Betapa sialnya aku punya pacar seperti Mars. Orang paling nyebelin tapi bodohnya aku masih tetep sayang.
Biasanya dia yang jemput ke rumah buat berangkat bareng ke sekolah. Tapi pagi ini beda, aku yang datang menjemputnya dengan berjalan kaki dari rumah.
Sudah 2 menit 14 detik aku menunggu di depan rumah Mars, ditemani anjing peliharaan Mars bernama Digo.
"Susanto! Susanto!" teriakku pada akhirnya.
Aku nepuk jidat. Merutuki mulutku yang keceplosan. Aku lupa kalau aku dan Mars saling memanggil dengan nama bapak masing-masing.
Tak lama pintu terbuka. Aku keringat dingin karena yang keluar adalah Susanto, bapaknya Mars.
Gawat, bisa-bisa hubunganku dan Mars berakhir saat itu juga.
"Kau kenapa mangil-manggil saya?" Bapaknya Mars berkacak pinggang.
Aku deg-degan, bukan karena jatuh cinta pada Susanto tapi karena aku bingung harus jawab apa.
Untung saja Mars datang dan mengajakku segera berangkat. Aku salim ke bapaknya Mars dengan tangan gemetar.
Aku menyerngit bingung ketika Mars terus berjalan lurus ke depan, tidak belok ke samping rumah untuk mengambil motor beat kesayangannya.
"Motor kau mana?" tanyaku.
"Rusak, sedang ada di bengkel," jawabnya.
Mars mengambil ponselnya dari saku celana. Tak lama memasukkannya lagi.
"Oh, kau pesan taksi online?" Aku menebak.
"Siapa yang pesan taksi online, aku melihat jam. Kita jalan kaki saja, hitung-hitung olahraga," ujarnya santai.
"Apa?!" Pekikku kaget. "Jalan kaki? Kau tega sekali! Bahkan aku datang menjemputmu dengan jalan kaki!" Aku kesal.
"Kau gak usah manja, jarak rumahmu ke rumahku itu cuma 50 meter."
Aku manyun. Aku memang bertetangga dengan pacarku itu.
"Kenapa manyun? Kau minta dicium?" Aku berkedip-kedip menatapnya. Sedikit berbinar dengan perasaan menggebu-gebu.
"Tidak ada yang minat mencium bibirmu." Aku cemberut.
Mars berjalan mendahuluiku dan meninggalkan aku yang masih lemas.
"Kau keturunan siput? Ayo cepat, kau mau telat?" Aku berjalan mendekatinya dengan perasaan kesal.
***
Aku dan Mars tiba di sekolah lima menit sebelum bel masuk berbunyi.
Penampilanku amburadul. Badanku basah dan bau karena keringat. Padahal aku sudah mandi cantik tadi pagi, menggunakan sabun batangan tiga ribuan yang aku beli di warung kemarin.
Sementara Mars biasa-biasa saja. Meskipun ada bulir-bulir keringat yang menetes di wajahnya, tapi dia tidak terlihat lelah. Atau mungkin pura-pura kuat?
Aku tertegun menatap Mars, yang ketampanannya bertambah berlipat-lipat.
"Aku tahu aku ganteng. Ayo cepat! Kau mau telat!" Mars kembali berjalan menuju ruang kelas.
Aku manyun.
Aku memaksakan kakiku yang sudah remuk ini untuk kembali berjalan.
"Kau jalan kaki Lun?" tanya Syana teman dudukku sekaligus sahabatku.
Aku mengangguk lemas. Dia tertawa terbahak-bahak.
Aku kesel.
"Kasihan sekali kau! Tapi kalian romantis sekali jalan kaki bareng-bareng," ujarnya diakhiri tawa meledek.

KAMU SEDANG MEMBACA
Pacaran?
Teen Fiction"Pacaran?" Pertanyaan itu sering muncul di benakku. Hubunganku dan Mars memang berlangsung cukup lama. Tapi aku merasa aku bukan pacar Mars. Dia jutek, cuek dan nyebelin tapi ganteng. Apalagi kehadiran orang ketiga dalam hubungan kami, yang memang...