Bag. 10 ― Biarlah Semuanya Mengalir Seperti Sungai
************************************
Begitu masuk ke dalam, aku menggeser pintu kamar sampai tertutup rapat. Liana menatapku. Mungkin karena ini adalah hal yang tak biasa. Karena aku memang agak jarang masuk ke kamarnya apalagi di saat malam-malam hari. Kalau aku betul-betul ada perlu dengannya, biasanya aku selalu memanggilnya dulu dari luar. Apabila ia menyuruhku masuk, barulah aku masuk. Kalau tidak, biasanya pembicaraan dilakukan di depan pintu. Dan, beberapa kali ketika aku masuk, selalu pintu kamar kubiarkan terbuka dan aku tak pernah berlama-lama di kamarnya. Meski ia putriku namun aku tetap harus menghargai privacy-nya. Terlebih lagi, kini ia telah menjadi seorang gadis dewasa. Hal ini juga bagus untuk menghilangkan efek "hawa panas" dalam diriku dan "ketegangan" di bagian tertentu pada diriku apabila terus berlama-lama di kamarnya, yang nantinya bisa membuatku lupa diri.
Namun kini justru sebaliknya. Tanpa permisi, aku langsung masuk ke kamar putriku dan lalu menutup pintunya. Kini kami berdua di dalam kamar tidurnya.
"Ada apa Papi?" tanyanya sambil menatapku.
Sementara kimono tipisnya membuat belahan payudaranya kelihatan padat berisi dengan kedua putingnya menonjol dan menembus kain tipis itu. Liana tak memakai riasan wajah apa pun. Rambutnya juga dibiarkan terurai apa adanya. Namun ia justru terlihat amat cantik dalam keadaan apa adanya seperti itu.
"Papi ngelamun apa sih?" tanyanya menyadarkanku kembali.
"Eh, Papi lagi nggak bisa tidur. Boleh Papi ngobrol bentar sama kamu?" tanyaku lagi. "Oh ya, tadi harusnya Papi tanya kamu dulu sebelum masuk," tambahku. Bagaimana pun, ia adalah putriku sendiri, tentu aku harus bersikap se-gentle mungkin.
"Oh, nggak apa-apa kok. Yuk ngobrol sambil duduk aja," kata Liana dengan tersenyum sambil duduk di tengah ranjang dan bersandar di dinding. Sikapnya yang welcome, membuatku melakukan hal yang sama.
Kami berdua berbincang-bincang di ranjang itu dengan cukup lama. Beberapa kali terjadi sentuhan-sentuhan fisik diantara kami. Semua ini terjadi secara alami dan apa adanya sebagai bagian dari interaksi kami secara keseluruhan. Karena memang hubungan kami cukup akrab. Namun hal ini juga menyebabkan birahiku naik ke titik puncak. Apalagi selain sentuhan-sentuhan fisik, sedari tadi aku terus disuguhi akan keindahan tubuhnya, terutama payudaranya di balik kimono tipis tanpa bra! Sungguh indah menawan dan menggairahkan. Bagian atasnya seringkali terlihat dari belahan leher kimononya saat ia bergerak. Sementara putingnya menembus di kain bajunya, daging payudaranya nampak bergerak-gerak secara mencolok karena padat berisi. Paha mulusnya beberapa kali tersingkap dari kimononya saat ia mengubah posisi duduknya. Dan di bawah itu semua, keindahan tubuhnya saat dirinya telanjang bulat tadi masih tergambar secara nyata di dalam pikiranku.
Dan, akhirnya aku mengambi langkah maju. "Papi boleh tidur disini? Apa kamu keberatan?" tanyaku. (Di depan, aliran sungai akan terbelah menjadi dua. Ke arah mana ia akan mengalir, apakah ke kiri atau ke kanan?) Kini semuanya tergantung jawabannya. Apabila ia keberatan, maka aku akan balik tidur ke kamarku dan tak mengganggunya.
Namun rupanya Liana sama sekali tak ragu dengan pilihannya. "Ya udah Papi tidur sini aja!" kata Liana dengan terlihat antusias. "Dah lama juga aku nggak tidur sama Papi," katanya lagi. (Kini, aliran sungai mengalir menuju ke bagian yang deras dengan turbulensi tinggi bahkan mungkin juga terdapat pusaran kuat yang menyedot ke bawah).
Aku tidur berbaring di sebelahnya di ranjang berukuran Queen-size itu. Penghangat ruangan yang bekerja membuat udara di dalam kamar menjadi hangat. Kini lampu kamar semuanya dimatikan kecuali satu. Karena Liana takut akan kegelapan. Kini suasana dalam ruangan menjadi remang-remang, namun juga sekaligus romantis!