Japan

22 5 0
                                    

Taman Ueno, tempat kedua yang disinggahi, untuk bertemu om Brata, setelah bandara Haneda.

Nyata, semua nyata. Mekar bunga sakura menghidupkan mata, walau tidak dengan luka hati yang terpatri. Kecil diri terasa menyelimuti, enggan melihat wajah bahagia dengan kembang cinta yang mewarna.

"Dimana tempat aku tak menemukan ini?" geram Kumbang dalam hati. Ia sama sekali tidak menyukai orang-orang yang berjalan, berlibur, dan bahagia bersama pasangan atau keluarga mereka. Hal itu selalu membuat luka dan menambah suram pada hidupnya

"Bagaimana Kumbang? Kau menyukai tempat ini?" sapa om Brata yang menghampiri dari belakang.

Pria jangkung itu hanya tersenyum dan membalas uluran tangan lawan bicaranya. Ia mengakui keindahan taman Ueno dan kecantikan bunga sakura yang mekar di musim semi ini. Keinginannya terwujud, tapi begitulah dirinya yang belum bisa menemukan kebahagiaan secara utuh karena dendam yang masih tersimpan.

Mereka bersama-sama menuju ke starbucks taman Ueno untuk beristirahat sejenak dan berbincang mengenai rencana beberapa hari kedepan.

"Hari ini masih ada waktu untukmu istirahat, besok pagi kita meeting, saya akan kenalkan kamu dengan beberapa client baru kita."

Kumbang hanya diam, ia tidak mengerti apa yang dimaksud sahabat ayahnya tersebut.

"Tak perlu bingung, datang saja di alamat ini." om Brata menunjukan sebuah kartu.

"Kau hanya perlu menyiapkan untuk penyampaian mengenai perusahaan furniture yang sudah dimiliki, kualitas, cabang, dan lain sebagainya pada meeting besok. Mereka semua pengusaha asing yang tertarik dengan produk lokal Indonesia. Terutama kerajinan dari kayu. Yakinkan client terhadap apa yang kita tawarkan. Buat besar perusahaanmu, Kumbang."

Pria 26 tahun itu tak menyangka akan seperti ini, ia berfikir hanya sebatas kerja sama usaha dengan sahabat ayahnya dan melukis dinding seperti yang biasa ia lakukan, tak lebih.

"Saya terlalu kecil untuk menjalankan perusahaan besar, Om."

"Tidak Kumbang. Saya yakin kamu bisa menjalankan semua yang dibangun dari nol ini hingga besar."

"Seperti ayahmu, yang telah banyak membantu... Sudahlah, tak seharusnya melanjutkan perihal ini. Saya berhutang budi." lanjut om Brata dengan raut wajah lemah.

Sungguh, benar-benar Kumbang tak ingin mendengar kalimat itu. Ingatannya akan kembali pada masa lalu, 14 tahun silam ketika semua menjadi gelap, tulus senyum yang juga lenyap, pada remaja dengan segenap harap.

"Bagaimana Kumbang, kamu siap?"

"Saya akan mencoba, Om."

"Yakinlah!" berkata om Brata sembari menepuk pundak putra sahabatnya.

🌿🌿🌿
To be continued 😊
Jangan lupa vote, kritik dan sarannya juga😊

KumbangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang