itu bukan ukuran kalau kau hendak nekat mencampuri urusan orang. Pergilah! Dan jangan campuri urusanku!"
"Kisanak! Gadis itu jelas tidak suka perlakuanmu. Tapi masih saja berkeras kalau tindakanmu benar. Dan aku tak bisa membiarkannya begitu saja," sahut Rangga tenang.
"Kau lihat orang-orang? Mereka diam saja tanpa berani mengusik, karena tahu kalau tindakanku benar!" kilah Aditya.
"Mereka diam karena takut, bukan karena membenarkan tindakanmu!" balas Rangga.
"Setan! Menyingkirlah kalau tidak kau akan berurusan dengan prajurit kadipaten. Dan kau bisa dihukum berat karena hendak melarikan calon istriku!"
"Hm, calon istrimu? Menarik sekali...," gumam Rangga sambil tersenyum kecil.
"Bohong! Siapa sudi menjadi istrimu?! Phuih! Pemuda ceriwis! Seenaknya saja berkata begitu. Aku tidak sudi menjadi istrimu! Aku tidak sudi! Turunkan aku! Turunkaaan...!" teriak Ambarini yang masih dalam bopongan Aditya. Nada suaranya terdengar geram sambil memaki berulang kali.
"Kau dengar sendiri? Dia sama sekali tidak sudi menjadi istrimu. Nah bukankah ini namanya pemaksaan?" kata Rangga tenang seraya tersenyum mengejek.
"Bedebah! Mulutmu memang harus kurobek, baru kau akan diam!" geram Aditya seraya menurunkan tubuh Ambarini. Kemudian dia mengambil ancang-ancang untuk menyerang.
"Kisanak! Jangan paksa aku. Lebih baik, pikirkanlah tindakanmu...," Rangga memperingatkan.
"Yeaaa...!"
Namun Aditya tidak mempedulikannya lagi. Sebagai jawabannya, langsung kepalan tangan kanannya disodokkan ke arah dada Pendekar Rajawali Sakti. Cepat bagai kilat Rangga mengegoskan tubuhnya ke kiri, seraya memapak pukulan itu disertai pengerahan tenaga dalam lumayan. Serangan pertama Aditya dapat ditangkis dengan mantap oleh Rangga. Dan belum juga dia melancarkan serangan kembali, kaki kanan Pendekar Rajawali Sakti cepat menekuk dan disodorkan ke perut Aditya.
Desss!
"Aaakh...!" Pemuda berbaju mewah itu kontan menjerit kesakitan. Tubuhnya jadi tertekuk dan terjajar beberapa langkah dengan wajah berkerut menahan nyeri. Namun karena merasa malu dan penasaran, dia kembali menyerang Pendekar Rajawali Sakti dengan hantaman tangan kanan ke leher.
Rangga sedikit menggeser tubuhnya ke kiri sambil menangkis kepalan tangan yang mengarah ke lehernya. Dan seketika itu juga pergelangan tangan kanannya langsung menyodok ke arah dada. Begitu cepat gerakannya. Sehingga....
Dess!
"Aaakh...!" Kembali Aditya terjungkal sambil menjerit kesakitan begitu pergelangan tangan Pendekar Rajawali Sakti mendarat di dadanya, hingga terasa nyeri bukan main. Dia langsung terjungkal ke tanah, namun cepat bangkit kembali. Tampak wajahnya meringis dengan langkah terhuyung-huyung.
"Kenapa kalian diam saja, heh?! Hajar dia...!" bentak Aditya pada kelima pembantunya, sambil menunjuk Pendekar Rajawali Sakti.
Meski nyali ciut dan wajah takut-takut, namun kelima laki-laki bertampang seram itu tidak berani membantah. Mereka langsung menyerang Rangga dengan senjata terhunus.
"Yeaaa...!"
"Hm...." Rangga mendengus pelan. Tubuhnya langsung melenting sambil berputaran dua kali. Kepalanya ditekuk sedemikian rupa untuk menghindari sebuah tebasan senjata, sementara tangan kirinya menghantam ke arah pergelangan tangan lawan. Dan pada saat yang bersamaan, kedua kakinya berputar cepat sekali menghantam lawan-lawannya yang lain.
