Lima Belas

3.1K 60 8
                                    

Danar melepaskan pagutan, tersenyum menatapku, lalu ... bruk! Dia tersungkur di pundakku.

“Huh! Kau sudah mabuk rupanya,” tukasku bermonolog.

“Rey ...,” panggil Danar dengan suara yang tak stabil.

“Kenapa kau mengganti pakaianmu. Mana daster yang kuberikan?” racaunya.

“Yang benar saja? Aku sedang di luar. Mana mungkin pakai daster.”

“Rey ....” Nada suaranya lebih mirip orang mengigau. “Aku suka sekali melihat wanita pakai daster. Kau tahu kenapa? Dulu, waktu ibu suka pakai daster, dia selalu memperhatikanku, memasak untukku, menemaniku belajar, bermain. Tapi, sekarang sudah tidak pernah lagi. Aku tidak suka wanita yang suka bergaya, Rey. Aku muak dengan wanita yang memanfaatkan pria demi uang. Aku benci ibu. Aku benci diriku sendiri ....”

Sungguh terpana aku mendengarnya. Jadi, karena itukah dia memintaku pakai daster? Di mata Danar, wanita berdaster adalah sosok yang baik, perhatian, dan penuh kasih sayang.

“Tapi, kau salah. Wanita baik itu tak harus berdaster,” sanggahku.

Danar tertawa pelan. “Kau yang salah. Mereka mendekati pria hanya karena uang. Mereka selalu silau dengan harta. Jadi, sebelum mereka memanfaatkan aku, kumanfaatkan mereka lebih dulu sebagai. Kupakai, lalu kubuang. Aku tak ingin bernasib sama dengan Om Guntur.”

Begitu rupanya. Bercermin dari perbuatan sang ibu, Danar jadi menganggap semua wanita sama. Makhluk penggoda yang tak layak untuk dimiliki. Trauma dan kurang kasih sayang pun membuat dia bertindak seenaknya, kasar, dan tanpa empati.

Dasar, Danar ....

Kau benar-benar membuat terkejut. Pria yang kuanggap kejam, berengsek, dan semena-mena, ternyata memiliki luka tak kasatmata.

Ternyata ... kau itu lemah!

Naluri kembali menuntunku untuk meletakkan kedua tangan ke punggungnya, mendekap seraya mengusap-usap untuk mengisyaratkan bahwa semua baik-baik saja.

“Sebenarnya, alasanku memintamu pakai daster adalah ....”

Kukira dia sudah terlelap. Namun, ternyata belum dan masih meracau. “Husshh ... aku mengerti,” ujarku seraya mengusap-usap punggung itu.

“Karena aku ingin melindungimu, Rey.”

Meski tak paham korelasi antara daster dan melindungi, tapi ucapannya sungguh menghangatkan hati. Teringat cerita bibik waktu itu, di mana Danar selalu memperlakukan wanita sebagai objek pelampiasan nafsu. Namun, hingga saat ini, aku masih baik-baik saja. Sebatas ancaman, tapi tidak sungguh-sungguh melakukan. Padahal, kesempatan itu banyak sekali.

“Wanita berdaster adalah wanita baik-baik. Jadi, aku tak akan menjahatinya. Maaf, sudah membuatmu takut, Rey ....”

Pria ini, kenapa tampak manis saat mabuk begini? Kasar dan kuat di luar, tapi lembut dan rapuh di dalam. Namun, dalam keadaan tak sadar seperti ini, kelembutan dan kerapuhan itu akhirnya menyembul ke permukaan, menyapu segala kepura-puraan yang senantiasa mengisi waktu.

Sepertinya pundakku mulai pegal menahan berat tubuh Danar yang mulai mendengkur. Perlahan, aku menjauh dan menopang pria itu dengan tangan, lalu dibaringkan ke pasir yang beralaskan jas.

Sebuah tangan tiba-tiba menahan pergelanganku, lalu ditarik dengan kasar hingga tubuh ini tersungkur tepat di dadanya. Tangan lain mendarat di punggung, memutar tubuh dengan cepat, dan membalikkan posisi hingga raga ini berada di bawahnya.

Sorot mata tajam itu langsung mengarah padaku, membuat darah ini berdesir dengan degup jantung yang berdetak dua kali lebih cepat. Wajah memanas, napas tak beraturan, serta hasrat aneh yang tiba-tiba memenuhi kepala.

KETIKA TUBUHKU DIJADIKAN TARUHANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang