Bag 4. ― Ruang Gelap, Siluet Gelap, Pikiran Gelap
************************************
Weekend itu Liana dan aku pergi ke daerah Bandung Selatan karena ada peluang investasi yang menarik untuk dijajaki sekaligus untuk refreshing. Untuk hal-hal berbau bisnis seperti ini, aku sengaja mengajak Liana supaya ia dapat menyerap sejak dari usia belia. Karena seringkali banyak hal yang jauh lebih efektif untuk dipelajari secara langsung di lapangan dibanding di dalam ruang kelas. Kebetulan, Liana pada dasarnya juga tertarik akan hal-hal seperti ini.
Jumat sore itu si Nono membawa kami menuju Bandung, melewati jalan tol yang hampir setengah perjalanan selalu padat merayap. Syukurlah, akhirnya kami sampai juga ke kota Bandung dengan selamat. Sesampai disana, kami menikmati makan malam khas bumi Priangan yang lezat, apalagi karena perut sudah keroncongan. Setelah selesai makan malam, malam itu Si Nono kubebastugaskan sampai Minggu sore. Ia kuberi uang saku selama 2 hari plus uang losmen untuk 2 malam. Bagaimana pun, semua orang khan perlu refreshing dan cuti dari pekerjaan sehari-hari. Saat itu ia bilang kalau ia akan tinggal di tempat saudaranya. Setelah itu, aku dan Liana menginap di hotel semalam.
Di hotel tersebut, kulihat beberapa pasang mata memandang ke arah kami. Entah apa yang ada di pikiran mereka. Mungkin mereka mengagumi kecantikan Liana yang jalan di sebelahku. Memang Liana tetap terlihat menarik dan enak dipandang meskipun tanpa make up dan dengan pakaian yang biasa saja. Atau mungkin mereka merasa aneh melihat pria setengah baya berdua dengan gadis muda check-in di hotel. Memang wajah kami berdua tak terlalu mirip meski ia anak kandungku, karena Liana lebih mirip ibunya. Well, masa bodohlah dengan apa yang mereka pikirkan asalkan tidak mengganggu saja.
Di kamar kami sempat berdiskusi sebentar mengenai hal-hal umum sebelum akhirnya lampu kamar dipadamkan dan pergi tidur. Keesokan harinya, pagi-pagi setelah breakfast, kami langsung menuju ke tempat lokasi di daerah Bandung Selatan dengan diantar rekan. Sepanjang pagi, waktu tersita penuh untuk hal-hal sehubungan dengan peluang investasi itu. Siangnya, di rumah makan aku dan Liana terlibat diskusi yang cukup serius selama hampir dua jam mengenai investasi yang barusan dijelaskan itu. Pada dasarnya Liana memang tertarik akan hal-hal begini dan orangnya cukup cerdas sehingga pembicaraan kami sungguh hidup dan menarik.
Setelah itu adalah jadwal rekreasi. Aku mendapat info bahwa Kawah Putih layak untuk dikunjungi. Apalagi jaraknya udah nggak jauh lagi. Namun kami dihadapkan pada dua pilihan untuk tempat bermalam malam ini, apakah balik ke Bandung atau mencari tempat menginap di daerah sini - di alam pegunungan yang sejuk dan indah. Liana memilih opsi kedua. Aku pun sama. Sehingga akhirnya kami sepakat untuk mencari penginapan di suasana pedesaan ini, meskipun dengan kelas losmen sekalipun.
Secara keseluruhan, kami cukup puas dengan tempat rekreasi Kawah Putih. Tempat itu sungguh indah apalagi saat kabut tipis menyelimuti permukaan danau kawah tersebut. Sementara cuaca juga cukup bersahabat. Sungguh tempat yang menarik untuk dikunjungi. Setelah itu kami menuju ke danau Situ Patenggang. Tempatnya biasa-biasa saja menurutku, sama sekali tak bisa dibandingkan dengan Kawah Putih. Namun perjalanan kesana cukup menarik, dengan hamparan luas kebun teh di kanan kiri.
Kami sempat berhenti beberapa kali untuk mengambil foto. Selain itu kami sempat juga berbicara sejenak dengan sekelompok petani kebun teh yang kebetulan berjalan pulang melewati kami. Rupanya pekerjaan ini bukan hanya monopoli kaum lelaki. Karena tak sedikit ibu-ibu yang juga bekerja dengan tugas yang sama. Namun satu hal terpenting yang kudapat dari pembicaraan dengan mereka adalah mereka orang-orang dengan pikiran sederhana. Jauh berbeda dengan orang yang tinggal di kota besar. Mungkin karena itu mereka bisa lebih bahagia dibanding orang kota.
Sementara itu, kegiatan kami mengambil foto di pinggir jalan banyak mengundang perhatian orang-orang yang lewat. Mungkin bagi mereka adalah pemandangan tak biasa melihat kami berdua, yang dari wajah dan penampilan sangat jelas bukan orang lokal daerah sana, berdiri di tepi jalan bahkan masuk agak ke dalam di tengah kebun teh itu. Fenomena itu nampak lebih jelas lagi saat beberapa pemuda-pemuda desa yang naik motor melewati kami. Sebagian besar perhatian mereka terpecah saat melihat kami, atau mungkin lebih tepatnya... ke Liana. Memang, dimana saja, siapa saja, tak peduli umur, status sosial, latar belakang, atau hal-hal lainnya, yang namanya cowok semuanya sama saja reaksinya saat melihat cewek yang menarik di matanya. Sebaliknya, memang aku telah menyadari, terutama belakangan ini, kalau putriku sering menjadi pusat perhatian orang-orang di sekitarnya. Bahkan selama ini tak sedikit teman sebayaku, para ibu-ibu, yang terang-terangan memuji kecantikannya. Namun, sungguh aku tak mengira kalau di tempat pedesaan seperti ini, ia juga jadi pusat perhatian orang-orang yang lalu lalang dengan kendaraan di jalan. Sampai-sampai timbul sedikit rasa kekhawatiran dalam hatiku. Sementara itu, sapaan atau lambaian tangan mereka saat kendaraannya melewati kami, kadang ditanggapi oleh Liana dengan lambaian tangan balasan atau senyuman. Membuat mereka kadang jadi bertingkah dengan membunyikan gas motornya kuat-kuat atau tingkah lainnya. Aku hanya berharap semoga tak ada seorang pun yang mendapat kecelakaan. Untungnya tidak.