Duk! Tak! Des!
"Aaakh...!"
Kelima orang itu kembali terjungkal sambil menjerit kesakitan. Tubuh mereka terjerembab sejauh lima langkah dari Pendekar Rajawali Sakti. Sebagian berusaha bangkit kembali, meski menahan rasa sakit yang hebat. Sedang dua orang di antaranya menggelepar-gelepar kesakitan.
Sementara penduduk desa yang menyaksikan pertarungan sampai berdecak kagum sekaligus merasa khawatir. Tapi Rangga sendiri tenang-tenang saja seraya menepis-nepis debu yang melekat di tubuhnya. Malah dia langsung menghampiri Ambarini untuk membebaskan totokan.
"Nisanak, kini kau bebas. Dan sebaiknya pergilah dari sini secepatnya...," ujar Rangga begitu selesai membebaskan totokan ditubuh Ambarini.
Setelah berkata demikian. Pendekar Rajawali Sakti berbalik. Kakinya lantas menghampiri kuda hitamnya yang tertambat di depan kedai. Dan dengan gerakan indah sekali. Rangga melompat ke punggung kuda yang bernama Dewa Bayu. Lalu dengan tenang sekali. Dewa Bayu digebah perlahan-lahan pergi dari tempat itu.
"Kisanak! Urusan kita belum selesai! Kau akan merasakan balasannya nanti...!" teriak Aditya mengancam, ketika Rangga belum jauh berkuda.
Pendekar Rajawali Sakti langsung menghentikan Dewa Bayu. Kemudian kepalanya menoleh ke belakang seraya tersenyum kecil. "Kau boleh mencariku kapan saja suka. Atau silakan menangkapku dengan bantuan seluruh prajurit kadipaten ini," sahut Rangga enteng. Lantas kembali Dewa Bayu digebah untuk melanjutkan perjalanan.
Aditya hanya bisa memaki sambil menghentak-hentakkan kaki. Pemuda itu tidak mampu berbuat apa-apa untuk mencegah kepergian Rangga. Dan saat ini, rasa malu yang amat sangat harus ditanggungnya. Putra panglima kadipaten yang selama ini dihormati, ditakuti, dan tidak pernah sekali pun ada yang membantah kata-katanya, harus mengalami kejadian pahit. Dipermalukan di depan orang banyak oleh seorang pemuda yang sama sekali tidak dikenalnya.
Bahkan ketika Ambarini melompat ke punggung kudanya dan memacunya dengan kencang, Aditya tidak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya bisa memandang dengan sinar mata menyorot tajam. Arah yang dituju gadis itu jelas mengejar pemuda berbaju rompi putih yang telah menolongnya.
Rangga tidak berusaha mempercepat atau memperlambat lari Dewa Bayu ketika tahu sedang dibuntuti gadis yang ditolongnya. Hanya bibirnya saja yang tersenyum kecil. Sebenarnya kalau mau, Pendekar Rajawali Sakti bisa memacu kudanya bagai lesatan anak panah. Karena kuda yang ditunggangi memang bukan sembarangan. Lama Rangga menunggu, ternyata tidak ada yang ingin diperbuat Ambarini. Dia hanya mengikuti saja.
"Heaaa...!" Tiba-tiba Rangga menghela kudanya dengan lebih kencang. Dan ternyata gadis itu berbuat sama. Namun kuda yang ditunggangi Pendekar Rajawali Sakti adalah Dewa Bayu. Jadi mana mampu kuda yang ditunggangi Ambarini bisa menyejajarkan. Maka ketika kuda Dewa Bayu berlari semakin kencang, gadis itu terkesiap. Dalam sekejap, dia telah kehilangan jejak dan tidak tahu ke mana lenyapnya pemuda itu.
"Hm, ke mana dia...?" gumam Ambarini dalam hati sambil mengedarkan pandangan kesekeliling.
Beberapa saat gadis itu menghentikan langkah kudanya. Matanya lantas terpaku pada jejak-jejak tapak kuda di tanah. Dan kembali kudanya dijalankan pelan-pelan, menelusuri jejak yang ada di hadapannya. Tapi semakin jauh ditelusuri maka semakin jauh pula dia dari kampung halamannya. Kemudian kudanya dihentikan, karena tahu-tahu saja jejak di hadapannya menghilang. Dan belum juga bisa berpikir lebih jauh....
"Nisanak, apa sebenarnya yang kau cari...?" Tiba-tiba terdengar sebuah suara dibelakang gadis itu.
"Hei...?!" Gadis itu terkejut dan segera memalingkan muka ke kanan. Tampak di kanannya berdiri tenang seorang pemuda berbaju rompi putih yang telah menolongnya.
Pemuda itu tersenyum kecil, lantas menghampiri sambil menuntun kudanya. "Apakah yang kau cari? Barangkali aku bisa membantu...?" sapa Rangga ramah.
"Eh, tidak. Tidak ada apa-apa!" sahut Ambarini cepat dengan wajah bersemu merah, menahan malu.
"Hm.... Kau berada cukup jauh dari rumahmu. Ini sangat berbahaya...."
"Aku memang tidak ingin kembali ke rumah!" sahut Ambarini cepat.
"Jadi kau ingin kabur?"
"Begitulah...."
"Tentu ada alasannya, bukan?"
Gadis itu terdiam tidak menjawab seraya memalingkan muka ke arah lain.
"Maaf, kalau kata-kataku menyinggung perasaanmu...."
"Tidak. Tidak apa-apa...."
"Sebenarnya apa urusanmu dengan pemuda tadi? Benarkah kau ini calon istrinya...?" tanya Rangga mencoba mengalihkan perhatian.
"Ceritanya panjang...," desah Ambarini, lalu memandang Rangga dengan sayu, "Kisanak. Terima kasih atas pertolonganmu tadi...."
"Sudahlah. Lupakan saja...."
"Tapi kini kau akan menjadi buronan mereka. Panglima Balung Geni tentu tidak akan tinggal diam setelah tindakanmu pada putranya...," sahut gadis itu cemas.
"Mungkin sudah takdir Hyang Widhi kalau itu menjadi urusanku. Mereka boleh melakukan apa saja yang disukai...."
"Orang-orang itu kejam dan tidak segan-segan berbuat seenaknya. Kau tentu akan celaka!" jelas Ambarini dengan wajah semakin cemas.
"Kenapa harus takut? Hidup mati seseorang ada di tangan Sang Hyang Widhi," sahut Rangga enteng.
Ambarini menggeleng lemah, seperti tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Dia jadi berpikir, apakah pemuda ini tidak waras? Atau barangkali bosan hidup? Ambarini kembali menghela napas pendek. Jelas para prajurit kadipaten saat ini tengah mencari pemuda di depannya atas perintah Panglima Balung Geni. Dan.... Dirinya adalah pokok pangkal persoalan ini. Jadi mana bisa membiarkan pemuda yang menolongnya ini sengsara seorang diri.
"Kisanak! Sebaiknya kita pergi jauh-jauh dari tempat ini!" usul Ambarini mengingat hal itu.
"Pergi? Ke mana...? Lagi pula, kenapa harus kita? Aku sendiri bisa pergi ke mana saja...," sahut Rangga.
"Tidakkah kau mengerti kalau jiwamu terancam?" kata Ambarini dengan wajah kesal.
Rangga tersenyum kecil. "Nisanak, setiap saat jiwaku terancam. Rasanya, kau tak perlu mencemaskan diriku. Nah, aku permisi dulu. Kau boleh pergi ke mana saja yang kau suka...," ujar Rangga tanpa maksud menyombongkan diri. Pendekar Rajawali Sakti segera melompat ke atas punggung kudanya. Langsung digebahnya Dewa Bayu perlahan-lahan.
Gadis itu segera mengikuti dari belakang ketika Rangga menjalankan kudanya baru beberapa tindak. Terpaksa langkah Dewa Bayu dihentikan. Dan kepalanya langsung menoleh ke arah Ambarini.
