2nd star

2.3K 297 24
                                    

“... Baam.”

Suara serak lirih. Tapi berkata lancar meski terselip nada keraguan. Anak misterius yang mengenalkan diri sebagai Baam, kembali menunjuk Aguero.

“... Khun.”

‘Oh, dia cepat tanggap,’ Aguero tersentak. Padahal ia mengira akan susah mengajarinya. “Ya, kau boleh memanggilku Khun.”

“Khun, Aguero...”

Baam menautkan alis mencoba mengingat. Tapi lupa. Dia meneleng. Berekpresi memelas.

Aguero tersenyum melihat raut muka bingungnya yang manis. “Pfft, Khun Aguero Agnis. Ingatlah dengan baik, Baam,” ujarnya sebelum tertawa pelan.

“Khun, Aguero Agnis...” Baam mengetes ulang.

Bocah berambut biru ponytail mengangguk.

Bibir pucat Baam mengulas senyum tipis. Mata emasnya kini berbinar senang. “Khun Aguero Agnis...”

“Benar,” puji Aguero. “Namamu enak ya, seperti kue chestnut.”

Baam mengedip linglung.

“Aah, baiklah. Aku akan mengajarimu,” kata Aguero bersemangat. Entah kenapa ia menjadi antusias.

Aguero menggapit tangan Baam. Menariknya turun dari puncak batu. Ia mengambil ranting pohon yang tergeletak di tanah. Berjongkok, menyuruh Baam mengikuti arahannya. Aguero meletakkan ujung ranting yang dipegangnya ke permukaan lantai gua. Mulai menulis barisan karakter huruf.

“Kita mulai dari hal dasar. Kau perlu memahami huruf untuk baca dan menulis, serta berkomunikasi,” kata remaja bluenette.

Ia melafal berulang kali kepada Baam. Melatihnya berbicara pelan-pelan. Bocah brunette memperhatikan lekat, sebelum menirukan gerakan bibirnya.

Tak lama setelah mencapai vocal yang lumayan terbentuk, Aguero mengajak Baam mengeja sedikit cepat. Sesekali memperjelas pada pengucapan huruf vital. Baam menstabilkan nada sambil merujuk karakter yang disebutkannya. Cukup sering dia mengenyit dahi karena berusaha mengingat-ingat.

Aguero tersenyum mengamati betapa seriusnya Baam belajar. Reaksi wajah yang terbingkai poni panjang, serta sorotan lugu matanya, bagai anak kecil yang polos. Ia sendiri heran, bersedia sabar mengajari orang asing tanpa imbalan setimpal. Padahal dulu Aguero tidak peduli pada nasib siapapun selain dirinya.

‘Oh, aku bukannya peduli pada anak ini. Hanya kurasa, dia bisa kumanfaatkan nanti,’ batin Aguero.

Berpikir bahwa ia perlu sekutu untuk membantunya mencapai lantai tertinggi menara. Serta melenyapkan para musuh Zahard demi menyelesaikan taruhan. Mungkin Aguero akan membawa Baam bersamanya masuk menara.

Tak terasa, cahaya terang dari lubang yang menyinari ruang gua berubah menjadi remang. Khun cilik melihat langit sudah petang. Ternyata telah lama mereka belajar sampai lupa waktu. Ia harus kembali. Tapi bagaimana caranya keluar dari sini? Memanjat ke atas bukan opsi tepat lantaran tadi jatuh tergelincir. Ia melirik ke lorong gua seberang danau. Bisa saja mereka berjalan menelusurinya, tapi apa ujungnya nanti membawa keluar kota? Tidak, terlalu riskan. Bagaimana kalau ada sarang monster di sana? Tapi Baam hidup disini, berarti dia paham wilayah ini.

Tidak. Sebaiknya Aguero bermalam di tempat ini hingga pertolongan datang. Mata cobalt-nya bergulir pada Baam. “Kau tidur dimana biasanya?”

Baam menatapnya diam.

‘Aah, ya. Aku belum mengajarinya menyusun kata. Meski ia lumayan paham maksudku,’ teringat Aguero menepuk keningnya.

CITRINE (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang