Tawaran untuk keluar dari kamar mungkin menggiurkan. Namun, begitu melihat pantulan tubuh berbalut daster di cermin, aku pun urung. Bukan masalah penampilannya, melainkan karena tak memakai CD dan bra-ku terlalu longgar.
Ya, karena memakai CD baru yang dibelikan Danar, maka CD lamaku langsung dicuci tadi dan sekarang masih basah. Sementara, bra dan piama aku pakai lagi demi menghindari daster. Namun, sekarang semuanya malah ....
Aarrghh ... ini semua gara-gara ulah si Cabul itu. Seenaknya saja membuatku basah kuyup tadi. Jika dia berpikir aku akan pasrah dan menuruti perintah, artinya dia salah besar. Ya, mungkin aku akan mengenakan daster ini karena tidak ada pilihan lain. Namun, untuk makan bersamanya ... jangan mimpi!
Pintu terbuka. Sambil membawa bungkusan, Bibik berjalan ke arahku. Ah, semoga saja isinya makanan.
"Mbak Reyna, ini dari Tuan Danar," ujarnya sambil menyerahkan bungkusan itu.
"Apa lagi ini, Bik?" Aku meraih benda itu, lantas membukanya. "Pakaian dalam?"
"Wah, benar. Isinya pakaian dalam. Tadi saya cuma diminta untuk mengantarkan, tapi tidak berani membukanya. Tapi, kenapa banyak sekali, ya, Mbak?"
Aku mengangkat pundak sebagai isyarat. Setelah ditumpahkan, ternyata isinya adalah lima setel pakaian dalam dengan ukuran yang berbeda.
Sontak, Bibik tergelak melihatnya. Namun, wanita itu segera menutup mulut untuk menahan tawa. "Maaf, Mbak. Saya tidak bermaksud--"
"Tidak apa-apa, Bik."
"Wah, sepertinya Tuan Danar takut salah ukuran lagi. Makanya dibeli semua."
Sejujurnya, aku jadi merasa terharu. Niat sekali dia membelikan benda ini, sampai-sampai ... ups, tidak, Reyna. Tidak ada waktu untuk tersentuh. Ini pasti hanya akal-akalan dia saja supaya aku luluh dan bertekuk lutut.
"Ayo dipakai, Mbak. Habis itu ke bawah. Kasihan, Tuan Danar sudah menunggu dari tadi."
"Iya, Bik. Tapi, aku tidak janji akan ke bawah."
"Jangan begitu, Mbak. Jarang sekali Tuan Danar mau repot seperti ini. Hargai usaha tuan kali ini saja, ya, Mbak," bujuk wanita itu dengan tatapan memelas.
"Memangnya dia keluar sendiri? Memilih langsung ke tokonya?" selidikku. Di jam ini, mana ada toko yang sudah buka?
"Tidak, sih, Mbak. Tadi Tuan Danar cuma menghubungi temannya yang punya butik, terus minta diantar saat ini juga. Tapi, kan sama saja, Mbak. Intinya Tuan Danar sudah berusaha demi Mbak Reyna."
Aku menghela napas dalam dan mengembuskannya perlahan. Meski lapar, tapi aku tak ingin turun. Tatapan penuh amarah tadi pagi terus saja menggelayut di benak, membuatku enggan untuk melihat wajah itu lagi.
"Mbak Reyna, saya mohon. Saya khawatir, kalau Mbak tidak turun, suasana hati Tuan Danar akan berubah, lalu marah lagi." Kembali, Bibik memohon padaku.
Setelah kupikir-pikir, mungkin ucapan wanita itu ada benarnya. Paling tidak, Danar telah berusaha mencari kebutuhanku, meski harus mereka-reka. "Baiklah, Bik. Aku akan turun."
"Terima kasih, Mbak. Kalau begitu saya permisi," pamitnya dengan mata berbinar.
Setelah wanita itu keluar, aku bergegas ke kamar mandi untuk memakai barang dalam bungkusan ini. Sebenarnya, sejak tadi ingin sekali aku berkata 'wow'. Pakaian dalam pemberian Danar ini merek terkenal dan harganya mahal. Seumur-umur, baru sekarang aku memakai barang branded.
Aku jadi penasaran, apakah dasternya mahal juga?
Ah, masa bodoh dengan harga daster ini. Meski bermerek sekalipun, aku tak suka memakainya.
KAMU SEDANG MEMBACA
KETIKA TUBUHKU DIJADIKAN TARUHAN
RomanceReyna Kamila, wanita berusia 20 tahun yang dijadikan taruhan oleh kekasihnya sendiri, Gilang. Danar Pradipta, seorang pengusaha muda berusia 28 tahun yang memenangkan perjudian dan berhak mendapatkan tubuh Reyna.