Pusat perbelanjaan ramai oleh pengunjung. Deretan toko, mini market, dan stand, dipenuhi pelanggan asyik memilih barang yang ditawarkan. Penjual terlihat sibuk melayani.
Remaja bersurai bluenette sebahu duduk di kursi yang disediakan dalam suatu butik. Mata cobalt-nya mengamati sekeliling. Dimana orang-orang dewasa memadati area butik. Mondar-mandir memilah baju dari rak untuk dicoba dan dibeli.
Aguero mengajak Baam kemari membeli beberapa setel pakaian ukurannya. Tidak sulit menemukan model yang serasi buatnya. Kini anak brunette itu sedang berkutat di ruang ganti.
Seorang pelayan toko menghampirinya. “Tuan Muda Khun, teman anda memanggil,” haturnya tersenyum sopan.
Tanpa balas, Aguero bangkit menuju ke arah ruang ganti. Para pengunjung yang melihatnya segera menyingkir memberi jalan. Ia merasa beruntung, berkat identitasnya yang mudah dikenali—rambut dan mata biru identik, ciri khas keturunan Khun, salah satu dari 10 keluarga besar penguasa menara—Aguero menjadi sosok yang diprioritaskan keberadaannya. Kemanapun ia pergi, mereka yang mempunyai derajat lebih rendah darinya langsung menghormati serta meladeninya sebaik mungkin. Aguero sangat disegani. Selama masyarakat ini tidak mengetahui kalau ia sudah dibuang dari keluarganya akibat kegagalannya.
“Khun!”
Aguero mendapati Baam berdiri di ambang pintu. Dia mengenakan kaos hitam turtleneck, dilapisi trench coat biru dongker panjang, celana pendek gelap, juga sepasang sepatu kets. Penampilan kasual. Memeluk pas tubuhnya.
“Baju itu cocok untukmu, Baam,” puji Aguero mengulas senyum.
Baam mengangguk tersenyum riang. Menepuk dadanya senang. “Nyaman.”
Terkekeh geli, Aguero mendekat. “Kau sudah mencoba yang lain? Bagaimana mereka?” tanyanya menilik kondisi dalam ruang ganti.
Baam menggestur ada sejumlah baju yang dia sukai dan tidak. Yang dipilihnya diletakkan di atas kursi. Sementara yang tak disukainya, dibiarkan teronggok di lantai. Tersebar berantakan.
Aguero menghardik. “Baam, kau tidak boleh melempar mereka sembarangan begitu. Kalau kotor atau rusak, kita harus menggantinya.”
Baam memasang wajah bersalah.
Aguero mendesau. “Lain kali dibereskan lebih rapi, ya,” sambungnya menepuk bahu kawannya. Sebenarnya ia tak masalah jika bayar ganti rugi. Toh, tabungannya berlimpah. Koneksinya menjamin segala kebutuhannya. Katakan ia sombong, tapi begitulah kenyataannya.
Baam bantu memungut baju dari lantai. Dia memperhatikan Aguero melipatinya, lalu menirukan hati-hati.
Setelah selesai, laki-laki berambut coklat gelap menyadari Khun masih memakai setelan awal ketika keluar apartemen. Hem putih berbalut mantel biru muda berhias bulu di leher, celana pendek abu-abu, serta sepatu boots.
“Khun, tidak beli?” tanyanya.
“Ooh, tidak, Baam,” Aguero menggeleng. “Bajuku sudah banyak. Kau yang lebih membutuhkannya.”
Usai memastikan kembali yang mana pilihan Baam, Aguero memanggil pelayan toko untuk membungkusnya. Ia menuju kasir menyelesaikan pembayaran. Selagi Baam mengikuti pelayan, menunggui barangnya dikemas agar mudah dibawa.
Keluar dari butik menenteng sejumlah tas belanja, Aguero menuntun temannya ke cafe tak jauh dari situ. Karena belum sarapan, ia mengajak Baam makan. Mencoba menu yang berbeda dari kemarin.
Aguero mengajari Baam memesan pada pelayan. Cara menghitung uang sesuai jumlah yang diperlukan. Juga membaca resep untuk memastikan pembayaran sudah tepat.
KAMU SEDANG MEMBACA
CITRINE (HIATUS)
RandomBagaimana jika Khun yang menemukan Baam dalam gua? Bukan Rachel. Lalu seperti apa kisahnya? Inilah cerita perjalanan mereka. Boys Love, AR, Action, OOC!