[ i recommend you to use dark background ]danke.
masih dini hari, belum memasuki harum pagi. dua raga itu menyeret tungkai ke arah timur. berniat menyapa sang surya yang menyingsing dari cakrawala. gie dengan langkah ringan menari lagi dengan mudah. mencipta jarak lapang antara dia dan ten di belakang."kamu tahu? manusia itu sampah." si gadis melompat kemudian. sampai akhirnya jatuh dan menyuara gelak.
diri bangkit, padahal belum sempat ten menggapai lengan. ten terkekeh geli, menatap hangat gie yang sibuk membersihkan diri dari butir-butir pasir, dengan permen perisa stroberi yang sudah keberapa kali ia kulum.
saku gie bak kantong doraemon, bedanya ini spesial untuk permen kesukaan.
si laki-laki menatapkan lari, mensejajarkan garis tubuh dengan gie. "kamu juga manusia." untungnya, gie tidak lagi menari acak.
"memang."
"kamu punya keluarga?"
itu sensitif. tapi gie melenggang acuh, "aku tidak punya keluarga."
tanda tanya tercipta di ruang otak ten, "kamu tinggal dengan siapa?"
"sekumpulan sampah."
"aku tebak. kamu benci dengan keluargamu."
"mereka bajingan." tangkas gie melepas ucap.
pembenci rupanya, sahut ten dalam diri.
memang, apa yang diharapkan? manusia makhluk pembenci dan dibenci. lagi dengan pecinta dan dicinta.
"bagian mana yang kamu benci?"
"kamu jadi banyak bertanya, ya?" gie memberi fokus pada paras di samping. sedangkan ten meringis.
berniat melafal kata maaf, gie kembali bersuara. "cara mereka menatapku seperti orang paling hina. cara mereka bertutur bak paling benar. menyedihkan sekali," suara gie bergetar.
"menyedihkan? kisahmu?"
gie lagi-lagi tergelak, merasa lucu meski ten tidak tahu letaknya di mana.
"bukan aku dan kisahku. tapi mereka, para bajingan tak berguna itu. kasihan sekali, aku sedang menunggu balas Tuhan terhadap dosa mereka—
—menjadi saksi pertama derita hangus mereka. aku juga mau tertawa di atas pedih mereka. kan mereka pantas mati."
ten menggeleng, langkah mereka berhenti tepat di hadapan bangkit surya. "ga ada yang pantas mati."
"kenapa begitu? semuanya juga bakalan mati. dunia ini fana, kamu juga pasti tahu. kenapa berucap begitu?"
"ga dengan begitu. maksudku, memang semuanya pasti bakalan menyatu dengan tanah. tapi bukan untuk dihakimi dengan tawaan. pantas atau tidaknya mereka mati dan cara mereka kembali, itu cuma Tuhan yang tahu."
"kenapa lama banget sih?""mataharinya muncul?" tanya ten.
dua manusia itu duduk di tepian, hamparan luas kota terpampang jelas melambai di netra.
"bukan. tapi ketemu kamu, kenapa baru sekarang?"
sabit permai terlukis jelas di ranum ten, "takdir? lagian dengan begini mungkin kalau kita berucap pisah, bakalan diinget terus."
"benar juga. agenda dunia dan Sang Pencipta memang di luar akal. out of the box!"
"HAHA itu pujian?"
gie lantas mengangguk senang. jiwanya terasa lega. raganya semacam menyentuh lepas.
"jelas itu pujian. aku lagi memuji," jawabnya riang."sebentar lagi," ten tiba-tiba mengucap kata setelah mereka duduk diam memperhatikan sang surya berdiri pongah, tapi masih sedikit malu-malu.
"apanya?"
"permainanmu selesai. sebentar lagi, semuanya selesai."
—
mau cepet-cepet ku selesaiin.
tinggal satu lembar lagi!© epochsolitude
KAMU SEDANG MEMBACA
strawberries & cigarettes ✓
Fanfictionikut aku berkelana, malam ini kita sewa. chittaphon's au ; selesai. © epochsolitude, 2020 06/02/20