skala satu sampai sepuluh, mungkin antariksa dapat angka sebelas dalam hal mahir mencairkan suasana.
lelaki yang lebam di sana-sini itu ketawa selang lima menit peluk satu eksistensi lain yang mendadak jadi kanebo kering persis beberapa waktu lalu. peluk lebih dari lima menit ada biaya, katanya.
kemudian arsen deham tipis, alih atensi ke obat-obatan yang mendadak buat kepalanya macet; dirinya lupa fungsi obat merah kalau boleh hiperbola. "belum selesai, sa." katanya.
riksa beralih rebahan, kepalanya tepat di depan arsen—di sebelah kotak pertolongan pertama. "padahal nggak perlu,"
"lo juga gak perlu kaya gini buat gue."
"gue gak bisa liat lo kaya gitu."
arsen tuang obat merah ke kapas, tatap antariksa yang tiduran di kasur dan tatap langit-langit kamar. "kenapa?"
"gak tau, gue merasa harus bikin lo paham."
anggukan kosong, arsen bilang permisi waktu sentuh sisi wajah riksa yang susah nurut untuk noleh ke arahnya. "soal?"
"banyak hal." riksa meringis tipis, luka besarnya ditutup beberapa kasa dan plester motif dino. "lo gak tau apa-apa, arsen. hidup lo abu-abu banget, dan gue tau lo nggak suka itu."
tujuh belas tahun arsen ketawa kering, tangannya taruh balik obat-obatan ke tempat semula, "gue gak bisa apa-apa."
"self defense lo buruk."
tatapan datar arsen tepat ke arah pupil bening antariksa yang dengan kurang ajar tengkurap di ranjangnya. "maaf?"
"lo nggak melindungi fisik lo memang, karena lo percaya luka dalam konteks itu bisa lo sembuhin sendiri." riksa tunjuk luka robek di sudut bibirnya. "kaya gini."
"oke?"
"lo pikir reaksi pingin terus berdiri di balik garis zona nyaman setelah lo punya pikiran buat usaha lebih jadi diri lo apa namanya kalau bukan pertahanan diri?"
arsen diam, tapi antariksa tepuk dadanya tepat dimana sesuatu di dalam sana mencelos. "lo takut mental lo rusak. karna lo tau, lo nggak bisa sembuhin itu sendirian."
⋆
sepulangnya antariksa, kegiatan arsen cuma terlentang; tatap langit-langit kamar yang dirinya lukis persis langit malam dengan banyak bintang abstrak yang dominasi warna kelam.
kepalanya kosong, dan arsen rasa, lelaki itu selalu tebak dirinya dengan amat akurat. bahkan arsen kaget perihal banyak hal-hal privasi yang ternyata bisa dirinya bagi dan melanggar batas kerasnya sendiri.
entah sejak kapan antariksa berubah fungsi jadi satu pengecualian.
banyak hal ditumpuk di tempat dimana antariksa sentuh beberapa puluh menit lalu. pikirnya, itu bisa selesai perlahan dan diam-diam. tapi ternyata, bebannya terasa makin menjulang dibarengi oksigen yang berubah tipis kemudian hilang.
maka di hari berikutnya, arsen pilih rehat satu hari lagi untuk benar-benar bernapas.
dirinya kembali pulang ke rumah arin lumayan larut karena kelewat tidur beberapa jam di rumah papa, tapi jarum-jam-rumah-arin pagi ini ternyata lebih berisik dari biasanya.
"sumpah, lo berisik banget bangunin adek-adek lo pake mars partai politik. nggak jelas." katanya, sambil tutup telinga pakai bantal.
"bangun ayo, sekolah. mandi terus sarapan, mbak udah siapin."
arsen balik peluk selimutnya, "gue nggak masuk hari ini."
"kenapa? masih sakit tangannya?"
"rehat."
karena arsen tau, antariksa nggak akan masuk sekolah dengan babak belur sebanyak itu di wajahnya.
⋆
"lo nyusahin banget sumpah."
"dan lo masih mau disusahin."
juna hela napas berat. rasanya susah sekali buat adik bontotnya paham soal meminimalisir penyelesaian masalah pakai otot, tapi antariksa tetap antariksa di manapun dirinya hidup.
kemarin, waktu dirinya diminta untuk jemput di salah satu perumahan elit perasaannya jelas berubah jadi kurang nyaman. dan terbukti waktu adiknya tarik pintu mobil sambil pasang cengiran kelinci lengkap dengan lebam, sobek, dan plester juga kain kasa bersih di pipi gembilnya, juna tau dirinya nggak akan selamat paling lama satu minggu.
kegiatannya berubah jadi rutinitas; setiap pagi urus sarapan, urus luka, dan hadapi tingkah manja antariksa yang berubah jadi agak kurang pantas.
"lo belum jawab pertanyaan gue kemarin."
disela kunyahan apelnya pagi ini, riksa lirik kakaknya yang sibuk tata isian kotak pertolongan pertama. "tanya apa?"
"alesan lo begini."
"gue nggak bisa liat hal-hal curang kaya gitu."
"lo apatis sosial, riksa."
"tapi arsen temen gue."
"iya?"
"iya. apalagi?"
"siapa tau."
"gue mati rasa."
"oke. maaf."
"no need." antariksa gigit sodoran apel dari juna, "gue kacau, tapi gue lebih kuat dari apa yang lo sama bang ogi pikir."
juna senyum tipis, lesungnya timbul sepersekian detik. gasakan di pucuk kepala antariksa jadi bukti bersyukurnya juna, sekaligus kesal punya adik yang bertahun-tahun jadi hampa dibawah tanggung jawabnya.
secara bersamaan, bel rumah mereka ditekan dua kali kemudian suara arsen merambat sampai ke kamar. juna diam, tatap adiknya yang mendadak lari ke kamar mandi dan berubah jadi bar-bar.
mati rasa, katanya.
kekeh dan geleng pelan, juna hampiri ruang tamu. pasang raut seram dan penasaran.
sebenarnya, seperti apa sih teman adiknya itu?
• notes.
zonk bgt ketikan aku. pemanasan.
trims a lot buat yang masih baca!
ini aku sayang bgt sm buku serendipity
sampe menangos begadang buat
rodi otak. support me pls. </3juga, yang baik-baik bgt sama
aku di twitter. terimakasih huhu.
nangis. <3333• notes. ( agak promosi )
aku ( kayanya ) bakal bikin au di
twitter. bukan di acc fangirling ku,
malu bgt kalo disitu.so, kalau mau interaksi dan ngebadut
brg sm ak di twitter boleh cek bio,
udah nangkring disana akun khusus
alternatif universe ku. hihihithanks again. have a nice day, folks !
KAMU SEDANG MEMBACA
serendipity › tk.
أدب الهواةdefinisi antariksa menurut sudut pandang arsen itu nyata; pelengkap di semestanya yang kosong. ©taelkom, 2018.