"Nisanak, apakah kau tidak punya tujuan lain...?" tanya Rangga.
Gadis itu menggeleng lemah. "Tapi kau tidak bisa mengikuti aku terus-menerus!" agak keras suara Rangga.
"Aku tidak mengikutimu!" sahut gadis itu ketus ketika merasa harga dirinya tersinggung. Sikapnya jadi langsung berubah terhadap pemuda itu.
"Baiklah kalau begitu...." Rangga langsung menghela kudanya agar berlari kencang.
Gadis itu hanya mendengus sinis. Dan ketika dilihatnya pemuda itu telah menjauh, segera diikutinya dari belakang. Namun seperti tadi, Ambarini tidak mampu mengikutinya. Bahkan beberapa saat kemudian, pemuda itu telah lenyap dari pandangannya. Gadis itu kembali mendesah kesal dan memaki berkali-kali. Lalu diteruskan saja kudanya melaju ke arah yang tidak menentu.
***

Hari telah malam ketika sebuah rombongan orang berkuda berada di tepi Hutan Rimba Keramat. Seorang yang berada di depan, dan agaknya menjadi pimpinan rombongan, memberi isyarat pada keempat kawannya.
"Kita berhenti dan bermalam di sini saja...," ujar laki-laki tinggi yang menjadi pemimpin rombongan, seraya melompat turun dari punggung kudanya, diikuti yang lainnya.
"Tapi Ki Brantas! Kita toh sudah menyelidiki tempat ini. Dan lagi, apakah tempat ini aman bagi kita...?" tanya seorang kawannya, dengan wajah curiga seraya memandang ke sekeliling.
Laki-laki bertubuh besar berpakaian serba hijau yang dipanggil Ki Brantas itu tertawa lebar. "Sobali, apakah kau mulai takut, heh?" ledek Ki Brantas yang berusia setengah baya ini.
"Bukan begitu, Ki. Tapi firasatku mengatakan kalau tempat ini tidak aman...!" kilah Sobali. "Bukan begitu, Jalung?"
"Betul, Ki. Aku pun merasakan hal yang sama...!" timpal orang yang dipanggil Jalung.
Ki Brantas memandang mereka berdua dengan wajah tidak percaya. "Sobali dan kau, Jalung! Kita adalah orang bayaran. Apakah ada sejarahnya kalau orang bayaran takut dengan maut?" balas Ki Brantas.
"Bukan begitu, Ki. Tapi ini soal lain...!" sahut Sobali.
"Soal apa? Hantu? Sudahlah! Jangan mengada-ada. Sudah puluhan kali aku keluar masuk hutan, tapi tidak pernah bertemu hantu. Sebaiknya, kalian cari kayu-kayu kering untuk api unggun. Dan aku akan menguliti hewan-hewan yang berhasil kita tangkap untuk makan malam nanti...," ujar Ki Brantas, mencoba menepis semua bayangan-bayangan kecemasan di hati kedua kawannya. Sementara dua orang kawan mereka yang lain hanya terdiam, seperti mendukung kata-kata Ki Brantas.
Sobali dan Jalung terdiam beberapa saat, kemudian melangkah pelan mencari ranting-ranting kering yang bisa dipungut di sekitar tempat itu. Sementara Ki Brantas dan dua orang laki-laki yang sama-sama memakai baju hitam itu mengeluarkan daging kelinci dan ayam hutan yang tadi berhasil diperoleh.
Di lain tempat, tidak jauh dari Ki Brantas dan dua orang berpakaian hitam itu berada, Sobali dan Jalung mulai mengumpulkan kayu-kayu kering. Dan ketika Sobali hendak melangkah mengambil sepotong kayu lagi....
Set!
"He, apa itu?!" sentak Sobali tiba-tiba, ketika pandangannya melihat sesuatu berkelebat cepat di depannya.
