Ciremai 12

173 6 0
                                    

Aku hampir pingsan ketika mendadak
sesuatu melintas disampingku. Dari sebelah kiriku berjalan dengan tertatih sosok bungkuk seorang perempuan tua. Aku hampir tak mempercayai mataku, itu adalah ibu tua dari Cibunar. Apakah dia naik sejauh ini untuk menyusulku?

lbu tua itu melangkah pelan sekali dengan kaki diseret. Kedua tangannya memegangi tongkat kayu untuk membantu jalan. Dia lewat begitu saja tanpa menoleh kearahku.

Dengan lembut dia menyentuh pundak orang itu yang masih menggeram dan tampak memintanya untuk tenang. Orang itu yang sekejap lalu seakan berubah liar perlahan kembali seperti sediakala. Geramannya tak terdengar lagi. Pelan dia mundur ke arahku.

Dari sebelah kananku, berjalan melewati ku, seorang kakek berbaju serba putih. Dikepalanya terlilit sorban yang juga berwarna putih. Kakek ini juga menyentuh pundak orang itu dengan lembut. Kali ini
orang itu bahkan langsung mencium tangan kakek itu dengan khidmat.

Nyi Linggi tampak melayang sejengkal dari tanah. Wajahnya yang pucat tampak semakin pucat. Bola matanya bergerak- gerak liar. Sebuah suara terdengar marah.

.... Kalian....

lbu tua itu menatap Nyi Linggi, lalu dengan tenang memperhatikan sekeliling. Kakek putih itu sekarang berdiri di samping si ibu tua. Jubah putihnya tampak bergerak-gerak
pelan tertiup angin yang tiba-tiba berhembus pelan.

"Linggi." Ucap si Kakek putih lembut, "ada apa ini Linggi... "

Tanpa membuka mulutnya Nyi Linggi
berteriak marah, "jangan ikut campur! Bukan urusan kalian! " Matanya melotot, tapi dia bergerak mundur dengan perlahan, "Anak- anak ini harus mati!"

Aku menggigil mendengarnya. Ancaman itu ditujukan untuk aku dan Ayu. Tatapannya menancap dingin kearahku.

"Linggi, barang siapa membunuh seorangmanusia itu sama dengan membunuh Seluruh manusia... "Kakek putih itu berkata dengan lembut sambil memutar-mutar
tasbih ditangannya.

Sekali lagi suara dingin Nyi Linggi
menggelegar, "Barang siapa membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang
memelihara kehidupan seorang manusia,maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya." Nyi Linggi tertawa-tawa mengerikan dan disusul sebuah bisikan, "Al-maidah, ayat tiga puluh duaaa...

Perlahan jarinya yang putih pucat terangkat dan menunjuk tepat kearahku, "anak ini telah berbuat kerusakan." Bisiknya pelan, namun suaranya terdengar jelas, "mati jadi keharusan."

Aku semakin menggigil ketakutan.
Sementara Nyi Linggi tertawa-tawa semakin kencang dan terus menerus meneriakkan satu kata: mati.... Mati.... Mati...

Kedua orang tua itu kudengar mengulang-ulang istighfar sambil tak henti memutar tasbih.

"Manusia tempatnya salah Linggi.
Memaafkan akan membuatmu lebih mulia. Maafkanlah kekhilafannya Linggi." Kakek itu berucap pelan.

"Jangan ikut campur!" Bentak Nyi Linggi lagi. Tangannya tiba-tiba menunjuk ke arah kegelapan tempat Kalong wewe menggantung sejak tadi.

Mataku membelalak lebar, tiba-tiba saja wajah Kalong wewe tadi sudah ada didepanku. Tangan kanannya dengan cepat mencekik leher orang itu sementara lidahnya menjilat wajahku. Aku menjerit ngeri melihat
belatung begerak-gerak didalam mulutnya.

Secepat kemunculannya, secepat itu juga hilangnya. Sabetan tasbih ibu tua hanya memukul ruang kosong. Kalong wewe itu sudah hilang diiringi suara cekikikan yang membahana dalam kegelapan.

Orang itu terbatuk-batuk hebat sambil memegangi lehernya yang sekarang tampak menghitam. Sementara tubuhku gemetar tak
terkendali.

Nyi Linggi melayang mendekat, lalu hilang. Sosoknya muncul dibalik pohon tua itu. Sebentar kemudian hilang. Sosoknya muncul lagi diatas dahan. Hilang. Tapi dia tak pernah muncul terlalu dekat untuk mampu menjamahku. Aku dengan panik mencari-cari setiap dia hilang dan menatap dengan was- was setiap dia muncul. Tapi dimanapun dia muncul, matanya selalu terpaku menatapku tanpa ekspresi.

Suara-suara berbisik dari segala arah
menghujani telingaku dengan kata-kata: Mati.. Mati.. Mati. Mati....
Semakin erat kututup telingaku, suara-suara itu justru semakin jelas. Aku yang kalut berteriakteriak histeris berusaha mengenyahkan suara-suara itu dari kepalaku. Orang itu dengan kasar menarik
tanganku yang membekap erat telingaku sambil membentak, "lstighfar! Inget Tuhan! Lu orang Islam bukan?!!"

Mataku membelalak menatap orang itu. Mulutku dengan reflek mengulang-ulang istighfar. Tapi suara-suara di kepalaku justru semakin keras. Aku memukul-mukul
kepalaku dengan panik berharap suara itu segera lenyap.

Orang itu kembali membentakku, "istighfar!" Suaraku bergetar lirih, "Astaghfirullah.. Astaghfirullah.. "

"Lebih keras!!"

"Astaghfirullah!! Astaghfirullah!"

Orang itu menampar pipiku dengan kencang
sambil berteriak, "LEBIH KERAS!!"

"ASTAGHFIRULLAHALADZIM!!! LAHAULA
WALA QUWWATA ILLA BILLAHIL ALIYYIL
ADZIM!!! " Aku menjerit sejadi-jadinya sambil menangis. Dadaku turun naik, nafasku tak
beraturan.

Orang itu dengan lembut menyentuh bahuku. Dia tersenyum. "Tiada daya dan upaya kecuali dengan kekuatan Allah yang maha tinggi lagi maha agung."

Airmataku mengalir deras tak mampu
kubendung. Bibirku bergetar pelan. Dalam isakku, istighfar terucap secara reflek. Seluruh tubuhku gemetar dengan hebat. Tapi suara-suara itu sudah hilang.

Orang itu menampar pipiku dengan pelan. Senyumnya tersungging menghina, "Dasar bocah.. "

Kakek putih itu maju selangkah mendekati Nyi Linggi yang kini melayang beberapa meter didepannya.

"Lepaskan anak ini. Pergilah Linggi, " Suara lembut kakek itu pelan tapi terdengar wibawa. Tangannya tak henti-hentinya memutar tasbih.

Nyi Linggi memiringkan kepalanya
memandangi kakek itu dengan tajam,
seakan tak mendengar. Dia tersenyum dan terus menerus berkata datar: Mati.. Matii.. Mati...

Aku kembali meremas telingaku ketika tiba- tiba terdengar suara lengkingan yang memekakkan. Sosok menjijikkan Kalong wewe berdiri tak bergerak tepat didepan ibu tua. Tangannya yang penuh borok dan berkuku tajam tergantung diudara.
Didepannya dengan mata terpejam, ibu tua tampak berkomat-kamit tanpa suara. Semakin cepat ibu tua itu memutar tasbihnya, makhluk itu menjerit semakin keras. Ketika akhirnya ibu tua itu membuka mata, diiringi jeritan kesakitan makhluk itu
terbakar habis menjadi abu.

Nyi Linggi melihat kejadian itu dengan diam. Kemarahan nampak dari tangannya yang bergetar. Aura murkanya meledak dalam keheningan. Perlahan bibirnya yang selama itu tertutup kini pelan-pelan terbuka. Sebuah kalimat yang dia katakan berikutnya langsung membuat kakek putih itu waspada.

..Nyawa bayar nyawa...

Terror Gunung CiremaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang