Semenjak Leo menjadi pemimpin perusahaan untuk menggantikan Rere, pekerjaan Gisa jadi amat sangat sedikit karena Rere lebih banyak di rumah atau pun pergi ke rumah orangtuanya. Gisa tidak lagi harus menjemput Rere pukul tujuh pagi, dia hanya pergi menjemput Rere ketika Rere menelefonnya, entah itu untuk mengantarkan Rere ke rumah keluarganya, atau bertemu dengan teman-temannya.
Bahkan, jika Rere pergi ke rumah orangtuanya, Gisa di beri pilihan ingin ikut mampir atau pulang. Tentu saja Gisa memilih pulang agar dia bisa berbaring santai di rumah atau pergi melakukan banyak hal menyenangkan untuk dirinya sendiri, misalnya saja hangout bersama teman-temannya atau juga bersama Abi.
Gisa hanya akan kerepotan satu hari dalam satu minggu, yaitu, ketika harus menemani bos kesayangannya itu mengelilingi Mall dan membeli apa pun yang menarik di matanya. Gisa yakin, kedua kaki Rere tidak akan sakit sekalipun dia menjelajahi tempat itu dari pagi hingga malam hari.
Dan hari ini, Gisa sedang menghabiskan waktu dua temannya, Tara dan Prita. Duduk di sebuah kafe sambil membicarakan hal apa pun yang menyenangkan, termasuk membicarakan orang lain yang mereka kenal bahkan sampai yang tidak mereka kenali. Yeah... begitulah perempuan.
"Gis, lo udah di pecat, ya?" tanya Tara.
"Nggak. Siapa yang bilang gue di pecat?" jawab Gisa.
"Soalnya semenjak bos lo udah bukan pemimpin Barata's Group, kita perhatiin lo jadi sering ngumpul sama kita. Biasanya kan, cuma bisa malam, itu juga tunggu lo libur. Kali aja semenjak bos lo berhenti kerja, lo juga di pecat." Prita tertawa puas ketika mengatakan itu.
"Sembarangan lo!" omela Gisa. "justru semenjak bos gue berhenti kerja, gue jadi bahagia," Gisa tersenyum miring. "soalnya kerjaan gue jadi lebih santai."
"Gaji lo gimana?" Tara.
"Dipotong nggak?" sambung Prita.
"Ya nggak lah," bantah Gisa. "gaji gue jalan terus."
Tara dan Prita mencibir.
"Enak ya, Gis, kerja kaya lo. Cuma supir, tapi gaji lo melebih gaji Pramugari kaya gue. Mana bos lo baik banget lagi sampai lo bisa sejahtera kaya ini." Gumam Tara.
Prita mengangguk setuju. "Gue juga. Namanya aja kerja di hotel, tapi gajinya pas-pasan banget. Gisa, itu bos lo nggak mau cari pekerja lagi? Gue mau deh. Jadi babu di rumahnya juga nggak apa-apa, asalkan gue juga di beliin pakaian bermerk kaya lo. Gila, kayanya cuma elo doang supir bos yang tentengannya Hermes lah, Gucci lah. Jam tangan lo aja sama gaji gue setahun masih mahalan jam tangan lo."
Gisa tertawa penuh kesombongan. Memang benar yang di katakan teman-temannya itu. Penampilan Gisa itu tidak terlihat mewah karena Gisa menyukai gaya busana yang santai. Gisa bahkan hanya memiliki beberapa gaun di lemari pakaiannya, itu pun hanya akan dia pakai jika harus ikut menemani Rere menghadiri sebuah pesta. Selebihnya, semua pakaian Gisa hanya pakaian santai. Tapi, tentu saja tidak sesantai harganya.
Awalnya, Gisa sama seperti perempuan kebanyakan. Sekalipun gajinya banyak, tapi untuk membeli pakaian atau pun keperluannya yang lain, Gisa memilih harga yang biasa-biasa aja, malah cenderung murah. Gisa bukan orang yang senang membuang uang untuk hal-hal yang tidak perlu. Lagi pula, hanya pakaian, kan? Asalkan rapi dan pantas, walaupun murah, apa salahnya?
Tapi semua itu tidak lagi bisa Gisa lakukan sejak dia bekerja bersama Rere setelah enam bulan. Awalnya Rere mengajak Gisa ikut belanja dan tentu saja Gisa tolak karena dia tidak mau dianggap tidak tahu diri. Rere memang tidak memaksa, tapi langsung membelikan tumpukan pakaian untuk Gisa yang saat itu hampir saja pingsan ketika melihat harganya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tikus Dan Kucing Jatuh Cinta
Ficción GeneralSebagian cerita sudah di hapus "Lo alergi sama cewek perawan? Belum pernah dapat perawan ya lo, makanya sampai senorak ini?" "Apa?" "Gue kira lo memang sehebat itu di ranjang sampai-sampai dijuluki penjahat kelamin. Ternyata, nyali lo nggak sebesar...