"Kau pun melihatnya, Sobali?!" tanya Jalung. Sobali tidak menjawab. Dan pandangannya langsung terarah pada kawannya itu dengan wajah tegang. Demikian pula halnya Jalung. Tanpa sadar, mereka melangkah mundur perlahan-lahan. Dan baru saja mereka melangkah beberapa tindak....
"Ha ha ha...!" Terdengar suara ketawa menggema, lalu disusul tawa yang lain pada arah berlawanan. Bahkan kemudian, kembali bersambung dengan suara tawa lain lagi dari berbagai arah.
"Hei?!"
"Apa itu?!"
Tidak hanya Sobali dan Jalung yang kaget setengah mati. Malah Ki Brantas dan dua orang kawannya sampai bangkit berdiri. Mereka semua memandang ke segala arah, namun tidak ada satu pun yang bisa dilihat selain kegelapan malam, serta dedaunan dan ranting-ranting pohon yang bergoyang-goyang ditiup angin. Sesekali terdengar kelebatan kelelawar yang melayang cepat, dan nyaris menyambar ke arah mereka.
"Siapa itu...?!" bentak Ki Brantas garang.
Blep! Blep!
"Awas serangan gelap...!" teriak Ki Brantas memperingatkan, ketika mendadak berkelebat beberapa sinar keperakan berhawa panas ke arah mereka. Kelima orang itu cepat melompat menghindar.
"Hup!"
"Hiiih...!" Baru saja menjejak tanah, kembali terasa ada serangan gelap mengancam mereka. Terpaksa mereka kembali berlompatan menyelamatkan diri sebisanya. Dari gerakan yang ringan dan gesit, bisa diduga kalau mereka bukanlah orang sembarangan. Namun menghadapi serangan seperti itu, mereka sempat dibuat kewalahan juga. Dan buktinya....
Tup!
"Aaa...!" Tiba-tiba salah seorang memekik kesakitan sambil memegangi tengkuknya ketika seberkas sinar keperakan menghantamnya. Sementara yang lain menjadi bingung. Sebab orang itu sama sekali tidak terluka. Begitu secara cepat tubuhnya membiru. Kemudian kaku tidak bergerak. Mati!
"Gila! Si Warsito terkena senjata rahasia beracun! Hati-hati...!" desis Ki Brantas geram seraya memperingatkan ketiga kawannya. Dan belum lagi kering kata-kata Ki Brantas, mendadak kembali berkelebat dua sinar keperakan ke arah mereka.
"Yeaaa...!" Ki Brantas mencoba menangkis dengan busur di tangan.
Trak!
"Aaakh...!" Seketika senjata itu patah menjadi empat bagian. Bahkan Ki Brantas sendiri jadi menjerit kesakitan, karena sebuah sinar keperakan luput dari tangkisannya. Bahkan langsung menyambar perutnya.
"Aaa...!" Jerit kesakitan kembali terdengar. Kali ini dialami kawannya yang berbaju hitam. Dan kedua orang itu ambruk tanpa dapat dicegah lagi. Tubuh Ki Brantas dan kawannya yang seorang lagi membiru. Dan mereka langsung kaku tak bernyawa lagi.
"Celaka! Kita tidak akan bisa selamat. Lebih baik cepat pergi dari sini!" teriak Sobali. Bergegas dia berlari ke arah kudanya. Dan dengan gerakan cepat melompat ke punggung kuda dan terus menggebahnya meninggalkan tempat itu.
Demikian juga Jalung. Dia tidak mau tewas secara aneh sekaligus mengerikan. Dan memang, mereka tidak tahu harus berhadapan dengan siapa.
"Heaaa...!"
"Ha ha ha...! Begitu lebih baik kalau ingin selamat. Rimba Keramat bukan milik semua orang. Dan tidak sembarangan bisa masuk ke sini. Menjauh, berarti melepaskan diri dari malapetaka...!"
Tiba-tiba terdengar suara menggema yang nyaring, memantul ke segala arah. Sobali dan Jalung bukannya tidak mendengar. Namun mereka terus memacu kencang kudanya, ke mana saja asal selekasnya menjauh dari tempat itu.

***

132. Pendekar Rajawali Sakti : Misteri Rimba KeramatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang