Ciremai 11

176 7 0
                                    

Mataku mengikuti arah pandang orang itu.Dipucuk pohon tua tadi, berdiri, adalah Nyi Linggi.

Tidak ada angin yang berhembus. Tidak juga bunyi-bunyian hutan. Sekitarku seakan membeku. Aura kemarahan kurasakaan sangat menekan. Seluruh persendianku
kaku. Aku bahkan tak mampu menoleh sama sekali. Mataku terpaku tanpa mampu berkedip melihat Nyi Linggi melayang turun.

Orang itu masih berdiri ditempatnya, tapi kini dia agak mundur dan bergeser menghalangi pandanganku pada Nyi Linggi. Aura mistis
kurasakan semakin menjadi-jadi. Tubuhku menggigil hebat. Bukan hanya aku, tangan orang itu pun kulihat mulai gemetar. Aku langsung diserang panik. Bagaimana kalau orang itu memilih kabur dan
meninggalkanku dengan kaki yang tak mampu digerakkan? Aku merinding. Untuk pasrah pun aku tak mampu. Aku tidak ingin mati ditempat ini.

Kabut tipis terlihat bergerak turun dari tanjakan terjal disebelah kananku,Sementara dikiriku entah jalur turun atau jurang, aku tak mampu lagi mengingat aku ada dimana. Arah itu bagai terputus begitu saja ditelan kegelapan rimbunan pohon dan ranting yang saling menyilang.

Sesuatu tergantung terbalik di dahan ranting itu. Kepala dan tangannya terkulai kebawah, wajahnya tertutup rambut, tapi aku merasa matanya menatap lekat ke arahku. Aku bahkan sudah tak mampu lagi untuk bereaksi. Saat bau pandan tercium semakin kuat, aku sudah nyaris tidak peduli. Mungkin memang hidupku sudah tidak lama lagi.

Tapi mengingat Ayu, aku merasa bersalah karena hampir menyerah. Andai waktu itu aku tak mengajaknya mendaki Ciremai.. Dadaku kembali hangat. Ada setitik semangat yang muncul. Aku sudah sejauh ini. Aku mesti berhasil. Kami berdua harus kembali ke Jakarta, kembali kekehidupan normal kami yang biasa.

Seiring ketenangan yang muncul, kakiku kembali mampu bergerak walau lemah. Perlahan kucoba berdiri. Rupanya itu hanya
ketenangan palsu. Kembali aku terjatuh, kakiku terlalu lemah untuk berdiri. Dengan tangannya yang gemetar, orang itu memberikanku aba-aba untuk diam.

Dengan wajah pucatnya, Nyi Linggi berdiri disana, hanya terpisahkan oleh jalur. Diam mematung. Diatasnya, didahan-dahan pohon
kuntilanak-kuntilanak bergerak-gerak dengan ganjil.

Ditengah ketegangan yang memuncak,telingaku mendengar sesuatu. Suaranya berasal dari arah jalur bawah. Mataku membelalakkan ketika sesuatu itu akhirnya muncul. Itu adalah suara rombongan beberapa pendaki yang naik malam.

Orang yang terdepan nampak membawa carrier ukuran besar, membuat jalannya membungkuk. Dibelakangnya mengekor dua
orang lain, jalannya terseok dan tampak kepayahan. Aku tegang menyaksikan mereka melintas pelan diantara orang itu dan Nyi Linggi. Tapi seperti pendaki Sebelumnya, mereka pun nampaknya tak melihat kami. Semua mata menatap para
pendaki itu. Bola mata Nyi Linggi bergerak mengikuti langkah pendaki terakhir yang tiba tiba berhenti.

Jantungku mencelos mendengar pendaki itu berteriak memanggil dua temannya, "oii setan, istirahat dulu sebentar. Cape banget gua ini, anjing!"

Dengan takut-takut kuberanikan diri melihat Nyi Linggi. Aku ngeri membayangkan reaksinya mendengar ocehan tidak sopan barusan.

Dengan pelan dan terpatah-patah kulihat wajah Nyi Linggi menoleh ke pendaki itu. Matanya merah dan jelas nampak marah.

Aku komat-kamit berdoa supaya pendaki itu segera pergi. Tapi dia masih diam disana,
tangannya bertumpu pada trekking pole. Dia kelihatannya sedang mengatur nafasnya yang kembang kempis.

Dua temannya berdiri menunggu tidak jauh diatasnya. Salah seorang berteriak, "tanggung sedikit lagi. Nanti ngecamp di Tanjakan Seruni aja."

Seorang yang lain menambahkan, "udah gw bilang, lebih enak lewat Palutungan kalo naik. Turunnya baru lewat Linggarjati. Lu ngeyelkalo dibilangin."

Pendaki terakhir itu tertawa-tawa kurangajar sambil berkata, "sama ajalah lewat mana aja. Ini emang gunung ngga bener! Semua jalurnya nyusahin! Gunung brengsek!! "

Dalam sekejap suasana berubah. Udara seakan sedingin es.Tangan pucat Nyi Linggi bergerak, tampak mengancam dengan kuku-kukunya yang runcing dan hitam.  Sesosok
bayangan hitam bergerak cepat dan
menabrak pendaki itu yang sama sekali tidak menyadari situasi. Aku menunggu dengan tegang yang akan terjadi. Tapi sosok hitam yang masuk ketubuhnya rupanya tidak langsung menampakkan efeknya, dia masih
tertawa-tawa dengan kurangajar.

Dengan jari-jarinya yang panjang, tangan Nyi Linggi terulur sambil dia melangkah ke arah pendaki itu. Aku yang tak mampu bersuara hanya bisa menutup mulutku dengan tangan.
Mataku membelalak lebar.

Orang itu yang sejak tadi berdiri didepanku juga bergerak. Kulihat dadanya naik turun dengan cepat, lalu tiba-tiba dia menggeram keras disusul suara auman harimau. Aku berteriak histeris sambil menutup telinga. Suaranya menggelegar bergaung-gaung menembus hutan. Beberapa sosok Kuntilanak terlihat langsung menghilang. Ketiga pendaki itu jelas ikut mendengar auman itu kali ini. Ketiganya dengan panik
berlari tunggang-langgang.

Langkah Nyi Linggi terhenti mendengar auman barusan. Tanpa membalikkan tubuhnya, wajahnya berputar menghadap orang itu. Matanya mendelik menakutkan.
Sekarang dia bergerak ke arah kami.

Orang itu tiba-tiba menjatuhkan diri.
Badannya sekarang merangkak, jari
tangannya menancap ketanah. Kembali terdengar menancap ketanah. Kembali terdengar geraman-geraman kecil dari mulutnya.

Aku yang ketakutan semakin merapatkan dirike pohon dibelakangku. Tanganku
gemetaran hebat sambil menutup telinga. Sementara didepanku, orang itu dan Nyi Linggi saling menatap.
Bola mata Nyi Linggi bergerak berpindah pindah dengan cepat pada orang itu dan aku. Lalu tanpa membuka mulutnya dia mengeluarkan suara yang kering dan dingin. "Kumbakarna kalian semua..

Terror Gunung CiremaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang