Ciremai 7

261 8 2
                                    

Jantungku bergemuruh kencang ketika bau Pandan tersebut kian mendekat. Kakiku bagai tertancap ditanah. Mataku bergerak liar mencari sosok yang bahkan abang ini pun merasa lebih baik menghindar.

Dan jantungku serasa di cabut. Sosok itu tepat berada diatasku. Wajahnya tertutup rambutnya acak-acakan. Tangannya yang penuh koreng dan bernanah menjuntai.

Semakin kuat usahaku untuk dim, tubuhku semakin gemetar tak terkendali. Aku lalu menutup mata dan berusha membayangkan apapun sekedar untuk menghilangkan banyangan kalong wewe itu dari benakku. Aku membayangkan suasana kantor, keriuhan saat makan siang atau macetnya lalulintas di jam pulang kantor. Sekejap aku berhasil menangkap riuh jantungku. Gemetar diseluruh tubuhku mulai berkurang, ketika tiba-tiba suara berdebum jatuh tepat di belakangku.

Usahaku barusan langsung sia-sia,tubuhku gemetar hebat, bahkan lebih di banding sebelumnya. Aku seratus persen yakin, kalong wewe itu tepat berada dibelakangku. Punggungku serasa panas. Beban carrier yang kubawa kurasakan kian bertambah berat.

Sebelum tangan muncul dari belakang. Berkoreng dan berbau busuk. Kuku nya yang panjang dan hitam mulai menyentuh pipiku. Dititik ini aku bahkan sudah tak sanggup lagi menutup mata. Aku hanya bisa menatap ngeri ketika jari-jari kurus itu bergerak perlahan membelai pipiku.

Dan hilang.

Jari-jari itu hilang begitu saja. Tapi aku masih tidak berani bergerak. Firasatku mengatakan mahkluk menjijikan itu masih ada disekitar, aku hanya tak tahu dia ada dimana ketika tiba-tiba aku melihat hal yang paling megerikan sepanjang hidupku.

Sebuah tangan mencengkeram pinggaku dari bawah. Tangan yang satunya bergerak perlahan menggores perut, naik kedada hingga akhirnya mencengkeram bahuku. Dan perlahan sebuah wajah yang mengerikan muncul diantara dua tangan itu. Matanya menatap kosong kemataku. Hanya mata kosong itu yang tersisa diwajahnya. Seluruh wajahnya hancur dan bernanah. Dahinya penuh borok-borok besar yang siap meletuskan darah dan nanah kapan saja.

Wajah itu terus naik, matanya tetap terpaku kemataku. Pelan dan pasti dia merayap diperutku, naik kedadalu, leher dan langsung tetap berada diwajahku. Mata bulat besar itu terus saja lekat menatapku, semakin mendekat.

Mataku menatap ngeri ketika mulutnya terbuka menampakan belatung-belatung yang menggeliat didalamnya. Mulut itu kian membuka lebar dan semakin lebar, seluruh wajah itu adalah mulut yang menganga, tangannya mencekik leherku, mulut itu semakin mendekat dan mendekat!!

Yang pertama ku lihat ketika siuman adalah wajah orang itu. Tubuhku lemas, tidak sanggup untuk di gerakan. Seluruh tulang serasa lepas dan kepalaku terasa nyeri. Ada rasa sakit di sekitar leherku. Ketika aku menyentuhnya, tampak noda darah dijariku. Tubuhku langsung mengejang. Kakiku tersentak saat ingatanku kembali pulih menghadirkan kembali saat kuku-kuku hitam kalong wewe itu menusuk leherku.

"Udah tenang! Jangan panik! Setan sialan itu udah ngga ada. "Kata orang itu sambil membantuku minum teh hangat.
Mendengar itu aku kembali tenang. Tapi rasa sakit disekitar leherku kelak tidak akan hilang berminggu-minggu.

"Terimakasih bang. "Suaraku terdengar lirih. Tapi aku sungguh-sungguh berterimakasih. Tanpa kehadirannya entah bagaimana nasibku dan Ayu.

"Bukan gue. "Jawannya pelan, sambil membereskan kompor bekas memasak air panas. Suaranya terdengar lemah.

Aku masih memandanginya, menunggu jawaban. Merasa diperhatikan, dia menghentikan aktifitasnya dan menatap serius padaku.

"Berterimakasih kepada Nyi Linggi. "Dia berucap.

Aku masih menatapnya. Binggung bagaimana bereaksi. "Nyi Linggi siapa bang?" Tanyaku.

Dia tampak kesal dengan pertanyaanku. "Emang kalian bocah gatau adat. Nyi Linggi itu orang yang rumahnya di Bantu Lingga kalian kotorin! "

Terror Gunung CiremaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang