Sebelas

2.1K 55 2
                                    

“Permisi, saya mau menumpang ke kamar mandi," ujar Danar seraya melintas. Namun, caranya menatapku sungguh menyeramkan. Apa dia mendengar percakapanku dengan Ibu?

“Oh, silakan Danar. Anggap saja rumah sendiri,” sahut Ibu.

“Ibu, Reyna ke depan dulu, ya.” Bergegas aku meninggalkan Ibu, menuju ruang tamu di mana Ayah berada. Namun, sesampainya di sana, tak kutemukan sosok yang kucari. Hanya ada dua cangkir kopi yang isinya tinggal separuh di meja.

Melangkah ke luar, mencari keberadaan pria yang kuhormati itu. Ternyata Ayah ada di teras tengah menyusun buah di gerobak rujak. “Mau berangkat, Yah?”

“Iya, Rey. Nanti habis makan langsung berangkat.”

“Kenapa tidak libur dulu saja. Kan sedang ada Reyna di rumah,” rajukku.

“Buahnya sudah telanjur dibeli. Kalau tidak dijual bisa busuk nanti.”

Aku hanya bisa menghela napas dalam. Sesungguhnya motivasiku bekerja adalah untuk membahagiakan orang tua. Beliau sudah tak muda lagi, tapi masih harus berkeliling menjual rujak demi memenuhi kebutuhan.

Namun, impianku kini telah hancur. Semua itu karena Gilang dan Danar. Kehilangan pekerjaan, kebebasan, dan hak. Bahkan, kehormatanku pun ikut terancam. Jika Ayah dan Ibu tahu apa yang dialami anak gadisnya ini, pasti akan merasa hancur juga.

“Maafkan Reyna, ya, Yah. Reyna belum bisa membahagiakan Ayah dan Ibu.”

“Kamu ini kenapa? Tumben jadi cengeng begitu?” tukas Ayah sambil mencubit pipiku. “Melihatmu bahagia, sudah cukup buat kami, Rey.”

Sontak aku memeluk Ayah. Keinginan sederhana yang belum mampu kuwujudkan. Ya, kebahagiaanku masih terasa amat jauh. Entah kapan bisa terwujud.

“Makanan sudah siap. Ayo, masuk. Kita makan dulu.”

Teriakan Ibu sontak membuyarkan sesi drama kami. Tanpa menunda waktu, aku bergegas masuk, menjemput nikmatnya kuliner khas buatan Ibu.

***

Sore menjelang, berarti sudah waktunya aku kembali. Sejak tadi Danar terus mendesak untuk berpamitan, tapi rasanya aku belum rela angkat kaki dari rumah. Masih ingin bersama Ibu. Menikmati masakannya, membantu Ibu berjualan gado-gado di teras, serta bermanja-manja.

“Tunggu ayahku pulang dulu, ya?” pintaku pada Danar untuk mengulur waktu.

Usai sarapan tadi, Ayah langsung berkeliling untuk jualan rujak. Ibu bilang, belakangan ini sepi pembeli karena banyak saingan, sehingga pulangnya sering terlambat.

“Di mana ayahmu biasa berjualan? Kita datangi saja, lalu kau pamit padanya.” Danar bersikeras ingin cepat-cepat kembali. Mungkin dia sudah lelah berpura-pura jadi orang baik.

“Ayah itu jualannya keliling. Tidak pasti lokasinya di mana. Tunggu saja, nanti juga datang,” jawabku dengan ketus.

“Ini sudah jam enam, Rey!”

“Kalian pulang saja. Nanti Ibu sampaikan pamit dan salam kalian. Danar benar, Rey. Kalau tidak lekas berangkat, nanti bisa kemalaman.”

Ck! Padahal aku kan hanya ingin mengulur waktu saja. Kenapa Ibu malah mendukung Danar? Ah, ya, sudahlah. Jika Ibu sudah bertitah, mana berani aku membantah.

Setelah mencium punggung tangan Ibu, kami pun melangkah menuju mobil. Namun, sesaat sebelum naik, tiba-tiba seorang pengendara motor berhenti tepat di depan rumah. Ternyata Pak RT.

Raut wajah Ibu memucat seketika. Pak RT mengabarkan bahwa ada yang mendatangi dan memberi tahu jika warganya mengalami kecelakaan, sambil menunjukkan foto KTP Ayah di ponsel. Katanya, saat ini Ayah masih ada di IGD.

KETIKA TUBUHKU DIJADIKAN TARUHANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang