Bab 3

88 10 0
                                    

Saat sudah berada di perbatasan, mereka kembali melirik was was ke arah tali yang menggantungkan banyak kertas-kertas merah berisi mantra kuno itu. Sesekali mereka juga mengintip ke kanan dan ke kiri jika ada warga setempat yang sedang lewat seperti sebelumnya. Sampai akhirnya yakin bahwa keadaan aman untuk lanjut melangkah masuk, Doni pun memberi aba-aba kepada yang lain untuk segera mengikuti langkahnya.

Tanah dari Hutan Sakral itu awalnya tampak seperti hutan pada umumnya saja. Namun memang hutan di Kalimantan terlihat memiliki pepohonan dan tanaman yang jauh lebih lebat dari pada hutan di Jawa.

Saat masih awal memasuki area hutan yang terasa agak lembab itu, suara-suara cuitan burung dan serangga masih terdengar di sekitar mereka. Sampai mereka menjelajah masuk beberapa meter lebih dalam lagi ke hutan, nuansa lingkungan di sekitar mulai terasa sunyi dan begitu tenang. Hampir tak terdengar suara apapun kecuali tapak langkah dari sepatu mereka sendiri di sana.

"Eh, gila ya, kok gue semakin merasa ngeri aja sih masuk lebih jauh ke sini?" gumam Anita sambil kepalanya mendangak menatap langit awan yang mulai tertutup oleh pepohonan tinggi.

"Ah, elah, ciut banget sih nyali loe. Jangan manja deh," sahut Bayu yang berjalan di depannya sambil melewati tanaman-tanaman hijau berakar yang cukup lebat.

Lalu Roy yang berjalan paling belakang juga ikut menyahut, "Kita sudah berhasil menerobos masuk sekarang, kawan. Jadi jangan sampai kepikiran menyerah sebelum ketemu lokasi gua batunya."

Anita pun hanya bisa kembali merengut cemberut seperti biasanya. Sedangkan Doni dan Renata terus mengawal teman-temannya untuk menjelajah masuk ke hutan.

Semakin mereka menjelajah lebih dalam, suasana hutan terasa semakin sunyi dan tampak meredup akibat pepohonan lebat yang atapnya menutup celah masuk dari terik matahari. Aroma khas tanaman segar juga sangat padat terasa di sekitar. Sampai mereka menemukan asal suara aliran sungai di ujung tanah sana. Lalu mereka berlima kompak menyebrangi sungai dangkal tersebut.

Sampai rasanya mereka sudah berjalan cukup jauh. Rasa haus juga sudah mulai menggerogoti kerongkongan mereka.

"Eh, Bro, loe yakin kan kita enggak salah arah?" tanya Bayu yang nafasnya sudah cukup terengah-engah itu.

Lalu Roy segera menghampiri Doni dan memaksa mengambil alih kertas peta dari tangannya itu.

"Ini kan peta yang kau print dari blog di internet itu?" gumam Roy sejenak sambil mengamati pola jalur pada peta tersebut.

Doni pun mengangguk. "Ya, benar. Lagian memang tidak ada informasi lagi mengenai titik lokasinya selain dari blog pribadi si pendaki itu."

Anita langsung menyahut heran, "Berarti sebelumnya sudah ada pendaki umum yang iseng menjelajah ke sini juga ya?"

"Nah, kan, berarti aman dong ya? Mengingat si pendaki bisa menuliskan tentang pengalaman dia selama menjelajah ke sini," sindir Bayu.

"Ya, tapi sebenarnya dia enggak menulis banyak tentang Mistis Rimak," sahut Renata. Lalu sesekali ia melirik ke arah kekasihnya itu sambil lanjut berkata, "Kita berdua sudah baca sampai bolak-balik itu artikel. Intinya dia hanya pernah singgah saja sebentar, karena waktu itu ada pemandu setempat yang sempat mengantarkannya."

"Nah, kalau kita kan boro-boro ada pemandu, dikasih izin masuk aja enggak," celoteh Anita yang sudah sangat sebal dengan teman-temannya itu.

Renata, Doni, dan Roy kompak menghembuskan nafas panjang bersama.

Melihat semua kawannya itu tampak bimbang ingin meneruskan perjalanan ini, Bayu pun dengan cepat menyahut lagi, "Eh, apa kalian semua ini percaya sama mitos klenik begitu?"

Mistis Rimak & Mistis Kuncen [PREVIEW]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang