Masih pukul enam pagi, tapi Abi sudah berdiri di depan apartemen Leo, menekan bel dan menunggu seseorang membukakan pintu. Kepala Abi sedikit tertunduk hingga dia menjadikan kedua sepatunya sebagai objek. Abi tidak tidur semalam. Yang pertama, karena Gisa menelefonnya dan mengatakan semua ancaman Rere padanya kalau saja Gisa masih melanjutkan hubungan mereka. Dan yang kedua, tatapan Rere yang sampai detik ini masih mengganggu Abi.
Mereka sudah berdamai. Rere bahkan sudah menjadikan Abi sebagai teman. Tapi, tadi malam, Abi melihat ketakutan itu lagi dengan jelas. Ketakutannya pada Abi yang hingga detik ini membuat Abi merasa tidak tenang.
"Abi?"
Mengangkat wajahnya perlahan, Abi memerlihatkan senyumannya pada Rere. Senyuman tengilnya seperti biasa yang sering kali membuat orang-orang jengkel padanya. Tapi anehnya, yang Rere lakukan saat ini hanyalah mengamati wajah Abi dan seolah menyelami kedua mati Abi.
"Kamu... belum tidur, ya?" tanya Rere pelan. Suaranya masih terdengar marah, hanya saja, ada setitik perhatian dalam pertanyaan itu yang membuat hati Abi terasa menghangat.
Abi hanya terkekeh pelan. "Leo masih tidur?"
"Iya." Jawab Rere singkat, tidak seramah biasanya.
"Bagus."
"Maksudnya?"
"Gue mau ngomong sama lo, berdua."
Rere mengerjap cepat dan mulai terlihat panik. Namun Abi malah ingin tertawa geli. Reaksi Rere yang seperti ini lah yang selalu Abi tunggu, tidak seperti tadi malam.
"Di sini, atau di dalam?" tanya Abi lagi.
"Soal... Gisa?"
"Hm."
Rere melirik ke belakang bahunya, lalu saat dia kembali menatap Abi, dia terlihat menggigit bibirnya resah. Abi membuang wajahnya, tidak mau menikmati candu dari seseorang yang bukan miliknya.
"Maaf, di sini aja," cicit Rere pelan. Abi melangkah mundur ketika Rere memutuskan keluar lalu menutup pintu. Sejenak, mereka berdua hanya saling diam untuk beberapa saat. "jadi?" tanya Rere.
Abi berdehem pelan. "Gue mau jelasin soal–"
"Apa pun penjelasan kamu, aku tetap nggak mau kamu dan Gisa berhubungan lagi." Kini suara Rere terdengar serius, tidak ada nada manja seperti biasanya, Rere bahkan menatap Abi lekat dan tegas.
Abi menggedikkan bahunya. "Sebenarnya gue sama Gisa nggak pacaran. Kita berdua cuma... dekat? Ya, anggap aja itu adalah istilahnya."
"Justru itu," balas Rere. Rere menghela napasnya berat. "maaf kalau apa yang akan aku katakan sama kamu terdengar jahat. Tapi, Abi, aku tahu orang seperti apa kamu. Kamu baik, aku tahu itu, tapi... untuk Gisa... aku tahu kamu akan menjadi orang jahat."
Abi mengerjap lambat.
Rere mengurai rambutnya. "Jujur aja, aku nggak enak kalau harus mengatakan ini ke kamu. Tapi, Gisa itu sudah seperti keluargaku, Bi, aku sayang sama Gisa dan nggak mau dia kenapa-napa."
"Apa kamu pikir aku akan melukai Gisa?"
Rere mengangguk tegas. "Karena kamu bukan seseorang yang bisa menyayangi wanita dengan tulus. Kamu punya banyak pacar, melakukan apa pun dengan pacar kamu semaunya. Aku ngerti, itu hak kamu dan aku sama sekali nggak mau ikut campur. Tapi, kalau itu menyangkut Gisa, aku nggak bisa..." Rere menggelengkan kepalanya. "aku nggak bisa melihat Gisa terluka karena kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Tikus Dan Kucing Jatuh Cinta
General FictionSebagian cerita sudah di hapus "Lo alergi sama cewek perawan? Belum pernah dapat perawan ya lo, makanya sampai senorak ini?" "Apa?" "Gue kira lo memang sehebat itu di ranjang sampai-sampai dijuluki penjahat kelamin. Ternyata, nyali lo nggak sebesar...